c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

25 September 2025

20:00 WIB

Dilema Tukang Gigi; Antara Batasan Kerja Dan Kebutuhan Masyarakat

Di balik batasan kerja yang ada da sudah diatur, keberadaan tukang gigi kerap mendapat stigma negatif. Tak dimungkiri pula masih banyak yang melakukan praktik ilegal, demi menjawab kebutuhan 'pasien'.

Penulis: Gemma Fitri Purbaya

Editor: Rikando Somba

<p>Dilema Tukang Gigi; Antara Batasan Kerja Dan Kebutuhan Masyarakat</p>
<p>Dilema Tukang Gigi; Antara Batasan Kerja Dan Kebutuhan Masyarakat</p>

Seorang dokter gigi melakukan pemeriksaan gigi terhadap siswa pelajar pada acara Bulan Kesehatan Gigi Nasional (BKGN) 2025 di Fakultas Kedokteran Universitas Moestopo, Jakarta (24/09/2025). Validnews/Hasta Adhistra.

JAKARTA - Gigi bolong atau karies masih menjadi masalah kesehatan yang dialami banyak masyarakat Indonesia. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan, 82,8% orang Indonesia mengalami masalah gigi berlubang. 

Data yang sama juga diperlihatkan dalam indeks DMF-T Nasional pada kelompok dewasa. Ditemukan, rata-rata orang Indonesia memiliki lima sampai enam gigi bermasalah, baik berlubang, sudah dicabut, ataupun ditambal.

Erin (24), adalah salah satunya. Warga Tambun Selatan, Bekasi itu bercerita, sekitar empat tahun lalu dia mengalami masalah gigi berlubang yang sudah lama dialaminya. Alih-alih pergi ke dokter gigi, Erin justru memutuskan berobat ke tukang gigi. 

Tentu bukan tanpa alasan pilihannya jatuh ke tukang gigi. Karena, usut punya usut, tukang gigi yang didatanginya itu mengaku bisa mengatasi masalah gigi berlubang dengan cara ditambal. Apalagi harga yang ditawarkan pun cukup murah, hanya Rp150 ribu. Sebaliknya, kalau ke dokter gigi biayanya bisa mencapai Rp450 ribu. Belum lagi kalau ada ditemukan gigi berlubang lainnya, Erin berpersepsi, biayanya jelas bisa bikin kantong jebol!

"Jadi ya udah saya ke tukang gigi untuk tambal. Pas periksa juga ada sekitar tiga gigi yang berlubang, saya iya-in untuk tambal ketiga-tiganya biar sekalian. Harganya juga murah kan," cerita Erin pada Validnews, Minggu (21/9).

Alhasil, hanya dengan merogoh kocek Rp450 ribu, tiga gigi berlubang Erin selesai ditambal. Rasa nyeri gusi yang kerap datang, makanan yang sering 'nyangkut', serta gigi gompal yang membuatnya tidak percaya diri, kini bukan lagi jadi masalah.Semua beres. Walhasil, kepercayaan dirinya pulih kembali. 

Sayang, kondisi itu tak berlangsung lama. Tambalan pada gigi Erin perlahan lepas dalam hitungan bulan. Gigi berlubangnya kembali terlihat, bahkan kian sakit dirasa. Penampilannya sehari-hari pun terasa terganggu. Rupanya, hasil dari perawatan gigi murah tersebut hanya berlangsung sementara.

Enggan mengulang kesalahan yang sama, kali ini Erin pergi ke dokter gigi. Dia sadar kalau uang yang akan ia keluarkan akan tidak sedikit. Tetapi dia berharap hasilnya akan sebanding. Benar saja, setelah tiga tahun berselang, tambalan di giginya masih bertahan dengan baik. Dia juga tidak memiliki masalah gigi lain selama itu.

"Memang mahal, tetapi lebih baik sih. Udah gitu, ada bagian di gigi yang tidak rata dari praktik tukang gigi, jadi harus dibenarkan oleh dokter gigi supaya warnanya kembali rata dan itu agak mengganggu, tapi sekarang sudah benar," lanjut Erin.

Praktik Ilegal
Erin dan banyak orang lainnya punya persepsi sama. Mereka menjadikan tukang gigi sebagai penyedia solusi gigi, apapun sakitnya. Padahal. jika merujuk Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi, praktik tambal gigi jelas tidak termasuk di dalamnya. Pasal 1 ayat 1 Permenkes 39/2014 menegaskan, tukang gigi adalah setiap orang yang mempunyai kemampuan membuat dan memasang gigi tiruan lepasan atau gigi palsu.

Tindakan medis tukang gigi pun dibatasi dan diatur pada Pasal 6 Ayat 2 Permenkes 39/2014. Di pasal ini, tukang gigi hanya boleh membuat gigi tiruan lepasan sebagian dan atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic yang memenuhi ketentuan persyaratan kesehatan, dan memasang gigi tiruan lepasan sebagian dan atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic dengan tidak menutupi sisa akar gigi. 

Artinya, tukang gigi memiliki keterbatasan pada perawatan gigi, dan hanya melayani pemasangan gigi tiruan lepasan. Maka itu, tindakan tambal gigi yang dilakukan oleh tukang gigi pada Erin, termasuk praktik ilegal karena tidak sesuai dengan kompetensinya.

"Tentu tidak semua tindakan yang dilakukan dokter gigi boleh dilakukan tukang gigi karena yang diwariskan itu cuma pembuatan gigi palsu, yang sifatnya lepasan. Lepasan itu tidak dilem pada giginya dan tidak seluruhnya, cuma sebagian," ungkap Ketua Asosiasi Fakultas Kedokteran Gigi Indonesia (AFDOKGI) Prof. Suryono saat berbincang dengan Validnews, pertengahan pekan ini.

Infografis Tukang Gigi Tidak Sama Dengan Dokter Gigi

Karena itu, dirinya mengingatkan kepada seluruh tukang gigi untuk bekerja sesuai dengan batasan yang telah diatur. "Seharusnya bekerja sesuai dengan kompetensi yang diperbolehkan menurut Kementerian Kesehatan," katanya mengingatkan.

Cerita yang hampir mirip dengan Erin juga dialami Dina (52), saat memasang gigi tiruan sementara. Gigi bungsu yang telah dicabut beberapa bulan sebelumnya, meninggalkan kekosongan. Dina merasa ada yang janggal dengan ketiadaan gigi bungsu. Akhirnya, dia memutuskan untuk memasang gigi palsu supaya lebih mudah saat menyantap makanan. 

Harga yang jauh lebih murah dan kemudahan akses, jadi alasan Dina memilih ke tukang gigi. Prosesnya terbilang cepat. Tidak sampai satu jam, gigi tiruan sementaranya sudah tertanam di gusi.

Tapi rupanya, informasi mengenai batas waktu gigi itu bertahan, tidak tersampaikan ke Dina. Dia membiarkan gigi palsu itu tertanam dalam jangka waktu lama, tidak pernah dilepas.

"Saya pikir gigi tiruan itu permanen jadi tidak pernah dilepas. Ternyata seharusnya dilepas. Saya baru tahu saat scaling ke dokter gigi beberapa tahun kemudian. Untungnya tidak ada apa-apa, cuman memang bentuknya sudah tidak baik, jadi harus diganti," kata Dina pada Validnews.

Akhirnya, Dina mengganti gigi tiruan bikinan tukang giginya dengan gigi tiruan buatan dokter gigi. Memang harganya lebih mahal, tetapi dia mendapatkan edukasi yang komprehensif terkait gigi tiruan. Dia juga merasa beruntung, tidak muncul masalah baru pada gusi dan mulut akibat gigi tiruan sementara yang tidak pernah dilepas.

Balada Tukang Gigi
Sebenarnya tidak semua tukang gigi dikategorikan abal-abal. Pasalnya, banyak dari mereka yang membuka praktik dengan bekal pelatihan dan seminar yang diadakan oleh Serikat Tukang Gigi Indonesia (STGI) atau Persatuan Tukang Gigi Indonesia (PTGI).  Dari situ, mereka memperoleh sertifikat dan izin praktik agar bisa beroperasi. 

Lutfi (34) misalnya, tukang gigi yang membuka praktik di klinik pribadinya di kawasan Tambun Selatan, tidak asal-asalan melakoni profesinya. Kepada Validnews dia bercerita, perjalanannya menjadi tukang gigi berawal di 2010. 

Kala itu, dia ikut membantu pamannya yang berprofesi sebagai seorang tukang gigi. Dari sana Lutfi mulai mengenal dunia tukang gigi. Awalnya bantu-bantu, kemudian diajari, sampai akhirnya dia memilih profesi tersebut sebagai mata pencaharian.

"Awalnya saya cuma bantu-bantu saja. Lama-lama, sambil melihat, belajar sedikit-sedikit," cerita Lutfi.

Belajar dari praktik sehari-hari rupanya tak cukup. Lutfi kemudian memutuskan untuk mengikuti berbagai pelatihan dan seminar yang diadakan STGI dan PTGI di Bekasi dan Jakarta. Dia pun memperoleh pengetahuan teknis dan etika profesi yang kelak menjadi bekalnya saat membuka praktik sendiri.

Perjalanannya bukan tanpa hambatan. Di akhir tahun 2015 ketika pertama kali membuka usaha mandiri, Lutfi harus berjuang keras mencari pasien. Dia mengaku sangat sulit untuk mendapatkan pelanggan, apalagi gigi bukan kebutuhan pokok masyarakat. Padahal, di kala itu sudah semakin banyak orang yang paham kalau kesehatan gigi adalah penting.

Berjalannya waktu, kini Lutfi pasien pun berdatangan. Dari yang hanya memperbaiki gigi patah, hingga memesan gigi palsu bongkar pasang. Harga yang ditawarkan bervariasi, dari Rp150 ribu hingga Rp350 ribu, tergantung jenis dan kebutuhan. Konsultasi pun selalu ia berikan secara gratis. 

Infografis Cakupan Kerja Tukang Gigi

Dia pun menyadari bahwa profesi tukang gigi masih diselimuti stigma negatif. Ada anggapan kalau tukang gigi merupakan profesi ilegal, bekerja asal-asalan, dan dicap berbahaya. Lutfi tidak memungkiri hal itu.

"Memang masih ada oknum yang kerjanya sembarangan. Tapi banyak juga tukang gigi yang sudah bersertifikat, berizin, dan mengikuti aturan. Saya selalu berusaha memberikan pelayanan yang baik, kualitas produk yang bagus, dan bergaransi," ujarnya.

Lutfi paham betul, kepercayaan adalah hal paling mahal dalam menjalankan profesinya. Karena itu ia selalu meminta pasien berkonsultasi terlebih dahulu sebelum memutuskan membuat gigi palsu.

"Biar tahu mana yang pas, biar nggak asal bikin. Karena gigi itu kan bukan sekadar fungsi, tapi juga soal kenyamanan dan percaya diri," tutur Lutfi.

Masalah Klasik Persebaran Dokter
Jika membaca cerita Erin dan Dina, memang harga menjadi faktor utama masyarakat kalangan tertentu lebih memilih melakukan perawatan ke tukang gigi ketimbang dokter gigi. Tapi ternyata bukan hanya itu. Ketua AFDOKGI Prof. Suryono menyebut, faktor penentu lainnya adalah masih belum meratanya penyebaran dokter gigi.

"Setiap tahun kami meluluskan sekitar 3.000 dokter gigi, apalagi sekarang sudah ada sekitar 45 fakultas kedokteran gigi di seluruh Indonesia. Cuman memang pemerataannya saja yang belum terdistribusi secara merata. Masih rata-rata tersentral di kota-kota besar," ungkap Prof. Suryono.

Menurutnya, masalah utama tidak meratanya persebaran dokter gigi ada pada alokasi posisi kosong di puskesmas yang kerap tidak tersosialisasi dengan baik. Padahal, dirinya sebagai ketua AFDOKGI, akan membantu mensosialisasikan kepada seluruh lulusan untuk bersedia menempati puskesmas-puskesmas yang belum memiliki dokter gigi.

Dia mengusulkan, pemerintah juga bisa memberikan beasiswa ikatan dinas pada putra/putri daerah, untuk selanjutnya ditempatkan di puskesmas secara kedinasan. Beasiswa itu nantinya bisa dibiayai oleh Kementerian Keuangan melalui beasiswa LPDP, mengingat setiap tahunnya anggaran yang keluar untuk beasiswa LPDP cukup tinggi.

"Saya rasa orang-orang, khususnya yang tinggal di desa akan sangat senang karena sejak sekolah atau kuliah sampai mendapat pekerjaan itu sudah dijamin oleh pemerintah. Sayangnya, strategi ini tidak pernah dipikirkan. Padahal, sebenarnya itu sangat mudah kalau ada kolaborasi dari beberapa kementerian, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan Tinggi, dan Kementerian Keuangan," lanjut Prof. Suryono.

Menurutnya, Kementerian Kesehatan seharusnya memiliki data  puskesmas mana yang belum memiliki dokter gigi, Kementerian Pendidikan Tinggi dapat mengembankan tugasnya ke fakultas kedokteran gigi untuk mendidik dokter gigi agar mau ditugaskan ke daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), dan Kementerian Keuangan melakukan pembiayaan. 

Apabila kolaborasi dan koordinasi antar kementerian tersebut berjalan dengan baik, maka kekosongan dokter gigi di sekitar 4.000 puskesmas di Indonesia bisa teratasi. Perawatan gigi yang seharusnya bisa dilakukan oleh dokter gigi pun dapat terpenuhi, sehingga masyarakat tidak lagi melakukannya di tukang gigi. 

Namun tentunya jalan menuju ke sana masih cukup panjang. Mimpi Indonesia bebas karies 2030 pun sepertinya masih jauh dari cita-cita.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar