28 April 2023
15:08 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Tanggal 28 April diperingati sebagai Hari Puisi Nasional. Momen ini merupakan perayaan atas puisi modern Indonesia, sekaligus mengenang hari wafatnya sosok yang dianggap pelopor dalam sastra Indonesia, khususnya perpuisian Indonesia. Sosok tersebut yakni Chairil Anwar.
Setiap tahunnya, Hari Puisi Nasional selalu diperingati dengan mengenang sosok Chairil. Berbagai artikel ataupun forum diskusi sastra diadakan di momen ini, membicarakan sepak terjang maupun karya-karya Chairil.
Umumnya, publik mengenal Chairil Anwar hanya lewat puisi-puisinya yang fenomenal, seperti “Aku” hingga “Karawang Bekasi”. Atau, banyak yang membicarakan sosok sang penyair yang lekat dengan citra ‘urakan’, bahkan bergelar Si Binatang Jalang.
Sayang, masih belum banyak pembicaraan tentang sisi Chairil di luar sosok dan karyanya itu. Padahal, Chairil juga layak dibicarakan dalam konteks kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan di masa revolusi menjelang hingga sesudah Kemerdekaan.
Bagi para peneliti sejarah sastra atau kebudayaan, tentunya paham betapa Chairil telah berperan memberi warna yang kuat pada kebudayaan Indonesia pasca kemerdekaan. Sosok ini termasuk pelopor, yang membawa orientasi baru bagi para intelektual di zamannya, khususnya mereka yang disebut sebagai ‘Angkatan 45’.
Chairil sendiri adalah ‘juru bicara’ utama untuk Angkatan 45, di mana di dalamnya bergabung penulis Asrul Sani, Rivai Apin, hingga Ida Nasution. H.B. Jassin hingga Mochtar Lubis juga menjadi bagian dari intelektual yang sejalan dengan gagasan Angkatan 45 di masa itu.
Orientasi utama Angkatan 45 adalah pada kebudayaan modern yang membawa semangat ‘humanisme’ dan bersifat ‘universal’. Itulah kenapa angkatan ini kemudian disebut mengusung ideologi ‘humanisme universal’.
Angkatan 45 yang ‘dipimpin’ Chairil terlibat dalam pembentukan kebudayaan antara masa pendudukan Jepang hingga masa revolusi pasca Kemerdekaan. Tampak misalnya dalam esai Chairil bertajuk “Hoppla!” yang dengan tegas memisahkan diri dari Poedjangga Baroe--kelompok sastrawan budayawan generasi Sutan Takdir Alisjahbana.
Chairil melalui esainya itu menyerukan kebutuhan akan kebudayaan baru, yang berbeda dari kebudayaan Hindia Belanda ataupun semangat ketimuran yang dibawa Jepang. Kebudayaan baru itu terutama diwujudkan lewat ekspresi bahasa, di mana Chairil diakui telah memunculkan rasa bahasa Indonesia yang baru, yang lepas dari pengaruh sastra masa kolonial.
Bahasa yang lugas dan jujur, kemudian menjadi ciri khas dalam puisi-puisi Chairil, yang berbeda dengan bahasa dalam kesusastraan era sebelumnya yang cenderung bersifat kaku dan ‘melambai-lambai’.
Keith Foulcher, peneliti sastra Indonesia dalam publikasinya di situs tengara.id milik Dewan Kesenian Jakarta, mengulas kiprah Chairil dalam arena kebudayaan masa itu dalam artikel bertajuk “Angkatan 45: Sastra, Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia”.
Foulcher menyebut, Chairil dan kelompoknya berusaha mendefinisikan konsep kebudayaan baru, yang berseberangan dengan pandangan kelompok Sutan Takdir Alisjahbana. Takdir mengusung pandangan bahwa Indonesia perlu melanjutkan kerjasama budaya dengan Belanda. Sementara Chairil menolak itu, dan menyodorkan pandangan yang lebih berorientasi ‘dunia’ atau ‘internasional’.
“Esai Chairil yang terkenal, terbit pada 1945’. Esai ini barangkali yang telah menunjang kecenderungan umum untuk melihatnya sebagai jagoan sastra yang menghadapi generasi Poedjangga Baroe sendirian dan menjungkirbalikkan perhatian generasi tersebut,” tulis Foulcher.
Kemerdekaan Ekspresi
Inti dari pandangan kebudayaan Chairil dan Angkatan 45 yaitu kebebasan seniman yang tak terikat pada adogma-dogma dalam berkarya, memberi nuansa pada kebudayaan. Kebebasan seniman untuk terus mencari jati diri, bereksperimen menggali estetika, dan tidak menjadi pencatat atau juru bicara ideologi tertentu.
Kelompok ini menolak kekakuan dalam hal apapun, utamanya dalam konsepsi sastra Indonesia, dan bersamaan mengutamakan penggalian terus-menerus ke ‘dalam diri’.
Wujudnya dalam karya-karya Chairil, yakni bahasa Indonesia menjadi bahasa ‘kesusasteraan modern’. Bahasa yang luwes dan terus bisa berkembang, alih-alih terpaku pada konsepsi bahasa dalam kesusasteraan Melayu lama.
“Dalam puisi-puisi awalnya, yang ditulis antara 1942-1945, Chairil mulai bereksperimen dengan bahasa Indonesia yang baru serta jati dirinya sebagai seorang penulis. Dalam dua bidang itu, ia mengambil sastra Eropa, khususnya sastra tahun-tahun di antara peperangan, sebagai model. Chairil-lah yang pertama kali memproduksi gagasan Eropa tentang “the modern” ke dalam sastra bahasa Indonesia”, lanjut Foulcher.
Penting dipahami bahwa di masa pasca Kemerdekaan itu, sastrawan atau budayawan termasuk orang-orang yang berada di sekitar pusaran revolusi. Lewat tajuk-tajuk kebudayaan yang mereka tulis dan publikasikan, opini publik dibentuk. Opini-opini atau pandangan tersebut bahkan mempengaruhi bagaimana jalannya revolusi, apatah lagi jalannya langkah-langkah politik dan kebudayaan nasional.
Bagi para pendukung gagasan Angkatan 45, Chairil dianggap memiliki adalah seorang revolusioner dalam arena kebudayaan. Sitor Situmorang, esais yang juga dikenal sebagai penyair, menyebut Chairil adalah seniman yang telah membebaskan diri dari batas-batas pemikiran ‘timur dan barat’. Chairil, baginya, adalah anak kandung dari kebudayaan dunia.
Semangat Chairil tersebut kemudian menemukan artikulasinya dalam dokumen Gelanggang Kebudayaan yang menyebut Angkatan 45 adalah ‘ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia’.
Kepeloporan Sastra
Tentang peranan Chairil Anwar dalam perkembangan sastra Indonesia, bisa merujuk ke pembacaan sejumlah ahli atau kritikus sastra Indonesia yang terkemuka. H. B. Jassin, misalnya, sosok ‘Paus Sastra’ Indonesia itu, dalam bukunya Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983), menyebut Chairil adalah penyair yang mampu menghadirkan pesona tiada habis lewat puisi-puisinya.
Setiap kali membaca karya-karya Chairil, kata Jassin, pembaca akan dibawa mengembara jauh, melihat sesuatu yang baru dan segar.
“Setiap kali kita membacanya, pikiran kita mengembara jauh dan selalu kita menemukan sesuatu yang baru, atau sesuatu yang sebelumnya tidak kita lihat, atau kita lihat dengan mata yang lain dari sudut yang lain,” kata Jassin.
Sementara kritikus sastra A. Teeuw mengatakan bahwa dalam karya Chairil, terdapat keanekaragaman, suatu ciri khusus bagi suatu kepribadian yang sedang dalam pembentukan, yang menempuh kehidupan dengan penuh gairah.
Chairil bagi Teeuw merupakan suatu ‘tenaga’ yang berarti bagi pembangunan Indonesia.
“Melalui kepribadiannya dan puisinya, ia memberikan suatu sumbangan terhadap pembentukan Indonesia baru, dan menolong memberikan arah kepadanya. Dia terutama mempertahankan cita-cita mulia tentang bahasa Indonesia dalam bentuk hubungan yang paling dalam, yaitu puisi,” tulis A. Teeuw dalam bukunya Sastra Baru Indonesia 1 (1978).
Tentang Chairil sendiri, ia lahir di Medan pada 22 Juli 1922. Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan 96 karya, termasuk puisi atau sajak.
Sajak-sajak Chairil terkumpul antara lain dalam Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam (1949), serta Aku Ini Binatang Jalang (1986).
Chairil meninggal dunia pada usia 27 tahun, pada tanggal 28 April 1949. Tubuhnya dimakamkan di Karet, tempat yang ia sebut dan gambarkan sebagai tempat ‘deru angin’ dalam puisi bertajuk “Yang Terempas dan Yang Putus”.