c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

23 November 2024

11:04 WIB

Bencana Hidrometeorologi Dan Dampaknya Pada Perubahan Iklim Indonesia

20 tahun yang lalu, jumlah bencana hanya sekitar 150 kejadian per tahun. Namun, di tahun 2023, angkanya melonjak menjadi lebih dari 5.000 kejadian.

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Rendi Widodo

<p>Bencana Hidrometeorologi Dan Dampaknya Pada Perubahan Iklim Indonesia</p>
<p>Bencana Hidrometeorologi Dan Dampaknya Pada Perubahan Iklim Indonesia</p>

Ilustrasi banjir. Unsplash

JAKARTA - Bencana hidrometeorologi menjadi ancaman utama di Indonesia. Jenis bencana ini sangat berkaitan dengan dinamika iklim dan cuaca, termasuk hujan lebat, angin kencang, dan perubahan suhu ekstrem.

Menurut Mahawan Karuniasa selaku pakar lingkungan dari Universitas Indonesia, di Indonesia yang memiliki iklim tropis dengan tingkat curah hujan tinggi dan kondisi geografis kompleks, bencana ini menjadi ancaman ekstrem.

"Fenomena ini sering kali diperparah oleh perubahan iklim, yang menyebabkan intensitas hujan meningkat dalam waktu singkat atau menghasilkan kondisi cuaca ekstrem lainnya. Akibatnya, risiko bencana seperti banjir bandang atau tanah longsor semakin tinggi," ujar Mahawan kepada Validnews.

Ia menyebut bahwa lebih dari 90% bencana di Indonesia berasal dari kategori hidrometeorologi. Di mana, sekirar 20 tahun yang lalu, jumlah bencana hanya sekitar 150 kejadian per tahun. Namun, di tahun 2023, angkanya melonjak menjadi lebih dari 5.000 kejadian. Menurutnya, ini peningkatan luar biasa yang menunjukkan tanda-tanda nyata dampak perubahan iklim.

Mahawan mengungkapkan bahwa hujan ekstrem atau yang ia istilahkan sebagai hujan super menjadi salah satu penyebab utama bencana banjir di berbagai belahan dunia. Ia mencontohkan, hujan super terjadi dalam waktu singkat yakni hanya sekirar 1-2 hari atau bahkan beberapa jam, tetapi curah hujannya setara dengan akumulasi satu tahun.

"Misalnya, di Valencia, Spanyol, hujan yang seharusnya turun selama setahun terjadi hanya dalam delapan jam. Dampaknya adalah banjir ekstrem yang sangat merusak,” paparnya.  

Fenomena serupa juga telah terjadi di Dubai, Yunani, Tiongkok, dan Eropa Barat. Di Indonesia, hujan super berkontribusi pada banjir besar yang kerap melanda berbagai daerah.

"Ini adalah tanda-tanda perubahan iklim yang nyata dan masyarakat harus lebih memahami bahwa bencana seperti ini bukanlah bencana alam semata, melainkan akibat aktivitas manusia yang memperburuk kondisi lingkungan,” unglapnya.

Selain banjir, cuaca panas ekstrem juga menjadi perhatian. Mahawan menjelaskan bahwa meskipun suhu di Indonesia sering mencapai 35-40 derajat Celsius, belum dapat dikategorikan sebagai gelombang panas sesuai kriteria Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Namun, suhu ekstrem ini tetap menjadi bukti dampak perubahan iklim yang semakin nyata. Hal iini juga berimbas pada rendahnya pemahaman masyarakat terhadap perubahan iklim dan dampaknya.

"Sering kali, saat terjadi banjir, masyarakat hanya fokus pada peristiwa itu sendiri, tanpa menyadari bahwa banjir adalah dampak dari perubahan iklim. Bahkan di media, bencana seperti banjir, longsor, atau angin puting beliung masih sering disebut sebagai bencana alam padahal ini lebih berkaitan dengan aktivitas manusia,” jelasnya.  

Ia juga mengungkapkan bahwa perhatian terhadap perubahan iklim cenderung muncul hanya saat bencana terjadi. Setelah itu, minat masyarakat dan pemerintah kembali surut.

"Inilah pentingnya edukasi berkelanjutan dan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Dengan pengetahuan yang lebih baik, perilaku dan sikap masyarakat terhadap lingkungan dapat berubah,” tegasnya.  

Meski kesadaran penting, Mahawan mengakui bahwa mengubah kebiasaan masyarakat bukanlah hal mudah. Faktor ekonomi dan infrastruktur menjadi hambatan besar.

"Kita sudah terbiasa menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil, yang menjadi salah satu sumber emisi terbesar. Ketika kendaraan listrik diperkenalkan, banyak yang skeptis dan menganggap itu hanya memindahkan knalpot karena listrik di Indonesia masih banyak berasal dari pembangkit batu bara. Padahal, kendaraan listrik tetap memiliki dampak yang lebih baik terhadap lingkungan dibanding kendaraan berbahan bakar fosil,” pungkasnya.  

Mahawan menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha untuk menghadapi perubahan iklim. Kebijakan yang mendukung transisi energi bersih seperti mempercepat pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, harus segera diterapkan.

"Di sisi lain, masyarakat juga harus mengambil langkah kecil seperti mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, hemat energi, dan mendukung produk ramah lingkungan," pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar