18 Juni 2025
14:48 WIB
BPI Jajaki Kolaborasi Dengan Pelaku Industri Film China
Gagasan kolaborasi antara pelaku industri film domestik dan China diharapkan dapat menghasilkan karya-karya yang menarik karena adanya kedekatan kultur.
Editor: Satrio Wicaksono
Ilustrasi Bioskop di Mall. Shutterstock/Popescu - Valceanu Marius |
JAKARTA - Seiring dengan bertumbuhnya industri perfilman yang belakangan ini terjadi, Badan Perfilman Indonesia (BPI) menjajaki kerja sama dengan para pelaku industri film di China. Gagasan kolaborasi ini didasari adanya kedekatan kultur, dengan harapan semakin banyak film Indonesia yang tembus kancah global.
"China ini kan pasarnya besar sekali ditambah kultur kita lebih dekat dengan China dibanding misalnya ke Hollywood, jadi peluangnya besar sekali," kata Ketua Umum BPI, Gunawan Paggaru di sela-sela acara "Indonesian Movie Cocktail Reception" di Shanghai, Selasa (17/6).
Acara tersebut dilangsungkan untuk memperkenalkan film-film Indonesia kepada pelaku industri film maupun masyarakat China di Shanghai, khususnya Air Mata Buaya (Crocodile Tears) yang berhasil lolos dalam Shanghai International Film Festival (SIFF) ke-27.
"Kami mulai dengan networking karena secara kultur kita dekat dengan China sehingga dapat mudah merasakan emosi, beda dengan film Amerika misalnya. Jadi saya sepakat, ayo dengan China bersatu untuk mempertahankan kultur dan identitas kita, kemudian juga jadi lebih mudah untuk masuk ke pasarnya," tambah Gunawan.
Apalagi, sambung dia, film-film Indonesia semakin banyak dinikmati oleh masyarakatnya sendiri. Hal ini terbukti ada beberapa film domestik yang tembus 4 juta penonton, banyak sampai ada yang mencapai 10 juta penonton.
"Misalnya seperti film animasi Jumbo yang tahun ini bahkan lebih dari 10 juta penonton, itu juga mengubah peta perfilman Indonesia karena film animasi yang bukan gaya Jepang maupun Amerika, tapi bisa laris dan bahkan termasuk film anak-anak ternyata menarik banyak sekali penonton, berarti story-telling terlihat beda," tambah Gunawan.
Kerja sama lain, menurut Gunawan juga terkait dengan drama seri vertikal yang sudah umum di China. Dengan kebiasaan masyarakat yang tidak bisa lepas dari ponsel, tontonan tersebut menjadi lebih menarik dengan tampilan vertikal, bukan horizonal seperti film bioskop atau televisi.
"Orang sekarang menonton lewat handphone, jadi secara vertikal dan banyak di media sosial untuk menonton film dengan durasi 1 jam, penonton diminta membayar jauh lebih besar dibanding menonton bioskop karena harus membeli koin. Ini saya juga minta teman-teman di Indonesia belajar ke China, bagaimana story telling-nya supaya orang penasaran dan mau menonton terus," jelas Gunawan.
Karya Kolaborasi
Sedangkan Sekretaris Umum, Judith Dipodiputro mengungkapkan, perfilman kita sebagai karya seni sudah maju luar biasa. Tapi sebagai industri belum menghasilkan pergerakan ekonomi yang dapat berkontribusi pada pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia.
"Meski film-film Indonesia secara seni sangat berkualitas, tapi sebagai industri yang mendorong GDP maupun membuka lapangan kerja belum tampak menghasilkan, padahal nilai-nilai kemajemukan Indonesia banyak yang bisa menjadi cerita film," ungkap Judith.
Ia pun mengundang para pelaku industri film di Tiongkok dapat datang ke Indonesia dan berkolaborasi dengan sineas Indonesia.
Sementara Konsul Jenderal RI Shanghai, Berlianto Situngkir, menyatakan keyakinannya bahwa Indonesia dan China dapat bekerja sama menciptakan karya-karya sinema yang dinamis dan menarik, sehingga mampu menjangkau lintas budaya.
"Kami mengagumi pencapaian Tiongkok dalam industri film, dari produksi kelas dunia, animasi, hingga integrasi teknologi digital dan kecerdasan buatan. Skala, kecanggihan, dan keterlibatan penonton di sini sungguh luar biasa," ungkap Berlianto.
Indonesia, kata Berlianto, ingin belajar, bekerja sama, bertukar pengetahuan, dan membangun bersama dengan mitra-mitra di China. "Ini bukan hanya tentang mempromosikan film Indonesia di Tiongkok, tetapi juga tentang membangun dialog kreatif yang sejati antara kedua negara," kata Berlianto.