28 Juni 2024
17:44 WIB
BKKBN: Jumlah Lansia Semakin Banyak Di 2035
Bukan hanya jumlah lansia yang naik, kualitas lansia juga mengkhawatirkan, mengingat menurut data BPS tahun 2023, sekitar 9,9 juta penduduk usia 15-24 tahun, tidak bekerja dan tidak sedang bersekolah
Warga lansia berkumpul untuk saling berinteraksi di Yayasan Kasih Orang Tua Dan Peduli Anak PNIEL, B intaro, Tangerang Selatan, Kamis (25/5/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni
JAKARTA - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr. Hasto Wardoyo memprediksi, pada 2035 jumlah lansia di Indonesia akan semakin banyak.
"Sementara generasi berikutnya, terutama Gen-Z adalah generasi strawberry yang lebih kreatif tetapi lembek atau tidak kuat," katanya di Semarang, Jawa Tengah, pada Jumat.
Kondisi itu ditunjukkan oleh data BPS tahun 2023, yaitu sekitar 9,9 juta penduduk generasi usia 15-24 tahun di Indonesia tidak bekerja dan tidak sedang bersekolah. Angka ini setara dengan 22,25% dari total penduduk usia muda di Indonesia.
"Katakanlah lama sekolah 9,4 tahun rata-rata. Maka, bisa dipahami yang tidak lulus SD dan SMP lebih banyak dibanding yang lulus perguruan tinggi,” kata Hasto.
Menindaklanjuti hal itu, kata Hasto, BKKBN berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Salah satunya dengan mengantisipasi tidak terjadinya kawin usia muda.
Untuk mewujudkan itu, BKKBN bekerja sama dengan mitranya juga melakukan kegiatan pemberdayaan ekonomi keluarga, seperti kegiatan pameran dan gelar dagang untuk memacu upaya peningkatan pendapatan keluarga melalui Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor (UPPKA).
"BKKBN membantu mewujudkan wirausaha, mendukung sekolah vokasi, kesempatan kerja untuk jadi lebih baik dan juga kegiatan kelompok Bina Keluarga Remaja," kata Hasto.
Pada bagian lain, dia juga meminta masyarakat lebih jeli melihat bonus demografi di Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Dia mengatakan, hal itu penting untuk dilakukan menyusul penduduk IKN Indonesia yang baru itu mayoritas penduduk usia produktif. Menurut Hasto, peluang bonus demografi di IKN seolah terlihat positif.
"Tetapi yang perlu kita ingat, itu bisa menjadi semu karena banyaknya pendatang yang tiba-tiba datang ke sana di saat usia kerja," kata Hasto.
Menurut dia, dampak kedatangan warga usia produktif di IKN menjadikan penduduk yang bekerja lebih banyak dibanding penduduk tidak bekerja.
"Sayangnya uang belum tentu beredar di IKN karena keluarga mereka berada di Jawa atau di luar IKN. Sehingga penghasilannya menjadi 'capital flight', ditransfer ke keluarga," tuturnya.
Karena itu, Hasto menekankan pentingnya memperhatikan proporsi penduduk dan prospek bonus demografi di IKN.

Banjir Lansia
Sebelumnya, banjir lansia juga sudah diproyeksikan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN). Karena itu, diperlukan upaya untuk menggiatkan literasi mengenai kesehatan fisik maupun jiwa orang dengan lanjut usia (lansia),guna bersiap menghadapi bonus demografi kedua.
Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN Resti Pujihasvuty menyebutkan Indonesia diprediksi akan mengalami banjir lansia pada rentang tahun 2035-2040 dengan jumlah lansia sekitar 17 hingga 20 % dari komposisi demografi penduduk.
“Dengan prediksi proporsi lansia yang semakin meningkat, kita punya tugas untuk memastikan kita di masa yang akan datang sebagai lansia nantinya tetap dapat produktif dan berkontribusi pada perekonomian negara,” kata Resti.
Pada 2035, jumlah lansia diprediksi mendekati dua kali lipat dari tahun 2020 yang jumlahnya 26 juta jiwa, sehingga pada tahun mendatang tersebut jumlahnya menjadi 48 juta jiwa.
Adapun yang jadi masalah, lanjut dia, ketika lansia menghabiskan masa tuanya dalam kondisi sakit, baik itu sakit fisik maupun jiwa. Total peluang ekonomi keluarga yang hilang setiap bulan sedikitnya Rp1 triliun berdasarkan riset yang dikeluarkan oleh Universitas Respati Indonesia (URINDO).
Dia menerangkan, riset itu mengasumsikan seorang lansia dengan kondisi yang sehat dan tetap produktif sedikitnya dapat memiliki penghasilan sekitar Rp1 juta setiap bulan. Sementara itu, anggota keluarga yang mengasuh lansia dalam kondisi sakit diasumsikan kehilangan sedikitnya Rp4 juta setiap bulan.
Oleh karena itu, pihaknya menekankan pentingnya penggiatan edukasi maupun literasi mengenai cara menjaga kesejahteraan fisik maupun jiwa individu ketika memasuki usia senja. Salah satunya ialah dengan memastikan lansia tidak mengalami kondisi kesepian karena kondisi tersebut memberikan dampak negatif terhadap kesehatan lansia.
Dia pun menyebutkan prevalensi lansia alami ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) ringan sebesar 12,8%, sementara prevalensi lansia alami depresi sebesar 7,7%, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
“Jadi memang kondisi kesepian memiliki aspek negatif terhadap kesehatan jiwa lansia, mulai dari menyebabkan depresi, percobaan bunuh diri, tekanan psikologis tinggi, kecemasan, hingga skizofrenia,” jelas Resti.
Selain itu, kata dia, kondisi kesepian dapat menyebabkan lansia mengalami masalah kesehatan fisik, seperti serangan jantung, stroke, kanker, diabetes, alzheimer, hingga dalam kondisi yang serius adalah kematian dini pada lansia.
Maka dari itu, pihaknya mengingatkan pentingnya keluarga menjaga dan memelihara hubungan serta interaksi sosial yang positif dengan lansia. Resti juga menilai penting bagi lansia memiliki komunitas sebaya guna menjaga keterhubungan lansia dengan dirinya sendiri dan lingkungan.