30 November 2024
16:46 WIB
Cuan Dan Peran Brand Kelola Ekosistem Wisata Gunung
Mendaki gunung jadi alternatif aktivitas yang ramai dilakukan orang. Tren ini memunculkan sejumlah tantangan baru, termasuk juga oleh brand-brand outdoor dalam edukasi dan pelestarian ekosistem.
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Satrio Wicaksono
Seorang pria membawa tas ransel punggung saat mendaki gunung. Shutterstock/everst
JAKARTA – Mendaki gunung hari ini telah berkembang menjadi aktivitas wisata yang sifatnya populis. Semua orang kini ingin mendaki gunung, sebagai alternatif kegiatan rekreasi untuk melepaskan penat fisik dan pikiran setelah bekerja lima hari dalam sepekan.
Maka beramai-ramailah orang mendaki gunung, terutama dari kalangan kawula muda. Dari kalangan pelajar remaja, mahasiswa hingga kelas pekerja-kota, semua datang ke gunung di akhir pekan untuk menikmati pengalaman baru berada di tengah-tengah hijau raya pegunungan.
Mendaki gunung telah melahirkan gelombang tren yang riuh. Dari tren pendakian ultralight atau efektif, hingga tren pendakian tektok belakangan ini. Media sosial membuat aktivitas naik gunung semakin menarik bagi banyak orang, karena melihat betapa aktivitas tersebut penuh daya tarik dan bisa dilakukan tanpa harus punya minat khusus terhadap aktivitas alam tersebut. Bahkan, banyak pendaki membawa anaknya yang masih sangat kecil untuk menanjak.
Pertumbuhan tren wisata gunung dan juga wisata luar ruang secara luas adalah hal baik. Di satu sisi itu memajukan industri pariwisata di tingkat-tingkat lokal. Di sisi lain, tren ini juga menjadi peluang tumbuh bagi pelaku bisnis dan retail di ekosistem terkait, seperti misalnya penyedia produk pendukung aktivitas wisata outdoor.
Salah satu brand menonjol yaitu Eiger, merek asli Indonesia yang telah dikenal luas sebagai penyedia produk aktivitas alam atau luar ruang. Merek ini telah terlibat lama dalam menyokong tumbuhnya tren wisata alam di Indonesia, hingga era media sosial hari ini.
Pertumbuhan peminat wisata alam dari tahun ke tahun telah menumbuhkan jaringan bisnis Eiger hingga kini memiliki 300-an gerai resmi di seluruh Indonesia. Peluang bisnis yang ada sangat besar, dan terus tumbuh waktu ke waktu seiring pertumbuhan gaya hidup masyarakat.
Public Relation Eiger Adventure, Shulhan Syamsur Rijal mengungkapkan, tren itu turut mendorong ekspansi produk Eiger. Pihaknya menangkap banyak peluang bisnis yang kemudian dieksplorasi untuk menjawab kebutuhan para peminat baru aktivitas outdoor, seperti merilis produk sajadah portable, hingga series-series outfit pendakian untuk anak dan keluarga.
“Jadi ini semacam ‘palugada’ lah, kalau lo mau apa, gue ada. Itu yang sekarang kita lakukan di Eiger. Misalnya kita coba buat ngembangin woman series dan junior series. Series-series yang memang diperkenalkan untuk menjawab pertanyaan keluarga-keluarga muda yang misalnya ingin bersantai ke alam, berkemah atau lainnya,” ungkap Shulhan kepada Validnews, beberapa waktu lalu.
Menurut Shulhan, pihaknya pun menangkap perubahan budaya dalam pendakian, khususnya pada generasi baru hari ini. Pasar, bagi Eiger, kini semakin bervariasi. Selain para pendaki senior yang membutuhkan jenis produk yang berfitur teknis, ada banyak pendaki baru yang justru merasa lebih cocok dengan outfit dan perlengkapan yang lebih bersifat mini namun efektif, dan sebisa mungkin multifungsi.
Perubahan itu direspon pula oleh Eiger, misalnya merilis seri dengan spesifikasi lebih sederhana, lebih ringan namun tetap fungsional. Misalnya, produk tas berukuran sedang dengan bahan lebih ringan, atau sepatu jenis hybrid yang multifungsi, lebih ringan dan disukai oleh generasi muda. Dalam kategori ini termasuk juga produk-produk bagi para pendaki tektok.
“Kalau ngomong uniknya orang-orang yang muda buat naik gunung, nah itu kita melihatnya dalam kategori light hiking. Mereka yang ke puncak mungkin cuma buat ngonten atau menikmati sunrise-nya. Mereka nggak mau ribet,” ujar Shulhan.
“Jadi kita coba untuk bikin yang light-light fitur gitu loh. Karena ini sekarang istilahnya jadi sesuatu yang populis ya, kita coba mempopulerkan lagi kegiatan outdoor ke orang-orang baru gitu,” imbuhnya lagi.
Dengan kata lain, Eiger menempatkan diri sebagai produsen untuk semua kalangan pendaki gunung, baik yang bermazhab konvensional maupun ultralight hiking yang berbasis prinsip-prinsip pendakian lebih efektif. Meski bersiasat dengan karakteristik produk dan fitur-fiturnya, Shulhan tetap memastikan bahwa pihaknya bernaung di bawah standar kualitas merek yang ketat.
Tantangan Budaya Massa hingga Pelestarian Alam
Meski di satu sisi mendulang untung dari pertumbuhan tren wisata gunung dan wisata alam pada umumnya, Eiger menempatkan diri sebagai merek sekaligus juga sebagai bagian dari ekosistem. Ketika tegak di posisi kedua, ada isu besar yang menjadi tantangan dalam pariwisata berbasis alam hari ini, khususnya wisata gunung.
Setidaknya ada dua isu utama, yaitu keamanan pendaki dan kelestarian alam. Dua itu di hulunya bertemu pada soal perilaku massa atau para pendaki. Perilaku pendaki yang belum cukup baik, membuat dunia wisata gunung hari ini masih diliputi kejadian-kejadian nahas, dan di saat bersamaan membuat gunung tercemar dan rusak.
Banyak pendaki yang menanjak tanpa prosedur pendakian yang layak, karena kurangnya persiapan terkait perlengkapan atau kurangnya persiapan secara fisik, hingga kurangnya modal pengetahuan akan alam gunung yang dijelajahi. Akibatnya, kerap terjadi kasus pendaki tersesat, hilang, bahkan meninggal dunia.
Di saat bersamaan, etika berhadapan dengan alam juga masih belum terbangun baik. Banyak pendaki membawa seabrek sampah plastik ke puncak gunung tanpa adanya rasa tanggung jawab untuk membawa kembali sampah tersebut saat turun. Bahkan yang sangat memprihatinkan, banyak pendaki mencemari sumber-sumber air di sekitar jalur pendakian.
Shulhan sebagai representasi Eiger, menyebut persoalan tersebut adalah persoalan pengetahuan dan etika. Hal ini pula yang menjadi perhatian besar bagi pihaknya, untuk mempromosikan budaya mendaki yang lebih baik, yaitu mendaki secara aman sekaligus juga beradab.
“Kita tahu, banyak banget kejadian di beberapa waktu terakhir. Pendaki kepleset, jatuh di jurang, dan lain-lain. Kalau misalnya kita melihat ke Gunung Slamet, Sumbing, Sindoro, itu 3S, gunung yang sakral buat pendaki-pendaki pemula untuk mereka ‘takhlukkan’, itu problemnya sama. Banyak pendaki-pendaki baru yang cuma sekedar ikutan tren, dia nggak menganggap gunung itu mengandung bahaya, dia nggak nyiapin, sesederhana dia nggak nyiapin jas hujan seharga Rp10 ribu,” sorot Shulhan.
“Terus lagi sampah. Masalahnya, orang beranggapan bahwa bayar retribusi itu sama dengan kita membeli gunung, kita bebas buang sampah sembarangan dengan asumsi itu,” katanya lagi.
Shulhan menilai Eiger sebagai bagian dari ekosistem, memiliki kepentingan langsung untuk mengintervensi tren wisata alam yang berkembang saat ini dengan standar wisata yang baik. Terutama terkait kesadaran keselamatan dan juga kesadaran akan pelestarian alam.
Ada pula agenda-agenda publik yang digelar, semacam workshop publik untuk pengayaan pengetahuan seputar pendakian gunung.
“Sederhananya agenda ini adalah undangan yang dikirimkan Eiger untuk konsumen, rata-rata memang usia muda, usia yang lagi gila-gilanya sama kegiatan luar ruang. Tujuannya adalah untuk kita memberikan dasar, basic, kita berbagi cerita sebetulnya, bukan oleh Eiger, tapi oleh para pendaki-pendaki senior yang expert di bidang ini, untuk bicara hal-hal seputar medis dalam pendakian, persiapan perbekalan, navigasi daerah, survival, dan lain-lain,” terang Shulhan.
Shulhan menambahkan, pihaknya sendiri memang memiliki tim khusus bernama Eiger Adventure Service Team. Tim ini diisi para pendaki berpengalaman, yang memiliki tugas untuk mengedukasi para pendaki lewat beragam kegiatan yang diadakan oleh brand tersebut.
Proyek Percontohan: Gunung Bebas Sampah
Bahkan lebih jauh, Eiger pun terlibat dalam pengelolaan. Shulhan dan timnya ikut mengelola jalur pendakian di dua gunung, yaitu Gunung Kembang via Blembem di Wonosobo, Jawa Tengah dan jalur pendakian Gunung Bulu’ Baria di Gowa, Sulawesi Selatan.
Bagusnya, dua jalur ini pun termasuk jalur gunung paling bersih di Indonesia. Gunung Kembang via Blembem yang dijuluki gunung terbersih di Indonesia, belum lama ini juga mendapatkan penghargaan sebagai pelopor wisata gunung berkonsep bebas sampah dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Shulhan mengatakan, misi Eiger pada pengelolaan jalur pendakian di dua gunung tersebut adalah untuk menghadirkan percontohan. Dia berharap, lewat Gunung Kembang dan Bulu’ Baria, para pengelola di gunung-gunung lainnya bisa mendapatkan perspektif kuat bahwa gunung bisa dikelola dengan prosedur bebas sampah, meski itu berarti dengan prosedur yang lebih ketat bagi para pendaki.
Shulhan menyadari menerapkan aturan ketat di jalur pendakian, seperti melarang total sampah plastik untuk dibawa ke jalur pendakian, adalah pilihan pengelolaan yang dilematis. Ada potensi jalur pendakian itu ditinggalkan peminat wisata gunung, karena aturan yang terlalu ketat dan barangkali dianggap menyulitkan.
“Memang masalahnya, kadang pengelola gunung juga pada akhirnya nggak bisa berbuat banyak, karena kalau mereka bikin aturan ketat, mereka takut. Dilema, ya, pendakinya pada hilang, pendakinya pada mundur,” kata Shulhan.
Namun Shulhan meyakini bahwa aturan yang ketat, pada akhirnya akan bisa menjadi suatu kenormalan di gunung-gunung Indonesia, seiring dengan membaiknya apresiasi masyarakat terhadap lingkungan atau alam. Dan hal itu menurutnya bisa dilihat pada Gunung Kembang yang kini mulai ramai peminatnya.
“Gunung Kembang sendiri, itu mulai banyak diomongin sama orang-orang, kayak ‘wiiih, gila, gue baru kali ini naik gunung bersih banget, nggak ada sampah sekecil apapun, sekecil buntung rokok atau sobekan-sobekannya tolak angin,” tutur Shulhan.
“Hari ini mulai banyak influencer yang menyadari, dan menyebarkan tentang Gunung Kembang,” pungkasnya.