12 Oktober 2022
20:11 WIB
JAKARTA – Saat tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur viral, tembakan gas air mata oleh polisi ke tribun penonton pun menuai banyak kecaman. Bahkan aksi tersebut ramai disebut-sebut menjadi pemicu kepanikan penonton yang akhirnya membuat banyak orang mati sesak atau terinjak.
Dokter Paru RSUP Persahabatan Feni Fitriani Taufik mengatakan, dilihat dari ilmnu kedokteran, gas air mata bisa menjadi penyebab kematian, tergantung banyaknya jumlah paparan dan kondisi korban
“Kalau disertai eksposur yang besar, ditambah kondisi lain sehingga kerusakan di paru lebih lanjut, itu yang bisa berakibat fatal. Walaupun sebenarnya tidak banyak, tapi dengan multifikasi efek itu mungkin terjadi kematian,” katanya dalam talkshow daring via Instagram RSUP Persahabatan, Rabu (12/10).
Feni menjelaskan gas air mata bukan semata-mata gas, namun punya kandungan campuran bahan kimia padat dan kimia cair yang bersifat iritatif. Begitu gas air mata disemprotkan, bahan kimia tersebut bisa mengenai mata, kulit, dan saluran pernapasan yang menyebabkan rasa perih, kemerahan, mata dan hidung berair, dan pilek.
Ia melanjutkan, tingkat bahaya yang ditimbulkan oleh gas air mata pun beragam. Mulai dari ringan hingga berat. Besarannya bahaya tersebut tergantung jumlah gas air mata yang mengenai tubuh dan durasi paparan dengan gas kimia.
“Kalau kita bandingkan dengan kerusuhan yang dilemparkan di alam terbuka, itu kan orang menjauh sehingga kontaknya bisa tidak berlama-lama. Tapi kalau di ruang tertutup, maka risiko orang terekspos itu makin lama dan berefek kepada tubuh kita yang terkena eksposur,” ujarnya.
Selain itu, kondisi fisik korban paparan gas air mata juga mempengaruhi tingkat bahaya. Terdapat kelompok tertentu yang disebut sebagai kelompok rentan gas air mata. Anak-anak yang saluran napas dan kondisi fisiknya lebih lemah, misalnya, akan merasakan efek yang lebih berat dibandingkan dewasa muda.
Kemudian orang yang punya komorbit yang berkaitan dengan gangguan saluran napas, seperti asma dan orang yang merokok juga akan merasakan dampak yang juga lebih berat.
“Kejadian kemarin (Kanjuruhan), selain masanya tidak bisa menjauh karena tidak bisa keluar ruangan, ada kepanikan, desak-desakan sehingga gangguan saluran napas jadi bertambah-tambah. Sehingga efeknya jadi lebih berat dirasakan dan kita lihat korbannya jadi besar,” tuturnya.
Menurutnya, paparan gas air mata berlangsung pada waktu yang lama, juga akan menyebabkan partikel kimia semakin banyak masuk ke dalam tubuh. Hal ini bisa menimbulkan respons radang yang berat di saluran nafas.
Kemudian terjadi pembengkakan dan penyempitan yang menyebabkan seseorang susah menghirup dan mengeluarkan napas. Jika gangguan sampai berlanjut hingga ke paru-paru maka akan mengganggu proses penangkapan oksigen.
Feni menyampaikan, penanganan terbaik untuk terhindar dari bahaya gas air mata adalah menghindar secepat mungkin dari eksposur dan sesegera mungkin mencuci muka, mata, dan hidung untuk menetralisir paparan bahan kimia. Penggunaan kaca mata pelindung, masker, dan pakaian lengan panjang juga bisa memperkecil potensi paparan kimia dari gas air mata.
“Kalau ada sarana medis itu bisa diberikan oksigen atau ke fasilitas kesehatan terdekat, karena kepanikan membuat orang tidak bisa objektif menilai kondisi dirinya,” kata dia.
Sejumlah penonton membawa rekannya yang pingsan akibat sesak nafas terkena gas air mata yang ditemba kkan aparat keamanan saat kericuhan usai pertandingan sepak bola BRI Liga 1 antara Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10/2022). Antara Foto/Ari Bowo Sucipto Pemicu Banyaknya Korban
Terpisah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia kembali menegaskan bahwa penembakan gas air mata menjadi pemicu jatuhnya banyak korban, baik korban luka maupun meninggal dunia dalam peristiwa kericuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu, 1 Oktober 2022.
"Kami, sampai detik ini, menyatakan pemicu jatuhnya banyak korban adalah gas air mata," ujar anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam.
Hal tersebut didasarkan pada pemantauan yang dilakukan oleh tim pemantauan dan penyelidikan dari Komnas HAM terkait tragedi Kanjuruhan. Khususnya terhadap rencana pengamanan, prakondisi menjelang pertandingan sepak bola, beberapa dokumen, video, dan keterangan dari pihak kepolisian serta suporter Arema FC (Aremania).
Lebih lanjut, Anam menyampaikan, gas air mata ditembakkan pada Sabtu (1/10) malam sekitar pukul 22.08 WIB. Ia bercerita, suasana pertandingan sepak bola antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya berjalan dengan kondusif, bahkan setelah pertandingan itu dinyatakan selesai dengan hasil pertandingan Persebaya menang 3-2.
"Lalu, sekitar 14 sampai 20 menit pasca-peluit panjang pertandingan dibunyikan (oleh wasit), kondisi masih kondusif," kata Anam.
Setelah itu, beberapa Aremania mulai turun ke lapangan untuk memberikan semangat kepada tim yang mereka dukung itu. "Detail kami melihatnya (melalui video yang menjadi barang bukti). Memang ada suporter masuk ke lapangan, tapi untuk memberi semangat. Tapi, gas air mata picu kepanikan suporter," jelas Anam.
Selanjutnya, anggota Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menambahkan, Komnas HAM saat ini fokus membuktikan kebenaran dugaan mereka terkait penggunaan gas air mata sebagai pemicu banyaknya korban dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan. Ia mengaku pihaknya kini tengah menunggu hasil pemeriksaan laboratorium.
"Kalau kita bicara soal hasil laboratorium itu kan bukan hanya kandungan kimianya, melainkan juga analisisnya terhadap kesehatan. Itu kami menunggu dari hasil uji laboratorium," ujar Beka.
Hal tersebut juga didasarkan temuan Komnas HAM pada kondisi sejumlah jenazah korban tragedi Kanjuruhan yang di beberapa bagian wajahnya terlihat berwarna kebiruan. Lalu, ada pula korban yang mulutnya mengeluarkan busa.
Kemudian, berkenaan dengan kondisi beberapa korban selamat, Komnas HAM menemukan mata mereka berwarna merah, bahkan ada pula yang kecoklatan.
Dengan demikian, hasil laboratorium pemeriksaan terhadap gas air mata itu diharapkan mampu memberikan analisis kesehatan mengenai dampaknya terhadap para korban. Seluruh detail hasil temuan dan analisis Komnas HAM itu akan disusun dalam laporan akhir.