30 Januari 2024
20:14 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA - Industri musik modern telah berkembang hampir seabad. Ditandai teknologi rekaman awal abad ke-20 di Eropa dan Amerika, industri ini terus berkembang dari waktu ke waktu. Sampai hari ini, perkembangan musik telah masuk ke era digital yang lebih inklusif, menaungi keberagaman.
Jika pada masa lalu kuasa label begitu menentukan nasib musisi, pada masa kini, semua orang bisa memulai jalan indie.
Meski telah berkembang pesat dalam banyak hal, ternyata industri musik saat ini masih dibebani oleh nilai-nilai konservatif yang tak sehat. Sebuah laporan terbaru dari parlemen Inggris, menyoroti dominasi laki-laki, sikap misoginis, hingga pelecehan yang mengancam para musisi wanita di industri musik negara tersebut.
Laporan tersebut menyatakan bahwa industri musik masih menjadi ‘klub anak laki-laki’. Artis perempuan pun menghadapi banyak tantangan, termasuk diskriminasi dan pelecehan seksual. Sementara itu, para profesional industri musik masih didominasi kaum laki-laki, meliputi mereka yang bekerja di lini A&R, teknik suara hingga produksi.
Laporan tersebut juga mengamati rasisme di industri serta struktur ketenagakerjaan, dan menemukan bahwa pekerja lepas jauh lebih rentan.
“Potensi kreatif dan karier perempuan tidak boleh dibatasi oleh misogini ‘endemik’ yang telah berlangsung terlalu lama dalam industri musik,” kata anggota parlemen (MP) Caroline Nokes, dilansir dari Variety, Selasa (30/1),
Laporan tersebut lebih lanjut berfokus pada peningkatan mekanisme perlindungan dan pelaporan, serta reformasi struktural dan legislatif yang diperlukan. Industri musik memerlukan perubahan transformatif untuk menciptakan industri yang benar-benar sehat, yang memberikan peluang tanpa terkecuali kepada semua perempuan berbakat.
“Perubahan perilaku laki-laki—dan hampir selalu terjadi pada laki-laki–yang menjadi inti industri musik adalah perubahan transformatif yang dibutuhkan perempuan berbakat agar suaranya benar-benar didengar dan diakui serta dihargai secara setara,” katanya.
Diketuai langsung oleh Caroline Nokes, Komite Perempuan dan Kesetaraan lintas partai di Parlemen Inggris kini mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah legislatif, termasuk mengamendemen Undang-Undang Kesetaraan untuk memastikan pekerja lepas, beranjak dari hasil temuan pada laporan tersebut. Dorongan penguatan hukum terutama untuk mendukung mereka yang menghadapi ketidaksetaraan interseksional yang masih terjadi, agar terlindungi dari diskriminasi.
Komite itu juga merekomendasikan penerapan undang-undang yang akan membuat pengusaha bertanggung jawab untuk melindungi pekerja dari pelecehan seksual oleh pihak ketiga dan melarang penggunaan NDA (Non-Disclosure Agreement dalam kasus-kasus yang melibatkan pelecehan seksual, pelecehan atau perilaku tidak senonoh, intimidasi atau pelecehan dan diskriminasi.
Mereka menyarankan agar undang-undang tersebut mencakup moratorium yang membebaskan mereka yang telah menandatangani NDA dalam kondisi tersebut.
Pembentukan Otoritas Pengawasan dan Perlindungan
Laporan tersebut berlanjut dengan pembentukan Otoritas Standar Independen Industri Kreatif (CIISA) oleh komite, yang akan diluncurkan dalam waktu dekat. Otoritas tersebut dianggap penting, “akan membantu menyoroti perilaku yang tidak dapat diterima dalam industri musik dan dengan demikian, dapat mengurangi risiko kerugian lebih lanjut.”
Juru bicara CIISA mengatakan organisasi tersebut, akan menjadi “'pintu depan' bagi mereka yang bekerja di industri musik – dan di seluruh industri kreatif – untuk secara rahasia melaporkan perilaku yang tidak dapat diterima di lingkungan kerja.
Pembentukan CIISA pun didukung oleh sejumlah industri kreatif Inggris di bidang film, televisi, mode dan musik. Otoritas tersebut akan menerbitkan serangkaian standar industri yang mempromosikan inklusivitas dan mengatasi ‘perilaku negatif’ yang masih membayangi industri musik.
CEO Black Lives in Music, Charisse Beaumont menyatakan dukungannya atas inisiatif komite yang dinaungi parlemen tersebut. Menurutnya, laporan yang dirilis, sekaligus mengkonfirmasi banyak laporan sebelumnya, khususnya terkait perempuan kulit hitam di industri musik.
“Data ini mencerminkan tantangan yang kami hadapi dan memperkuat suara kami, menyerukan industri di mana semua orang, apa pun latar belakangnya, dapat berkembang,” katanya.
Beaumont mendesak industri musik untuk menindaklanjuti rekomendasi komite, termasuk mendorong setiap perusahaan musik terbuka dengan menerbitkan statistik keragaman tenaga kerja di yang dinaungi.