20 Desember 2022
15:13 WIB
Penulis: Mahareta Iqbal
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA - Pariwisata telah dianggap sebagai kegiatan yang menyenangkan. Bepergian dari suatu ke tempat ke tempat yang lainnya dalam rangka liburan, tentunya menjadikan industri ini sebagai sesuatu yang menjanjikan dari segi bisnis.
Kehadiran destinasi wisata di suatu tempat, juga membuat banyak perubahan bagi kehidupan masyarakat, meredam permasalahan finansial, melestarikan spesies yang hampir punah, hingga "memulihkan" kembali kota-kota bersejarah yang pernah runtuh digerus zaman.
Hal demikian adalah beberapa manfaat positif dari pariwisata. Namun, kesalahannya ada pada cara berpikirnya. Pariwisata hanya dianggap membawa kebaikan saja, sementara permasalahan-permasalahan lainnya yang timbul sering kali diabaikan. Sehingga, menimbulkan dampak negatif yang satu sama lain--di ekosistem dunia pariwisata, termasuk wisatawan--saling tak tahu menahu.
Pada laman Responsible Tourism dituliskan, pada musim panas di tahun 2017 di benua Eropa, media dan industri perjalanan pada akhirnya mulai mengalihkan pandangan mereka ke dampak negatif dari industri pariwisata, hingga terbentuklah suatu istilah yang disebut dengan overturism. Lalu, apa itu overtourism?
Overtourism adalah suatu kondisi di mana jumlah wisatawan di destinasi wisata tertentu dianggap terlalu tinggi oleh masyarakat setempat, sehingga mulai dirasa mengganggu. Agak sulit memang mengukur ‘terlalu tinggi’, karena tidak ada standar yang berlaku secara universal.
Pertama, jumlah warga di setiap kota berbeda. Kedua, ‘terlalu tinggi’ dapat menjadi konsep yang relatif. Jumlah wisatawan yang terlalu tinggi, belum tentu juga menjadi semacam "ancaman" bagi warga di suatu destinasi tertentu. Sebaliknya, jumlah wisatawan yang tidak tinggi pun sebetulnya bisa dianggap tidak nyaman oleh masyarakat di destinasi tertentu.
Overtourism secara umum terjadi apabila jumlah wisatawan lebih banyak dari jumlah masyarakat di suatu destinasi, dan masyarakat tersebut mulai merasakan ketidaknyamanan, termasuk di dalamnya tentang perilaku wisatawan, seperti kepadatan di area tertentu dan perusakan fasilitas umum (vandalism).
Salah satu faktor yang dianggap memperparah dampak adalah jumlahnya yang jauh lebih kecil dibanding jumlah wisatawan yang berkunjung.
Sebagai contoh, per tahun 2019, Amsterdam memiliki jumlah warga sekitar 850 ribu penduduk, Paris sekitar 2,2 juta penduduk dan Barcelona 5,5 juta penduduk. Sementara jumlah wisatawan sebanyak 19 juta untuk Amsterdam, 40 juta untuk Paris, dan 32 juta untuk Barcelona. Dengan demikian, overtourism bakal terasa di kota-kota tersebut.
Tolak Ukur Overtourism
Contoh lain yang lebih sederhana dari bentuk overtourism, di antaranya ketika jalanan yang sempit di suatu destinasi menjadi macet karena kendaraan wisatawan, wisatawan tidak dapat melihat sebuah landmark karena keramaian yang membludak, saat lingkungan menjadi terdegradasi, hingga ketika harga sewa tempat menginap di suatu destinasi dibanderol dengan murah hingga membuat banyaknya permintaan yang bahkan melebihi kapasitas penyewaan itu sendiri.
Di sisi lain, banyak industri perjalanan yang hanya berfokus pada pertumbuhan, tapi hanya sedikit yang memperhatikan dampaknya. Setelah berpuluh-puluh tahun mengalami pertumbuhan, pariwisata kemudian melewati "ambang batas", hingga akhirnya menciptakan lebih banyak masalah daripada keuntungan.
Jumlah wisatawan terus meningkat selama beberapa dekade terakhir, tetapi banyak tempat wisata yang seperti tak sanggup menampung kapasitas wisatawan.
Penyebab Overtourism Dan Solusi
Ada banyak faktor penyebab overtourism dan tentu saja ini akan berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Dari laman emerald.com dijelaskan, peningkatan populasi dunia merupakan penyebab utama overtourism, karena pasar berkembang dan dengan demikian jumlah pengunjung pun meningkat.
Overtourism adalah sesuatu hal yang buruk, karena menciptakan dampak lingkungan dan sosial yang negatif. Dari sisi lingkungan, misalnya, berkontribusi pada peningkatan konsumsi air, polusi udara, sampah dan limbah di destinasi pariwisata.
Oleh karena itu, pariwisata yang bertanggung jawab mengacu pada pariwisata yang menciptakan tempat yang lebih baik bagi masyarakat untuk tinggal, menjalani hidup dan tentu saja berkunjung.
Solusi yang ditawarkan untuk overtourism adalah melakukan perjalanan yang bertanggung jawab; bepergian dengan cara memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif. Dua hal yang perlu dipikirkan adalah tempat dan waktu saat berkunjung.
Lebih baik lagi, cobalah bepergian ke wilayah pedesaan atau pegunungan untuk sejenak menghindari tempat yang sedang dikunjungi banyak orang. Di satu sisi, wisatawan tidak sekadar mengurangi kemungkinan overtourism, tetapi juga ikut berkontribusi menerapkan solusi yang ditawarkan.
Sejatinya, pariwisata masih bisa menjadi kekuatan untuk kebaikan dan memastikan bahwa penduduk lokal, habitat dan satwa liar mendapat manfaat dari kehadiran wisatawan.
Bepergian secara bertanggung jawab dalam jumlah yang lebih kecil, tidak hanya membantu menghindari overtourism, tapi juga membuat hubungan yang lebih baik dengan penduduk setempat terasa lebih intim hingga mempelajari bagaimana cara mereka menjalani hidup.
Percayalah, pengalaman liburan yang demikian jauh lebih autentik dan berkesan ketimbang berdesakan di destinasi wisata yang sedang viral hanya untuk memenuhi hasrat sosial media saja.
Untuk mengantisipasi terjadi overtourism, pemerintah dan otoritas setempat perlu mencari cara untuk mengontrol jumlah wisatawan, entah itu dengan menaikkan harga, mengeluarkan izin ke objek wisata tertentu, melarang kapal pesiar dengan ukuran tertentu, atau memiliki kontrol yang lebih besar terhadap bisnis mana yang dibuka dan lokasinya di mana.
Dengan kesadaran banyak pihak dan keterlibatan wisatawan dalam memahami serta memintas dampak overtourism, suatu destinasi wisata tentu juga akan dapat dinikmati oleh semua orang tanpa harus ada yang dirugikan.