c

Selamat

Kamis, 20 November 2025

CATATAN VALID

31 Mei 2021

12:47 WIB

Bung Chairil, Pelacur, dan Poster Perjuangan

Kutipan “Boeng Ajo Boeng” dalam poster karya Affandi merupakan ide Chairil Anwar. Kisahnya memantik tawa

Penulis: Novelia

Bung Chairil, Pelacur, dan Poster Perjuangan
Bung Chairil, Pelacur, dan Poster Perjuangan
Chairil Anwar (26 Juli 1922 – 28 April 1949), "Si Binatang Jalang". Ist.dok

“Bung, saya sudah kirimkan revisinya ya.”

Terdengar seorang pegawai berseru pada rekan kerjanya di kantor. Usia keduanya sebenarnya tak berkisar jauh. Soal jabatan di perusahaan pun, rasanya tak ada di antara mereka yang lebih tinggi dan berkuasa.

Dalam beberapa dekade belakangan, kata "Bung" pasti tak sekali dua kali saja terdengar di telinga kita. Panggilan ini memang sudah tak asing digunakan pada berbagai situasi. Seperti punya unsur magis, ada kesan gagah ketika seseorang saling memanggil dengan gelar ini. Namun, meski kini punya kesan positif dan terhormat, nyatanya panggilan "Bung" pernah punya perjalanan citra yang menarik dan mengundang tawa. 

Cerita itu melibatkan dua seniman legendaris Sudjojono dan Affandi, serta sang penyair fenomenal Chairil Anwar yang merupakan karib mereka. Semua berawal dari kebiasaan dan serangkaian kisah masa kemerdekaan.

Kalau ditinjau dari aspek kebudayaan, kata sapaan “Bung” sebenarnya berasal dari bahasa Bengkulu yang berarti kakak. Panggilan ini bisa dianggap setara dengan kata "Abang", "Mas", atau "Akang" dalam kultur daerah lain. Tak heran, Fatmawati, istri Soekarno yang berasal dari Bengkulu memanggil sang bojo dengan sapaan ini. 

Panggilan ini pun menjadi semacam tren karena digunakan salah satu tokoh ternama bangsa. Tanpa peduli usianya lebih tua atau muda, atau pangkatnya lebih tinggi atau tidak, banyak rakyat menujukan sapaan ini kepada kenalan yang mereka segani sebagai simbol keakraban. Sebuah tanda respek dan di sisi lain juga tanda setara.

Bersamaan dengan menggeliatnya tren sapaan “Bung”, gelora meraih kemerdekaan Indonesia kala itu tengah berkobar. Medan perang masih menanti para pejuang untuk merebut keutuhan tanah air. Berbagai lapisan masyarakat ikut ambil bagian, tak terkecuali para seniman dan pegiat sastra.

Makanya, demi lebih memecut semangat para pejuang, Bung Karno memberi tugas pada pelukis Affandi untuk melukis sebuah poster. Dengan model rekan sesama pelukis, Dullah, lukisan pun selesai. Seorang pejuang dengan tangan diborgol, namun berhasil diputuskannya. Tinggal satu elemen dibutuhkan untuk melengkapinya agar menjadi poster yang memicu jiwa juang, yakni kutipan yang tepat.

 


Poster Perjuangan "Boeng Ajo Boeng" Karya Affandi. Ist/dok 

 

Para seniman berkumpul dan berdebat, tapi tak juga dapat jawaban tepat. Salah satu pelukis nasional yang juga harum namanya, Sudjojono, menanyakan pendapat Chairil Anwar. Penyair yang hingga kini masih beken itu langsung menjawab dengan enteng, “Bung, ayo Bung!” (Abdurrozaq, 2017). Jawaban Chairil dinilai sebagai ide yang cemerlang. Apalagi sapaan “Bung” sudah akrab di telinga rakyat. Poster pun diproduksi secara masif dan dikirim ke pelosok-pelosok Indonesia. Semangat merdeka bergerilya dari berbagai titik. Kutipan dari Chairil pun bagai ajakan heroik untuk membela tanah air.

Penasaran, beberapa seniman mengulik dari mana sang penulis puisi “Aku” mendapatkan ide kutipan untuk poster tersebut. Tanpa ragu dan malu-malu, Chairil menjelaskan bahwa kata-kata itu diucapkan oleh pelacur yang menawarkan jasanya di kawasan Senen. Ya, inspirasi memang datang dari sebuah ajakan, tapi ajakan ke ranjang, bukan ke medan perang. Mendengar cerita pemuda pecinta sastra ini, para seniman hanya bisa terbahak. Pantaslah kalau nama Chairil tercatat sebagai pelopor angkatan 45, karena barangkali dialah satu-satunya sosok yang mengangkat derajat “Bung” dari ranjang di kamar remang menjadi awal perjuangan kemerdekaan yang panjang.


Referensi:
Abdurrozaq. (2017). Kajian Ikonologi Poster Perjuangan "Boeng, Ajo Boeng!" Karya Affandi Tahun 1945. Jurnal Ekspresi Seni Vol. 19 No. 1, 1-19.

Museum Indonesia. (2010, Mei 13). Museum Affandi. Retrieved from Museum Indonesia: https://www.museumindonesia.com/museum/28/2/Museum_Affandi

Sari, I. R. (2017, Desember 14). Diorama Gerakan Seniman Dalam Revolusi-Diorama II Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Retrieved from Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/Vredeburg/diorama-gerakan-seniman-dalam-revolusi-diorama-ii-museum-benteng-vredeburg-yogyakarta/

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar