01 November 2023
15:39 WIB
JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebut, penerapan kebijakan satuan pendidikan yang ramah anak, penting dilakukan sebagai salah satu upaya mencegah perundungan terhadap anak.
"Belajar dari kasus-kasus perundungan di satuan pendidikan, maka penting dilakukan upaya pencegahan di antaranya melaksanakan kebijakan satuan pendidikan ramah anak," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar, Rabu (11/1).
Pernyataan Nahar sendiri dilontarkan untuk menanggapi kasus dugaan perundungan terhadap anak SD Negeri di Tambun Selatan, Bekasi, Jawa Barat, yang berujung kaki korban diamputasi.
Nahar menegaskan setiap satuan pendidikan harus mempedomani Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
"Pentingnya penerapan standar lembaga perlindungan khusus ramah anak dan secara khusus mematuhi Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 dimana setiap satuan pendidikan memiliki TPPK," katanya.
Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) adalah tim yang dibentuk satuan pendidikan untuk melaksanakan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Di tingkat daerah, lanjut Nahar, juga harus dibentuk TPPK yang dikelola oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait.
Sebelumnya seorang siswa SD Negeri berinisial F (12) diduga menjadi korban perundungan yang dilakukan oleh teman-temannya di sekolah di Tambun Selatan, Bekasi, Jawa Barat.
Akibat perundungan yang menimpanya pada Februari 2023, kaki F sampai mengalami cedera dan infeksi. Kondisi kaki F kemudian semakin memburuk dan harus dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa.
Sejumlah dokter dari rumah sakit yang berbeda mendiagnosis F mengalami kanker tulang dan harus dilakukan amputasi pada kaki kirinya. Saat ini F dirawat di RS Kanker Dharmais, Jakarta, setelah menjalani tindakan amputasi pada kakinya.

Peran Orang Tua
Sebelumnya, Psikolog anak dan keluarga Samanta Elsener dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) mengatakan, orang tua menjadi salah satu faktor yang menentukan anak memiliki sifat agresif untuk melakukan perundungan atau bullying kepada orang lain.
“Orang tua diimbau untuk tidak melakukan cara kekerasan di rumah dan dalam penyelesaian masalah karena akan menjadi contoh untuk anak,” kata Samanta.
Ia menuturkan sifat agresif anak muncul akibat pengaruh proses pembelajaran yang terjadi dalam sebuah permainan yang dimainkan. Misalnya seperti permainan online (daring) yang memiliki tayangan maupun konten kekerasan.
Penyebab lainnya adalah kebutuhan kebersamaan, solidaritas dan eksistensi karena anak tergabung dalam suatu kelompok yang melakukan perundungan.
Hanya saja hal tersebut bukan faktor penunjang yang dapat meningkatkan risiko anak melakukan perundungan. Sifat agresif anak lebih dipengaruhi oleh pembicaraan orang-orang di sekitarnya ketika dihadapkan dengan suatu konflik.
“Anak-anak belajar dari mendengarkan cerita orang-orang di sekitarnya, bagaimana mereka menyelesaikan masalah. Anak yang main games tapi mendapatkan panduan dari orang tuanya, mereka tahu batasan dan lebih bisa menahan diri,” ujarnya.
Menurutnya karena seorang anak merupakan peniru yang baik, Samanta mengimbau agar orang tua tidak melakukan kekerasan di rumah. Sebaliknya, orang tua harus menunjukkan perilaku yang baik saat menyelesaikan suatu masalah guna memberikan contoh pada anak.
Orang tua bisa menggunakan pendekatan conscious parenting, yakni pola pengasuhan dengan penuh berkesadaran, sehingga orang tua menyadari tiap gerak-gerik dan bagaimana cara yang tepat dalam mengarahkan anak melakukan atau memutuskan sesuatu.
Selanjutnya, orang tua harus selalu memenuhi kebutuhan emosional anak dengan kasih sayang dan kelembutan. Berikan pemahaman terkait batasan bermain dengan teman dengan cara bercanda, berkonflik maupun perundungan.
Ia turut meminta agar orang tua bisa aktif berdiskusi dengan pihak sekolah. Terutama jika mengetahui adanya kasus perundungan di tengah siswa guna menciptakan sinergi dan kolaborasi yang baik.
“Orang tua perlu menjadi suporter anak dalam proses pemulihan dirinya agar bangkit lagi. Perbaiki self-esteem atau penilaian diri anak. Bahkan jika perlu, pergi ke profesional dan mendapatkan bantuan yang tepat untuk meningkatkan self-esteem anak dan kemampuan menyelesaikan masalah yang baik,” katanya.
Terakhir, orang tua perlu berpartisipasi dalam berbagai macam kegiatan anak-anak. Termasuk mengajak anak bertemu dengan berbagai macam karakter orang untuk membuat keterampilan sosialnya jauh lebih baik.