c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

13 Oktober 2025

21:00 WIB

Dampak Emosional Gray Divorce Pada Anak Dewasa

Gray divorce merujuk pada perceraian yang terjadi pada pasangan yang sudah berusia lanjut. Perceraian ini membawa beban emosional yang lebih besar, termasuk bagi anak-anak yang sudah dewasa.

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Satrio Wicaksono

<p id="isPasted">Dampak Emosional <em>Gray Divorce</em> Pada Anak Dewasa</p>
<p id="isPasted">Dampak Emosional <em>Gray Divorce</em> Pada Anak Dewasa</p>

Ilustrasi perceraian. Foto: Freepik. 

JAKARTA - Gray divorce adalah fenomena yang semakin umum di era modern. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pasangan yang berpisah, tetapi juga oleh anak-anak mereka yang telah dewasa. 

Istilah grey (abu-abu) merujuk pada warna rambut yang mulai memutih di usia tua, sementara divorce berarti perceraian. Artinya, istilah ini merujuk pada perceraian yang terjadi di kalangan pasangan usia lanjut, umumnya berusia 50 tahun ke atas. 

Fenomena ini menarik perhatian, karena generasi baby boomers kini tercatat sebagai kelompok dengan tingkat perceraian tertinggi, sekaligus satu-satunya generasi yang justru mengalami peningkatan angka perceraian seiring bertambahnya usia. 

Dampak Terhadap Anak Dewasa

Berbagai bentuk perceraian, baik yang waktunya singkat atau lama selalu sulit dan penuh dengan emosi. Hal ini biasanya akan berdampak bagi anak-anak, begitu juga dengan perceraian di usia lanjut

Perceraian pada usia lanjut membawa beban emosional sendiri yang lebih besar. Hal tersebut karena pasangan telah menghabiskan puluhan tahun bersama. 

Pada momen seperti ini biasanya anak dewasa akan berusaha meyakinkan orang tua mereka untuk tidak bercerai. Berbagai faktor, entah karena takut harus menanggung tanggung jawab merawat salah satu orang tua, atau benar-benar percaya bahwa pernikahan itu masih bisa dipertahankan. 

Mereka mungkin merasa sedang menolong orang tuanya melewati masa sulit, padahal tanpa disadari justru menghalangi keputusan yang sebenarnya telah bulat diambil kedua pihak. Di posisi ini, banyak anak dewasa yang merasa memiliki hak untuk ikut menentukan apakah orang tuanya sebaiknya berpisah atau tidak. 

Meski mungkin berpikir bahwa anak yang sudah dewasa lebih kuat secara emosional, kenyataannya perceraian orang tua tetap bisa meninggalkan luka batin yang mendalam. Mereka jarang mencari bantuan profesional atau membicarakan perasaan tersebut dengan teman, keluarga, bahkan pasangan mereka sendiri.

Sebagian anak dewasa mungkin menyimpan rasa marah atau kecewa terhadap salah satu atau kedua orang tua, karena merasa perceraian itu menambah beban di tengah kesibukan mereka mengurus pekerjaan, pernikahan, dan anak-anak. Kehilangan rumah masa kecil yang dulu menjadi simbol kebersamaan keluarga juga bisa menimbulkan kesedihan mendalam. 

Selain itu, anak dewasa sering kali merasa punya kepentingan pribadi dalam proses pembagian aset karena khawatir kehilangan warisan. Karena itu, penting bagi pasangan lansia yang hendak bercerai untuk tidak membagikan semua detail proses perceraian kepada anak-anak mereka. 

Meskipun anak-anak tersebut sudah dewasa, ada hal-hal yang tetap sebaiknya tidak mereka ketahui, demi menjaga keseimbangan emosional dan hubungan keluarga ke depannya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar