03 Juli 2024
14:53 WIB
BRIN: Kadar Nikotin E-Liquid Rata-Rata Lebih Rendah Dari Label
Penelitian yang ada pada saat ini untuk produk turunan tembakau seperti E-Liquid masih tidak proporsional dengan kondisi Indonesia, baik dari sisi produsen maupun konsumen
Pedagang menunjukan cukai liquid rokok elektrik di salah satu Vape Store di Depok, Jawa Barat, Senin (23/1/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni
JAKARTA - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan, kandungan nikotin yang terkandung pada perisa rokok elektronik (e-liquid) yang ada di pasaran, rata-rata memiliki kandungan yang lebih rendah dibandingkan dengan klaim jumlah nikotin pada label.
Dalam pengujiannya, sebanyak 60 sampel e-liquid diambil dengan proporsi 53 sampel terbuka, 7 sampel cair tertutup, dan 1 sampel padat, dengan 1 jenis rokok konvensional jenis Sigaret Putih Mesin (SPM), Sigaret Kretek Tangan (SKT), dan SPM standar dari University of Kentucky.
Pengujian dilakukan di laboratorium independen terakreditasi Komite Akreditasi Nasional-International Laboratory Accreditation Cooperation (KAN-ILAC).
"Nikotin di dalam e-liquid secara rata-rata lebih rendah hasil ujinya dibanding klaim pada label. Ada yang mencapai hanya 50%-nya, bahkan lebih rendah," kata Peneliti Pusat Riset Teknologi Pengujian dan Standar BRIN Bambang Prasetya dalam acara Asia Pacific Harm Reduction Forum (APHRF) 2024 seperti dikutip Antara di Jakarta, Rabu (3/7).
Pihaknya juga menemukan, sebanyak sembilan jenis toksikan yang terkandung pada sampel lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan rokok konvensional.
Selain itu, pihaknya tidak menemukan kandungan karbonmonoksida (CO) serta kandungan sejumlah senyawa yang dinilai berbahaya seperti 1.3 butadiene, benzene, 4-(methylnitrosamino)-1-(3pyridyl)-1-butanone (NNK), N-nitrosonornicotine (NNN) yang berada di bawah Limit of Detection (LoD) pada semua sampel.
"Semua sampel vape mengandung benzo a pyrene rendah di bawah LoD. Beberapa di bawah Limit of Quantification (LoQ) pada satu sampel tipe open freebase," paparnya.
Bambang juga menemukan sebanyak 16 dari 45 atau 35% sampel rokok elektronik dengan tipe open freebase, mengandung formaldehyde di atas LoQ, dengan sampel bertipe salt-nicotine di atas LoQ, dan sampel bertipe closed-system di bawah LoQ.
Secara keseluruhan, dia menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan terhadap parameter yang disyaratkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan standar lain pada produk rokok konvensional, tembakau yang dipanaskan dan rokok elektronik.
Menurutnya, penelitian yang ada pada saat ini untuk produk turunan tembakau masih tidak proporsional dengan kondisi Indonesia, baik dari sisi produsen maupun konsumen.
"Sumber informasi dari hasil riset luar negeri tidak selalu applicable untuk kondisi Indonesia," ucapnya.
Oleh karena itu, Bambang menyarankan agar penelitian lebih lanjut terhadap produk turunan tembakau agar dilakukan. Baik pengaruhnya untuk kesehatan maupun penciptaan standar baru.
Hal ini diperlukan agar penentuan kebijakan yang terkait dengan produk turunan tembakau bisa tepat sasaran. Jadi, penggunaan produk turunan tembakau menjadi sesuai dengan yang diharapkan.
Pedagang melayani pembeli di salah satu Vape Store di Depok, Jawa Barat, Senin (23/1/2023). ValidNew sID/Fikhri Fathoni
Risiko Lebih Tinggi
Sebelumnya, Ketua Umum Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (UI) Ir Aryana Satrya, M.M., Ph.D., IPU, ASEAN Eng., mengatakan, risiko rokok elektrik dapat lebih tinggi daripada rokok konvensional.
"Saat ini anak muda menjadi target pemasaran rokok, karena mereka cenderung loyal pada merek rokok pertama yang dikonsumsi. Rentang waktu perokok yang panjang memberikan keuntungan besar bagi pabrik rokok," kata Aryana Satrya.
Dia mengatakan, anak muda merupakan segmen pasar yang luas dan terbuka, karena mudah terpengaruh oleh hal yang baru, unik, dan menarik, serta selalu mengikuti tren, termasuk rokok.
Berdasarkan riset yang dilakukan, harga rokok dan teman sebaya menjadi dua faktor paling berpengaruh bagi anak muda yang merokok.
Hal ini sesuai dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang menemukan adanya peningkatan persentase perokok usia muda (di bawah 18 tahun) dari 7,2% (2013) menjadi 9,1% (2018).
Di kalangan anak muda, rokok elektrik makin populer dan penjualannya mudah ditemukan di Indonesia. Setiap daerah setidaknya memiliki sepuluh tempat penjualan atau retail rokok elektrik.
Asumsi publik pun berkembang, rokok elektrik memiliki risiko lebih rendah dibandingkan rokok konvensional. Padahal, kata Aryana, risiko keduanya sama, karena sama-sama mengandung nikotin dan menyebabkan gangguan kesehatan.
“Rokok elektrik bukanlah substitusi rokok konvensional, namun sebagian besar pengguna rokok elektrik adalah pengguna rokok konvensional," ucapnya.
Dual-user ini memiliki probabilitas mengidap penyakit dan komplikasi lebih tinggi, produktivitas lebih rendah, serta pengeluaran kesehatan lebih tinggi dibandingkan single-user rokok. Dengan demikian, daripada beralih ke rokok elektrik, alternatif terbaik adalah berhenti merokok.
Tak hanya berdampak terhadap kesehatan, konsumsi rokok juga berdampak pada perekonomian. Dalam lingkup rumah tangga, meski peningkatan belanja rokok sebesar satu persen, hal itu berpengaruh signifikan pada kondisi ekonomi keluarga.
Kenaikan ini dapat meningkatkan risiko kemiskinan hingga 6% dan memperburuk kesejahteraan keluarga yang sudah rentan secara ekonomi. Ketika anggaran rumah tangga dialokasikan lebih banyak untuk rokok, dana yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pokok seperti makanan bergizi, pendidikan, dan kesehatan justru terabaikan.
Dalam lingkup yang lebih luas, yakni perekonomian negara, beban biaya kesehatan pada penyakit yang disebabkan oleh rokok mencapai Rp27,7 triliun setiap tahunnya.
Angka ini mencakup biaya perawatan medis untuk berbagai penyakit akibat rokok, termasuk penyakit jantung, kanker paru-paru, dan penyakit pernapasan lainnya.
Beban ini tidak hanya merugikan individu dan keluarga, tetapi juga sistem kesehatan nasional yang harus menanggung biaya perawatan, serta kehilangan produktivitas akibat penyakit-penyakit tersebut.