c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

08 Agustus 2025

14:27 WIB

Belanja Online Jadi Celah Baru Penipuan Digital

Social engineering menyasar orang-orang yang terbiasa belanja online. Modusnya beragam, misalnya iming-iming voucer untuk mendorong korban melakukan pembelian hingga mengajukan pinjol.

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p id="isPasted">Belanja<em>&nbsp;Online&nbsp;</em>Jadi Celah Baru Penipuan Digital</p>
<p id="isPasted">Belanja<em>&nbsp;Online&nbsp;</em>Jadi Celah Baru Penipuan Digital</p>

lustrasi seseorang mencari barang di marketplace. Validnews/Hasta Adhistra.

JAKARTA - Di era digital seperti sekarang, siapa sangka aktivitas sederhana seperti mengunggah ulasan produk di media sosial bisa membuka celah bagi kejahatan. Banyak orang tak menyadari bahwa ulasan yang tampak jujur dan polos justru bisa dimanfaatkan oleh pelaku penipuan.

Mereka biasanya menjalankan aksinya melalui teknik yang disebut social engineering. Teknik ini dikenal sebagai strategi manipulasi psikologis yang dirancang untuk memperoleh informasi pribadi, akses atau persetujuan dari korban tanpa disadari.

Menurut definisi dari National Institute of Standards and Technology (NIST), ini adalah metode membujuk seseorang agar secara sukarela memberikan data sensitif, izin akses, atau melakukan tindakan tertentu yang sebenarnya menguntungkan pelaku. Biasanya, mereka memanfaatkan kepercayaan, rasa takut atau emosi lainnya untuk mengecoh korban.

"Social engineering kini semakin marak, seiring meningkatnya aktivitas masyarakat dalam berbelanja online. Kita sering kali tak sadar sudah membagikan informasi pribadi seperti nama lengkap dan nomor telepon saat memposting review produk," ujar Jonathan Kriss selaku Brand Manager PT Pembiayaan Digital Indonesia (AdaKami) dalam keterangannya, dikutip Jumat (8/8).

Menurutnya, data ini bisa menjadi pintu masuk bagi pelaku kejahatan digital. Salah satu modus yang sedang marak adalah iming-iming cashback dan bonus belanja. Setelah mengetahui informasi korban dari unggahan di media sosial, pelaku menyamar sebagai perwakilan e-commerce dan menghubungi korban melalui pesan instan.

Lebih lanjut, agar tampak meyakinkan, penipu akan menyertakan dokumen dengan logo resmi. 

"Korban lalu diarahkan untuk mengunduh aplikasi pinjaman, mengisi data, bahkan mencairkan pinjaman. Begitu dana cair, pelaku meminta korban mentransfer uang dengan janji akan memberikan voucer. Sayangnya, voucer itu fiktif, dan korban harus menanggung utangnya sendiri," jelasnya.

Modus lainnya memanfaatkan ancaman palsu. Pelaku mengaku sebagai pihak otoritatif dan menyebut bahwa ulasan korban melanggar kebijakan tertentu.

Dengan dalih membantu menyelesaikan masalah, korban didorong untuk melakukan pembelian melalui akun e-commerce milik pelaku atau bahkan mengajukan pinjaman daring. Di tengah kepanikan, korban pun bisa kehilangan sejumlah uang.

Baca juga: Tips Berbelanja Parfum Online Anti Zonk

Jonathan menekankan pentingnya meningkatkan kewaspadaan dan tidak terburu-buru membagikan informasi pribadi secara online.

"Sebaiknya masyarakat selalu memverifikasi segala bentuk komunikasi, baik melalui aplikasi pendeteksi nomor tak dikenal, mengecek ulang ke kanal resmi e-commerce, hingga melaporkan nomor yang mencurigakan," terangnya.

Pasalnya, social engineering bisa menyasar siapa saja, tak peduli usia atau seberapa canggih kemampuan teknologi seseorang. Karena itu, edukasi digital menjadi benteng pertama.

"Lewat kampanye kesadaran digital ini berharap masyarakat semakin peka dan tidak mudah terjebak dalam bujuk rayu para penipu digital," pungkas Jonathan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar