c

Selamat

Rabu, 19 November 2025

KULTURA

09 Juli 2025

20:58 WIB

Bang Yos, Teguh Hati Mengubah Wajah Jalanan Ibu Kota

Sekitar dua dekade lalu, mayoritas kalangan menganggap ide tentang jalur khusus bus di tengah jalan protokol sebagai gagasan konyol. Namun, Bang Yos membuktikan sebaliknya.

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p>Bang Yos, Teguh Hati Mengubah Wajah Jalanan Ibu Kota</p>
<p>Bang Yos, Teguh Hati Mengubah Wajah Jalanan Ibu Kota</p>

Sutiyoso dikenal dengan sapaan Bang Yos adalah politikus dan mantan perwira militer Indonesia yang m enjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara sejak Juli 2015 hingga September 2016. Publicdomain/wiki.

JAKARTA - Dua dekade lalu, hidup di Jakarta berarti harus siap menantang nasib di tengah lautan kendaraan. Kemacetan bukan sekadar masalah, tapi sudah menjadi bagian dari denyut nadi kota. 

Aspal jalanan pun seolah tak pernah tidur karena selalu dijejali mobil dan motor yang merayap bagai siput kepanasan. Pilihan transportasi publik memang ada, tapi sangat terbatas dan jauh dari kata nyaman.

Bus kota memang melintas di beberapa rute, namun sering kali rawan kecelakaan. Sopir ugal-ugalan berpacu seolah jalanan milik sendiri demi berebut penumpang.

Angkutan umum kecil seperti mikrolet, metromini, dan kopaja kerap penuh sesak, tanpa AC, dan berhenti sembarangan. Penumpang harus berdesakan, berdiri tanpa pegangan, bahkan terhimpit di pintu yang dibiarkan terbuka.

Di dalam, tak hanya panas yang jadi lawan, tapi juga rasa was-was akan copet yang bisa menyambar sewaktu-waktu. Naik angkutan umum saat itu, tak ubahnya seperti bertaruh kenyamanan dan kadang juga keselamatan.

Tak heran jika pada masa itu, kendaraan pribadi dianggap satu-satunya jalan keluar.

Mobil dan motor menjelma menjadi simbol kebebasan, bebas memilih rute, bebas dari desakan. Dan, yang terpenting bebas dari rasa tidak aman.

Namun, semua itu dibayar mahal. Jalanan tak mampu lagi menampung jumlah kendaraan yang terus membengkak. Macet menjadi harga yang harus dibayar bersama. Kota ini bergerak lambat, meski semua orang di dalamnya sedang terburu-buru.

Setiap pagi dan sore, jalanan berubah menjadi medan perang. Klakson bersahut-sahutan, debu dan asap knalpot menyelimuti udara seperti kabut abadi. 

Pemerintah kota yang juga gusar mulai menyusun ulang mimpi transportasi publik yang manusiawi. Jalur demi jalur dibentangkan, titik-titik kota disambungkan, dan sistem pun dibangun dari dasar yang lebih modern.

Di antara semua terobosan itu, berdirilah TransJakarta layanan bus rapid transit (BRT) pertama di Asia Tenggara, sebagai pionir perubahan yang membuka jalan menuju Jakarta yang lebih terhubung.

Dengan jalur khusus yang menembus kemacetan, halte-halte yang terhubung seperti simpul nadi kehidupan, dan tarif terjangkau bahkan untuk kantong pelajar, TransJakarta menjadi pilihan utama bagi warga yang ingin sampai tujuan tanpa tersesat dalam stres jalanan. 

Kini, lebih dari sejuta penumpang setiap hari mempercayakan perjalanannya pada armada ini.

Namun sedikit yang tahu, sistem ini tidak lahir dari ruang kosong. Di baliknya ada sosok yang berani bermimpi di saat banyak yang pesimis akan keadaan. Dialah Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta periode 1997–2007.

Menjemput Ide, Mengubah Wajah Jakarta 
Inspirasi kadang datang dari tempat yang jauh; Bogota, ibu kota Kolombia. Pada tahun 2003, ketika banyak pemimpin sibuk meredam gejolak politik atau terjebak dalam rutinitas birokrasi, pria yang akrab disapa Bang Yos ini justru memilih langkah berbeda bersama dengan rombongannya.

Ia memilih menempuh ribuan kilometer perjalanan demi mempelajari sesuatu yang belum pernah diterapkan di Indonesia, khususnya ibu kota. Di Bogota, Bang Yos menyaksikan secara langsung bagaimana sistem Bus Rapid Transit (BRT) yang dinamai TransMilenio berhasil merevolusi cara warga bergerak.

Di kota yang sebelumnya dikepung kemacetan dan kekacauan lalu lintas, TransMilenio hadir sebagai oase. Bus-bus besar melaju di jalur khusus yang bebas hambatan, halte-halte dirancang modern dan teratur, waktu tempuh menjadi lebih pasti, dan yang paling penting biayanya sangat terjangkau untuk semua kalangan.

Tak ada kasta dalam sistem itu. Siapa pun bisa naik mulai dari pegawai kantoran, pelajar, hingga ibu rumah tangga. Bagi Sutiyoso, kunjungan itu bukan sekadar studi banding biasa.

Di balik pengamatannya, ia membayangkan, jika Bogota bisa berubah, mengapa Jakarta tidak? Kota megapolitan dengan lebih dari 10 juta penduduk itu tidak boleh terus-menerus terjebak dalam pusaran kendaraan pribadi dan angkutan umum yang ugal-ugalan.

Dalam benaknya, Jakarta harus punya jalan keluar dari lingkaran setan kemacetan yang setiap hari menyita waktu, energi, dan kesabaran jutaan warganya. Sutiyoso yakin, solusi tidak bisa hanya bergantung pada pelebaran jalan atau pembatasan kendaraan saja. Solusi sejati, menurutnya, harus datang dari penataan ulang cara kota ini bergerak dan itu hanya mungkin dilakukan melalui sistem transportasi publik yang terintegrasi.

"Saya belajar dari TransMilenio, lalu kita kembangkan versi kita sendiri. Tidak bisa menunggu terlalu lama, karena setiap hari kemacetan makin parah," ujar Sutiyoso yang dikutip dalam bukunya Selintas Jalan Bang Yos (2007, hal. 198).

Setibanya di tanah air, Bang Yos tak mau membuang waktu. Ia bergegas mengumpulkan pakar transportasi untuk menganalisis kemacetan Jakarta yang disebabkan oleh perbandingan kendaraan pribadi (80%) dan transportasi umum (20%) yang terbalik.

Saat itu, pengguna sepeda motor bertambah 1.025 orang/hari dan pengguna mobil bisa bertambah 258 orang/hari. Para pakar memprediksi Jakarta akan "stuck" pada 2014.

Tak ingin hal itu terjadi, dalam waktu kurang dari setahun setelah kunjungan tersebut, tepatnya melalui Keputusan Gubernur Nomor 110 Tahun 2003, Sutiyoso menetapkan pembentukan TransJakarta Busway sebagai badan non-struktural. Sejak saat itu, ia langsung menggerakkan roda birokrasi yang selama ini dikenal lamban dan penuh pertimbangan politis dengan membentuk tim lintas sektor, menyatukan visi antarlembaga, dan menyiapkan peluncuran. Koridor 1 muncul hanya dalam waktu kurang dari 12 bulan.

Sebagian besar desain halte dan sistem operasionalnya terinspirasi dari model TransMilenio di Bogota, dengan penyesuaian agar sesuai dengan karakter Jakarta. Ia percaya, jalan keluar dari kemacetan yang mencekik itu bernama TransJakarta Busway.

Transportasi baru ini menjadi nafas baru bagi Jakarta dalam membuka harapan di tengah kemacetan yang kian mencekik, dan menghadirkan cara bergerak lebih tertib, manusiawi, dan terjangkau untuk semua kalangan.

Dimaki, Dicibir, Tapi Tak Mundur
Ketika proyek TransJakarta mulai digerakkan, Bang Yos langsung dihadapkan cibiran tajam bahkan makian yang dilontarkan tanpa tedeng aling-aling.

Ada yang menyebutnya "gila", bahkan dengan lantang memanggilnya "goblok" karena dianggap memaksakan proyek yang terlalu ambisius dan tak realistis diterapkan di Jakarta.

Di media massa, dalam rapat-rapat resmi, hingga forum-forum warga, ide tentang jalur khusus bus di tengah jalan protokol dipandang sebagai kekonyolan. Banyak yang melihatnya bukan sebagai solusi, melainkan ancaman bagi kenyamanan pemilik kendaraan pribadi.

Jalanan dianggap akan makin sempit, kemacetan diprediksi makin parah, dan masyarakat dinilai belum siap menghadapi perubahan sebesar itu. Apalagi, penolakan terbesar justru datang dari para sopir angkot dan pengemudi bus kecil seperti kopaja dan metromini.

Mereka merasa posisi dan rezekinya diambil paksa. Bagi mereka, kehadiran TransJakarta hanyalah bentuk lain dari penggusuran sosial dan akan memangkas penumpang dan menggusur usaha yang sudah diwariskan turun-temurun.

Protes meletus di mana-mana mulai dari blokade jalan, aksi mogok, hingga bentrok kecil dengan petugas sempat mewarnai masa-masa awal pembangunan koridor dan halte. 

Meski dihantam dari segala sisi, Sutiyoso tak goyah. Ia tahu betul, setiap transformasi besar pasti dibayar mahal dengan rasa sakit, perlawanan sengit, dan waktu yang panjang. Tapi justru di situlah letak tantangannya. Bukan untuk dihindari, melainkan dihadapi dengan keberanian dan keyakinan penuh.

Mengutip kisah dalam bukunya Sutiyoso Megapolitan, ia teringat jelas sebuah peristiwa yang begitu membekas dari kunjungannya ke Bogota, Kolombia. Dalam sebuah pertemuan, Wali Kota Bogota saat itu mengisahkan bagaimana dirinya nyaris dilengserkan dari jabatan karena bersikeras membangun sistem busway TransMilenio.

Sang wali kota yang dulunya dianggap keras kepala kini justru didemo oleh warganya bukan untuk menghentikan proyek, tapi untuk mempercepat penambahan koridor baru. Dari sanalah Sutiyoso menyerap pelajaran berharga bahwa penolakan di awal bukanlah kegagalan, melainkan sinyal bahwa perubahan itu sedang menyentuh akar masalah yang selama ini dibiarkan. Ia pun semakin mantap melangkah.

Dengan tekad yang tak surut, Bang Yos turun langsung ke lapangan. Ia berdialog dengan para sopir, menemui organisasi angkutan kota, membuka ruang diskusi dengan pengusaha bus kecil, dan mengajak semua pihak untuk melihat lebih jauh bahwa TransJakarta ini menjadi sebuah kesempatan wajah baru transportasi kota.

Tidak sedikit operator swasta akhirnya dilibatkan untuk ikut mengelola armada TransJakarta melalui sistem lelang dan kerja sama bisnis. Ketika beberapa pengusaha kecil transportasi mulai bergabung dan melihat potensi jangka panjangnya, resistensi mulai mencair.

Proyek yang dulu dicemooh sebagai mimpi gila, mulai dipandang sebagai langkah rasional menuju kota yang lebih tertib, terhubung, dan manusiawi.

Babak Baru Transportasi Jakarta
Tanggal 15 Januari 2004 menjadi titik balik penting dalam sejarah transportasi Jakarta. Di hari itu, Koridor 1 TransJakarta resmi diluncurkan, membentang sepanjang 12,9 kilometer dari Blok M hingga Kota.

Inilah tonggak awal sistem transportasi massal modern pertama di Indonesia dengan jalur khusus, halte terstandar, dan tarif yang sangat terjangkau, hanya Rp2.000. Jauh lebih murah dibanding angkot yang harus transit berkali-kali dan belum tentu nyaman.

Untuk pertama kalinya, warga Jakarta disuguhi pengalaman naik bus tanpa harus terjebak macet atau bersaing dengan kendaraan pribadi. TransJakarta melaju di jalurnya sendiri dan bebas hambatan.

Peluncuran ini langsung memicu rasa penasaran. Ada yang menyambut dengan gembira, ada pula yang masih mencibir dan skeptis. Namun hanya dalam beberapa hari, antusiasme mulai terasa di lapangan. Warga berbondong- bondong datang ke halte, sekadar untuk mencoba "bus baru" yang katanya berbeda dari semua moda yang pernah ada.

TransJakarta menghadirkan sesuatu yang belum pernah benar-benar dirasakan sebelumnya seperti rasa dihargai sebagai penumpang. Hari berganti hari, jumlah penumpang terus bertambah.

Mimpi Bang Yos menghadirkan TransJakarta yang dulunya hanya jadi bahan tertawaan dan cibiran, kini mulai mendapat kepercayaan. Warga yang semula meragukan, kini beralih. Bahkan, transportasi umum ini menjadi bagian dari rutinitas harian. Transportasi publik mulai bangkit dari stigma buruk yang lama melekat.

Tepat dua tahun setelah peluncuran Koridor 1, pada 15 Januari 2006, dua koridor tambahan resmi beroperasi yakni Koridor 2 (Pulo Gadung–Harmoni) dan Koridor 3 (Kalideres–Harmoni).

Sutiyoso menyelesaikan masa jabatannya pada 2007. Namun TransJakarta terus bertumbuh. 

TransJakarta kini melayani lebih dari satu juta penumpang setiap hari dan menginspirasi banyak kota lain di Indonesia untuk membangun sistem serupa.

Hingga tahun 2025, TransJakarta telah berkembang menjadi jaringan luas dengan 14 koridor utama, menjangkau berbagai wilayah Jakarta dari utara ke selatan, dari barat ke timur. Layanannya semakin inklusif, dengan puluhan rute pengumpan (feeder), bus khusus perempuan, bus ramah disabilitas, dan jalur penghubung ke kota-kota penyangga seperti Bekasi, Depok, dan Tangerang.

Dan bagi Bang Yos, semua makian, cemoohan, dan penolakan yang dulu ia terima kini tak lagi penting. Senyum warga yang bisa bepergian dengan nyaman, murah, dan aman adalah jawaban dari semua keraguan di masa lalu.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar