17 Maret 2025
09:09 WIB
Diversifikasi Pangan Sebagai Bagian Dari Pemajuan Kebudayaan
Budaya pangan Nusantara bukan hanya sekedar mengenai makanan yang dimakan semata, tetapi juga mengandung nilai luhur dan filosofi di dalamnya.
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rendi Widodo
Sesi diskusi Budaya Pangan Nusantara yang digelar Joglo Nusantara bersama Kementerian Kebudayaan di Depok, Jawa Barat, Sabtu (15/3). Dok. Kementerian Kebudayaan
JAKARTA - Masyarakat Nusantara di masa lampau memiliki tradisi pangan yang beragam. Setiap daerah dengan karakteristik alam yang khas, mengembangkan sumber pangannya sendiri. Tak terpaku pada padi atau beras, masyarakat sejak lama membangun ketahanan pangan dalam lingkup komunitas masing-masing, mengolah sagu, jagung hingga singkong sebagai sumber pangan.
Namun seiring waktu, dengan meluasnya kawasan perkotaan dan berubahnya gaya hidup masyarakat, perlahan kekayaan pangan itu hilang. Kini beras menjadi bahan pangan utama bagi semua orang. Sagu semakin berkurang, sementara jagung diolah untuk berbagai produk pangan lanjutan.
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon menyoroti, kekuatan pangan lokal sejatinya merupakan bagian penting dari pemajuan kebudayaan. Keragaman pangan di masa lalu menunjukkan daya masyarakat, yang di dalamnya juga hidup nilai dan tradisi luhur yang diturunkan turun-temurun.
“Baik itu tanaman padi, jagung, palawija, dan lainnya, semuanya memiliki tradisi, upacara, ritual, serta doa-doa tertentu yang diwariskan turun-temurun. Bahkan, budaya pengairan kita telah diakui sebagai warisan dunia, seperti sistem subak di Bali,” ungkap Fadli dikutip dari siaran pers, Senin (17/3).
Pangan, lanjut Fadli, merupakan bagian dari ekspresi budaya. Budaya pangan Nusantara bukan hanya sekedar mengenai makanan yang dimakan semata, tetapi juga mengandung nilai luhur dan filosofi di dalamnya. Karena itu pula, budaya pangan perlu dilestarikan sebagai kekayaan budaya.
Fadli menekankan pentingnya upaya memperkaya kembali tradisi pangan masyarakat Indonesia, dengan mendorong diversifikasi pangan. Tak hanya sebagai upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan lokal, hal ini menurutnya juga akan memperkuat kebudayaan masyarakat itu sendiri.
“Kuliner tradisional kita adalah bagian dari warisan budaya takbenda, termasuk gastronomi. Contohnya rendang, yang memiliki 24 jenis berbeda di berbagai daerah. Tahun ini, pemerintah akan mendaftarkan tempe ke UNESCO sebagai warisan budaya takbenda, setelah sebelumnya jamu berhasil masuk dalam daftar UNESCO pada tahun 2023,” ucap Fadli.
“Pemerintah menargetkan swasembada pangan dalam empat sampai lima tahun ke depan, sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Prabowo. Ini berarti kita perlu memperkuat diversifikasi pangan agar tidak terus bergantung pada impor,” tandasnya lagi.
Menurut Fadli, diversifikasi pangan adalah keharusan demi mencapai swasembada karbohidrat dan protein. Salah satu contoh yang didorong adalah sorgum, yang dapat menjadi substitusi gandum dan mengurangi ketergantungan impor.
“Tanaman sorgum perlu dikembangkan karena bisa menggantikan nasi dan gandum, mendukung kemandirian pangan kita,” jelasnya.
Sorotan Fadli tentang pangan sebagai identitas budaya, diungkapkannya dalam forum Diskusi Budaya Pangan Nusantara di Depok, beberapa waktu lalu. Kegiatan diskusi ini merupakan kerja sama Kementerian Kebudayaan bersama Joglo Nusantara serta Pemerintah Kota Depok.
Diskusi ini menyoal budaya pangan Nusantara, yang meliputi pangan lokal dan ketahanan pangan nasional, serta relevansinya dalam menjaga keberlanjutan tradisi dan mendukung swasembada pangan di Indonesia.