08 Februari 2025
09:52 WIB
Bukan Konser, Sumber Terbesar Royalti Musisi Dari Platform Digital
Platform digital disebut sebagai penyumbang royalti terbesar para musisi dan pencipta lagu. Namun masih ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi.
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Satrio Wicaksono
Penyanyi Ari Lasso tampil pada acara Prambanan Jazz Festival 2019 di Taman Wisata Candi Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta, Minggu (7/7/2019). Sumber: AntaraFoto/Hendra Nurdiyansyah
JAKARTA – Persoalan royalti musik atau lagu belakangan banyak diperhatikan oleh para musisi pencipta lagu di tanah air. Sengketa terkait royalti pun bermunculan satu demi satu, disebabkan para pencipta merasa tak menerima hak royaltinya secara layak atau semestinya.
Jika diperhatikan, berbagai sengketa atau polemik itu berfokus pada royalti kategori pertunjukan, yaitu konser atau festival musik semata. Sementara nyaris tak ada pencipta yang ribut soal royalti dari sektor-sektor lainnya, seperti royalti dari industri perhotelan, karaoke hingga royalti dari platform digital. Seolah, tak ada masalah aliran royalti dari sektor-sektor lainnya tersebut.
Keributan berfokus pada royalti konser musik, seolah itulah sektor paling banyak memberikan pendapatan bagi pencipta. Padahal faktanya, justru platform digital atau DSP-lah yang saat ini paling banyak menyumbangkan pendapatan bagi musisi pencipta lagu di Indonesia.
Wahana Musik Indonesia (WAMI) mencatatkan, total Rp185 miliar royalti terhimpun dari katalog lagu yang berjumlah ratusan ribu judul milik ribuan musisi. Dari jumlah itu, 85% merupakan hasil penghimpunan royalti dari platform digital, seperti Spotify, Apple Music, JOOX, YouTube hingga platform semacam Netflix yang menggunakan lagu untuk tayangan-tayangan orisinal.
President Director WAMI, Adi Adrian mengatakan, platform digital adalah sumber utama pendapatan royalti bagi para pencipta lagu yang bergabung di bawah lembaga mereka. Dari platform-platform digital itulah, royalti didistribusikan kepada sekitar 6.000 anggota Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) tersebut.
Adi menggarisbawahi bahwa pendapatan royalti dari platform digital hingga saat ini pun belum optimal. Dengan kata lain, seperti pada sektor-sektor lainnya, aliran royalti dari platform digital pun tak sepenuhnya ideal dan lancar karena berbagai persoalan.
“Yang terbesar bayar performance rights ke WAMI adalah platform digital itu, DSP (Digital Service Provider). Tapi kami juga paham bahwa sebenarnya yang dibayarkan ini juga masih belum ideal. Masih banyak hal yang harus kita perjuangkan, karena saat ini tantangannya pada sistem klaim kita,” ungkap Adi saat ditemui di Jakarta, beberapa waktu lalu.
WAMI mencatat penghimpunan royalti sepanjang tahun 2024 lalu penuh dengan tantangan, baik di layanan offline maupun daring. Di luar wilayah digital, ada banyak kendala seperti banyaknya promotor musik tak membayar royalti. Di wilayah digital, DSP-DSP yang menggunakan musik para musisi anggota WAMI juga tak semuanya membayarkan royalti secara optimal, menurut ukuran tim WAMI.
Managing Director WAMI, Suseno A. Prasetyo membeberkan, perlu upaya yang besar untuk bisa mengklaim royalti secara optimal dari platform-platform digital yang ada. Faktor sistem pendataan yang belum maksimal disebut menjadi penyebab.
Sistem pendataan yang ada pada masing-masing platform saat ini, menurut Seno, belum bisa mendeteksi penggunaan lagu-lagu yang ada secara keseluruhan. Terkadang, ada banyak lagu yang tak terdata penggunaannya oleh platform itu sendiri, sehingga WAMI harus melakukan klaim secara manual, satu demi satu.
Belum lagi, kata Seno, platform-platform digital juga mengalami perubahan sistem dari waktu ke waktu. Hal itu membuat berbagai upaya pendataan dan klaim royalti pun menjadi semakin rumit.
“Di YouTube, itu ada jutaan video yang harus kita klaim, satu per satu. Itu pekerjaan besar. Tentu kita tidak diam saja, kita bentuk tim khusus untuk melakukan itu,” ucap Seno.
Meski begitu, Seno menegaskan bahwa hingga saat ini, platform digital adalah sumber pendapatan royalti terbesar bagi para musisi pencipta lagu di tanah air.
Terlepas sektor digital, secara umum pendapatan royalti musisi di Indonesia hingga saat ini memang masih belum optimal, menurut Adi Adrian. Sejatinya, angka royalti di Indonesia bisa mencapai triliunan rupiah per tahunnya. Namun hingga saat ini, royalti yang terkumpul secara nasional baru menyentuh ratusan miliar.
Persoalannya ada pada berbagai sektor, baik sistem platform digital hingga kepatuhan pengguna lagu membayar. Termasuk pada konser-konser, promotor sebagai pengguna lagu masih banyak yang tak patuh akan hal ini.
“Potensinya belum kita garap sesungguhnya. Industri ini harusnya bisa mencapai itu (pendapatan royalti tahunan di kisaran triliunan rupiah) dalam 5-10 tahun kedepan mungkin," imbuhnya.
"Membangun kepercayaan, bahwa royalti yang dibayarkan setiap penggguna memang sampai kepada pencipta, itu modalnya, sehingga orang-orang lebih sadar untuk membayar,” tandas Seno.