c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

03 November 2025

10:58 WIB

Cara Sopan Berhenti Menjadi People Pleaser

People pleaser dikaitkan dengan kepribadian yang disebut sociotropy atau rasa butuh berlebihan akan penerimaan dan persetujuan orang lain demi menjaga hubungan.

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p id="isPasted">Cara Sopan Berhenti Menjadi <em>People Pleaser</em></p>
<p id="isPasted">Cara Sopan Berhenti Menjadi <em>People Pleaser</em></p>

Ilustrasi sepasang anak muda memasang wajah ceria untuk menyenangkan orang lain. Sifat ini disebut sebagai people pleaser. Freepik/ cookie_studio

JAKARTA - Istilah people pleaser atau merujuk pada kebiasaan seseorang berusaha menyenangkan orang lain, kini sudah menjadi istilah yang banyak digunakan dan dipahami secara luas. Seorang people pleaser sendiri adalah orang yang cenderung mendahulukan kebutuhan orang lain di atas kebutuhannya sendiri.

Bersikap baik dan membantu tentu bukan hal yang salah, apalagi jika dilakukan dengan niat tulus. Namun, ketika keinginan untuk membuat orang lain bahagia dilakukan secara berlebihan, justru bisa menjadi bumerang.

Dilansir dari Verywell Mind, peole pleaser sering dikaitkan dengan kepribadian yang disebut sociotropy atau rasa butuh berlebihan akan penerimaan dan persetujuan orang lain demi menjaga hubungan. Dalam beberapa kasus, kebiasaan ini juga bisa menjadi gejala dari kondisi kesehatan mental seperti gangguan kecemasan, depresi, gangguan kepribadian menghindar, atau ketergantungan emosional.

Orang yang gemar menyenangkan orang lain biasanya punya pola serupa sulit berkata "tidak" dan sering merasa bersalah jika menolak permintaan. Dalam pikirannya, menolak sama dengan menjadi jahat atau egois.

Akibatnya, mereka sering menyetujui hal-hal yang sebenarnya tidak mereka inginkan, hanya agar orang lain tidak kecewa. Mereka terlalu sibuk memikirkan apa yang akan dikatakan orang, sering meminta maaf tanpa alasan jelas, dan mudah menyalahkan diri sendiri.

Dalam kesehariannya, waktu pribadi hampir tak tersisa karena selalu disibukkan oleh urusan orang lain. Ironisnya, demi menjaga hubungan, mereka justru kehilangan ruang untuk mengenal dan memenuhi kebutuhan diri sendiri.

Padahal, sifat peka dan penuh empati yang dimiliki oleh seorang people pleaser sebenarnya merupakan kualitas positif. Mereka mudah memahami perasaan orang lain dan memiliki kepedulian tinggi.

Namun, di balik kebaikan itu sering tersembunyi rasa rendah diri, keinginan untuk mengontrol situasi agar tetap aman, atau dorongan untuk tampil sempurna di mata orang lain. Semua ini bisa menjadi akar dari perilaku people pleasing yang sulit dihentikan.

Untuk bisa berubah, penting memahami dari mana kebiasaan ini berasal. Banyak orang melakukannya karena memiliki harga diri yang rendah dan mencari pengakuan dari luar.

Ada juga yang melakukannya karena rasa takut ditolak, tidak disukai, atau kehilangan hubungan. Perfeksionisme juga bisa memperkuat hal ini. Keinginan agar segalanya terlihat sempurna, termasuk pandangan orang terhadap diri kita, membuat seseorang berusaha keras memenuhi ekspektasi orang lain.

Tak jarang pula, pengalaman masa lalu yang traumatis berperan besar. Misalnya, seorang yang pernah ditolak atau disakiti bisa tumbuh dengan keyakinan bahwa satu-satunya cara agar diterima adalah dengan selalu menuruti orang lain.

Niat untuk membantu orang lain tentu bukan kesalahan. Namun, ketika dorongan itu muncul bukan dari ketulusan, melainkan dari rasa takut tidak diterima, hal tersebut bisa berubah menjadi beban psikologis. Menyenangkan orang lain terus-menerus tanpa memperhatikan diri sendiri dapat memunculkan rasa marah, frustrasi, bahkan penyesalan.

Lambat laun, tubuh dan pikiran pun kelelahan. Ketika seluruh tenaga dicurahkan untuk orang lain, kita bisa kehilangan arah dan lupa mengejar tujuan pribadi.

Hubungan yang semula terasa hangat pun bisa berubah tidak seimbang. Saat kita terus memberi tanpa pernah menerima, orang lain mungkin tanpa sadar terbiasa memanfaatkan kebaikan itu, sementara kita menumpuk rasa kecewa yang tak terucapkan.

Baca juga: Sebanyak 76% Anak Muda Habiskan Uang Untuk Ikuti Gaya Hidup Teman

Tips Berhenti

Berhenti menjadi people pleaser bukan berarti berubah menjadi egois. Ini soal menemukan keseimbangan antara peduli pada orang lain dan menghormati diri sendiri.

Langkah pertama adalah menetapkan batas. Kenali apa yang sanggup dan tidak sanggup kamu lakukan, lalu komunikasikan dengan sopan. Tidak semua permintaan harus Anda "iyakan". Pasalnya, Anda berhak berkata "tidak" tanpa merasa bersalah.

Perubahan ini memang tidak mudah, tapi bisa dimulai dari hal-hal kecil dengan cara menolak permintaan sederhana, berani menyampaikan pendapat, atau memberi waktu untuk mempertimbangkan sebelum menjawab "ya". Dengan latihan, Anda akan terbiasa membela diri sendiri tanpa kehilangan empati terhadap orang lain.

Selain itu, pahami apa yang menjadi prioritas hidup. Saat tahu apa yang benar-benar penting, Anda akan lebih mudah menentukan mana yang layak diberi waktu dan tenaga. 

Jangan lupa, belajar membedakan antara permintaan yang tulus dan manipulatif. Ada orang yang tahu Anda sulit menolak dan mereka mungkin memanfaatkannya.

Dalam situasi seperti itu, bersikap tegas bukan berarti jahat, melainkan bentuk nyata dari menghargai dan melindungi diri sendiri. Sebab, hubungan yang sehat selalu berjalan dua arah antara saling menghormati dan memahami batas masing-masing.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar