16 Agustus 2025
14:58 WIB
BRIN-RISH Jajaki Kolaborasi Sistem Pemantauan Sampah Antariksa
Research Institute for Sustainable Humanosphere (RISH) menawarkan kerja sama dengan BRIN untuk pengembangan sistem pemantauan dan mitigasi sampah antariksa.
Editor: Satrio Wicaksono
Ilustrasi sampah antariksa yang melayang di galaksi. Shutterstock/Frame Stock Footage
JAKARTA - Apakah Anda pernah membayangkan akan adanya sampah di luar angkasa? Jawabannya ada. Bukan hanya di Bumi, tenyata di antariksa juga terdapat sampah.
Sampah-sampah antariksa itu berasal dari benda-benda teknologi buatan manusia yang diluncurkan ke luar angkasa, namun sudah tidak memiliki fungsinya lagi. Misalnya, pecahan roket, satelit yang gagal atau sudah tidak berfungsi, sampai sampah dari aktivitas astronaut.
Nah, sampah antariksa atau space debris menjadi isu strategis yang memerlukan perhatian serius, karena berpotensi membahayakan lingkungan antariksa dan keselamatan masyarakat di Bumi. Kondisi ini mendorong pengembangan sistem pemantauan dan peringatan dini terkait jatuhnya objek antariksa yang melintasi atau berpotensi jatuh di wilayah Indonesia.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Antariksa (PRA) aktif melakukan pemantauan dan mitigasi dampak sampah antariksa. Pemantauan ini telah dilakukan sejak 2001 dengan memanfaatkan berbagai perangkat lunak dan data, hingga pada 2024 BRIN mengembangkan sistem pelacakan otomatis menggunakan teleskop berdiameter 50 cm.
Upaya yang dilakukan BRIN ini kemudian membuka peluang kerja sama dengan Research Institute for Sustainable Humanosphere (RISH), Kyoto University dan Space Weather Company (SWxC).
"Kami sangat senang bisa berkunjung ke Indonesia dan bertemu para peneliti di PRA BRIN. Kehadiran kami untuk mendiskusikan peluang kerja sama dalam pengembangan sistem pemantauan dan mitigasi risiko sampah antariksa," ujar Director of RISH sekaligus Deputy Leader SWxC, Mamoru Yamamoto, saat melakukan kunjungan ke PRA BRIN.
Dalam pertemuan tersebut, Yamamoto menawarkan inovasi teknis berupa radar berkinerja super tinggi untuk pemantauan space debris. Radar ini mampu meningkatkan sensitivitas deteksi melalui integrasi koheren, memungkinkan pendeteksian puing antariksa yang belum diketahui, bahkan yang orbitnya belum teridentifikasi.
Selain itu, radar ini dapat meningkatkan akurasi pelacakan melalui interferometri domain dan frekuensi, serta dapat difungsikan sebagai Multistatic Lateration Radar (MLR).
"Teknologi ini bekerja dengan mendeteksi dan melacak sampah antariksa serta satelit di orbit menggunakan radar atau teleskop dari darat. Kami menyebutnya Space Situational Awareness (SSA)," jelas Yamamoto, dikutip dari laman BRIN.
Menanggapi hal ini, Kepala PRA BRIN menyampaikan, riset pemantauan sampah antariksa menjadi prioritas mengingat semakin padatnya orbit Bumi oleh objek antariksa, yang kini menjadi isu global dan memerlukan langkah antisipatif sejak dini.
"Pemantauan dan mitigasi ini tidak hanya untuk kepentingan nasional, tetapi juga menjadi bagian dari kerja sama internasional dalam mengatasi risiko sampah antariksa terhadap sistem teknologi dan keamanan ruang angkasa global. Kami terbuka terhadap peluang kolaborasi, baik nasional maupun internasional, melalui tahapan dan skema program BRIN," ujar Sungging.
Ia menambahkan, pembahasan lebih lanjut akan dilakukan bersama Kepala Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (ORPA) BRIN untuk menentukan ruang lingkup, strategi, dan teknis kerja sama.
"Sesuai arahan Kepala BRIN, kerja sama ini selanjutnya akan dikoordinasikan oleh Organisasi Riset Elektronika dan Informatika (OREI) BRIN," tambahnya.
Sebagai informasi, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan belum secara spesifik mendefinisikan sampah antariksa. Namun, pada bagian penanganan bencana akibat kegiatan keantariksaan, terdapat ketentuan yang secara tidak langsung mencakup permasalahan sampah antariksa.