30 Oktober 2025
15:52 WIB
Dampak Air Hujan Mengandung Mikroplastik Terhadap Kulit
Bukan hanya kandungan partikel plastik murni, mikroplastik dalam air hujan juga mengandung berbagai zat kimia yang bisa berbahaya bagi kulit.
Editor: Satrio Wicaksono
Pengendara sepeda motor menggunakan payung saat hujan di kawasan Senopati, Jakarta, Jumat (14/3/2025 ). ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin. |
JAKARTA - Beberapa waktu lalu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) merilis hasil penelitian yang dilakukan sejak tahun 2022, menunjukkan adanya mikroplastik dalam air hujan di Jakarta. Rata-rata 15 partikel mikroplastik per meter persegi area per hari pada sampel air hujan di kawasan pesisir Jakarta.
Penyebab dari kandungan mikroplastik dalam air hujan karena siklus plastik saat ini telah menjangkau atmosfer. Mikroplastik yang terbawa angin turun kembali bersama air hujan. Tentunya hal ini perlu diwaspadai karena dapat menimbulkan permasalahan bagi kesehatan.
Bahayanya lagi, Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski), menyampaikan bahwa mikroplastik yang terkandung dalam air hujan memiliki sejumlah zat berbahaya jika terkena kulit.
"Mikroplastik bukan hanya partikel plastik murni, tapi juga membawa berbagai bahan kimia tambahan dari proses produksinya," kata Anggota Perdoski, dr. Arini Astasari Widodo, seperti dikutip dari Antara, Kamis (30/10).
Disebutkan, di dalam partikel mikroplastik terdapat zat aditiftoksik seperti phthalates, bisphenol A (BPA), polyaromatic hydrocarbons (PAHs), diethylhexyl phthalate (DEHP), serta logam berat seperti kadmium, merkuri, dan timbal.
Bahan-bahan tersebut bersifat iritan dan sensitisasi kuat, serta bisa menyebabkan dermatitis iritan kontak atau dermatitis alergi kontak, terutama pada individu dengan kulit sensitif atau riwayat eksim atopik.
Partikel-partikel kecil ini juga dapat membawa polutan udara lain, seperti jelaga dan ozon, yang memperparah oksidatif stres pada kulit, memicu penuaan dini, kerusakan kolagen, dan penurunan fungsi sawar kulit (skin barrier dysfunction).
"Yang paling berbahaya sebenarnya bukan hanya partikel plastiknya, tetapi kombinasi antara partikel mikroplastik dan bahan kimia toksik yang melekat di permukaannya, karena keduanya bekerja sinergis merusak sel kulit dan mempercepat proses inflamasi," katanya.
Dampak Terhadap Kulit
Sebagai garda pertama, secara umum kulit yang sehat memiliki pelindung berupa stratum corneum yang cukup efektif menahan partikel besar seperti mikroplastik. Namun, pada kondisi tertentu, misalnya pada kulit yang kering, luka, terbakar matahari, atau memiliki penyakit kulit kronik seperti dermatitis atopik, lapisan pelindung kulit menjadi lebih mudah ditembus.
Lebih jauh dr. Arini membeberkan, sebuah studi eksperimental pada kulit hewan dan jaringan manusia, menunjukkan nanoplastik dengan ukuran di bawah 100 nanometer dapat menembus lapisan epidermis dan mencapai dermis superfisial. Partikel ini, sambunng dia dapat berinteraksi dengan sel imun seperti makrofag dan limfosit.
Reaksi ini dapat menimbulkan peradangan kronik ringan. Dalam jangka panjang, berpotensi mempercepat penuaan kulit atau memicu munculnya hiperpigmentasi pasca inflamasi. Selain itu, beberapa polimer plastik dapat melepaskan reactive oxygen species (ROS) saat terkena sinar UV, sehingga memperburuk kerusakan DNA pada sel kulit.
"Jadi, meski efek langsungnya mungkin tidak segera tampak, paparan berulang dan kronik terhadap mikroplastik berpotensi menyebabkan gangguan kulit jangka panjang," jelas kata Arini.
Sementara bagi mereka dengan komorbiditas seperti diabetes melitus, penyakit autoimun, atau gangguan imun lainnya, risikonya bisa lebih berat. Pada individu dengan diabetes, misalnya, fungsi sawar (lapisan terluar) kulit dan kemampuan regenerasi jaringan sudah menurun.
Bila paparan mikroplastik disertai zat toksik seperti logam berat, maka proses inflamasi kulit dapat berlanjut lebih lama dan menghambat penyembuhan luka.
Pada pasien dengan penyakit autoimun kulit seperti lupus atau psoriasis, paparan partikel mikroplastik berpotensi memperburuk peradangan melalui mekanisme oxidative stress dan aktivasi sistem imun non-spesifik. Hal ini dapat memperberat flare-up penyakit.
Selain itu, bagi individu dengan alergi berat atau eksim atopik, mikroplastik dapat bertindak sebagai hapten (zat pemicu alergi) yang menempel pada protein kulit, sehingga meningkatkan risiko timbulnya dermatitis alergi berulang.
Dari sisi dermatologi lingkungan, ia menyebut ini adalah bentuk “dermatotoksikologi baru” yakni paparan jangka panjang dari partikel yang tidak terlihat mata, namun berpotensi menimbulkan efek biologis pada kulit.
"Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa mikroplastik berukuran di bawah 10 mikrometer (mikro dan nanoplastik) dapat menempel di permukaan kulit, menembus lapisan kulit yang rusak, dan memicu reaksi peradangan kronik,” katanya.
Langkah Antisipasi
Maka dari itu, sebagai bentuk upaya mencegah mikroplastik mengganggu kesehatan kulit, dr. Arini menyarankan masyarakat untuk menjaga integritas sawar kulit. Hal ini dikarenakan kulit yang sehat merupakan pertahanan terbaik.
Gunakan sabun lembut tanpa SLS, rutin memakai pelembap dengan kandungan ceramide atau niacinamide, dan hindari sabun antiseptik keras yang dapat merusak lapisan pelindung alami kulit.
Kedua, biasakan membersihkan kulit setelah terpapar hujan atau debu, karena mikroplastik dapat menempel pada keringat dan minyak kulit. Mencuci wajah dan tubuh dengan air bersih serta sabun ringan dapat membantu mengurangi akumulasi partikel tersebut.
Berikutnya, masyarakat bisa menggunakan pakaian pelindung dan sunscreen saat aktivitas luar ruangan. Sunscreen tidak hanya mencegah efek UV, tetapi juga berfungsi sebagai lapisan tambahan yang mengurangi kontak langsung partikel dengan kulit.
Selain itu, di tingkat masyarakat luas, penting untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan mendukung kebijakan pengelolaan limbah plastik, karena akar masalah hujan mikroplastik berasal dari polusi plastik yang terus meningkat di lingkungan.