27 September 2025
10:58 WIB
Belajar Sejarah Lewat Komik Anak
Komik menjadi media alternatif pembelajaran sejarah bagi anak-anak. Lewat gambar dan karakter diharap anak-anak lebih mudah mengembangkan imajinasinya tanpa melenceng dari nilai yang ada.
Editor: Satrio Wicaksono
Warga melintas di dekat mural (lukisan dinding) komik anti hoaks di Kampung Hepi, Joho, Manahan, Sol o, Jawa Tengah, Selasa (7/4/2020). Antara Foto/Maulana Surya
JAKARTA - Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI meluncurkan buku anak dan 25 seri komik Diponegoro, sebagai upaya meningkatkan literasi sejarah. Harapannya, agar lebih mudah memahami nilai-nilai nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan bangsa.
Kepala Perpusnas, E Aminudin Aziz, menyatakan buku anak dan komik tersebut juga salah satu upaya peningkatan budaya baca sejak usia dini.
"Karena ini terkait dengan komik sejarah, saya sangat berharap para pendamping seperti guru, orang tua bisa memberikan informasi, memberikan pemahaman dari peristiwa-peristiwa yang diangkat dalam 25 komik sejarah dari Babad Diponegoro," katanya, dikutip dari Antara.
Dia menjelaskan, komik medium yang mendorong kemampuan atau multi kompetensi. "Anak tidak hanya membaca teks singkat, tetapi juga belajar memahami konteks dari gambar, karakter dan tokoh di dalam komik secara berkelanjutan," ujarnya.
Ia berharap, 25 komik Diponegoro tersebut tidak hanya berhenti pada aktivitas membaca anak-anak, tetapi menjadi ruang dialog antara anak, guru, dan orang tua.
Aminudin juga menyampaikan apresiasi kepada Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB), yang telah bekerja sama dengan Perpusnas dalam proses pembuatan buku anak dan komik Diponegoro.
"Saya menyampaikan terima kasih kepada pihak FSRD ITB atas kolaborasi, tanggung jawab bersama menghasilkan 25 komik dengan cerita yang diadaptasi dari naskah asli Babad Diponegoro dalam waktu yang singkat," tuturnya.
Ketua Tim Penyusun Buku Anak dan Komik Diponegoro FSRD ITB Riama Maslan Sihombing menyampaikan, penyusunan buku anak dan komik Diponegoro salah satu upaya menanamkan nilai perjuangan dan nasionalisme kepada anak-anak.
"Proyek ini lahir dari keyakinan bahwa cara terbaik untuk menjembatani sejarah besar dengan imajinasi anak-anak adalah melalui bahasa yang paling universal yaitu bahasa visual," katanya.
Tim penyusun mengadaptasi sumber primer seperti buku Babad Diponegoro, Kuasa Ramalan, hingga kajian-kajian kontemporer, lalu memecahnya menjadi fragmen naratif yang sarat nilai universal.
"Di sinilah peran sentral ilustrasi sebagai media penceritaan dalam buku anak. Ilustrasi bukanlah sekadar hiasan pelengkap teks, melainkan jembatan kognitif dan emosional yang menghubungkan dunia anak masa kini dengan dunia Jawa pada awal abad ke-19," ucapnya.
Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Ratna Djumala mengemukakan, sastra anak diciptakan untuk merangsang imajinasi anak-anak yang kalimat, isi dan penyajian disesuaikan dengan perkembangan psikologis dan bahasa mereka.
"Menulis sebuah bacaan anak-anak, tidak hanya sekadar gambar atau narasi, tetapi memang betul-betul harus mendekatkan apa yang dihadirkan di dalam teks tersebut kepada pembacanya yaitu anak-anak. Bahasanya harus bisa dimengerti oleh anak-anak dan penyajiannya yang menarik dengan warna yang tidak monoton," tuturnya.
Peluncuran 25 seri buku anak dan komik Diponegoro merupakan bagian dari rangkaian kegiatan peringatan 200 tahun Perang Jawa dan Hari Kunjung Perpustakaan. Dalam kegiatan tersebut juga diselenggarakan bedah buku.