c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

15 November 2023

20:53 WIB

Bang Ali Dan Ikhtiar Mengatur Syahwat Di Ibu Kota

Lokalisasi pelacuran menjadi kebijakan paling kontroversial Ali Sadikan saat menjabat sebagai Gubernur Jakarta. Pro kontra pun menyeruak, sampai akhirnya prostitusi kembali berjalan di bawah tanah

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Satrio Wicaksono

Bang Ali Dan Ikhtiar Mengatur Syahwat Di Ibu Kota
Bang Ali Dan Ikhtiar Mengatur Syahwat Di Ibu Kota
Ali Sadikin. Goverment Of Jakarta/edited

JAKARTA – Jakarta. Kota ini terus berkembang dengan segala gemerlap dan sisi gelapnya. Salah satunya adalah pelacuran yang tersebar di seantero Ibu Kota.

Dari zaman Batavia hingga setelah Indonesia merdeka, kota ini sudah menyimpan banyak riwayat kelam terkait bisnis pelacuran. Meski bergerak dalam remang, bisnis yang di belahan dunia manapun merupakan bisnis populer ini, turut menjadi problematika moral kota bagi Jakarta.

Selepas era Gang Hauber yang terkenal, praktik-praktik pelacuran menyebar di sejumlah titik di Jakarta. Sekitar tahun 50’an hingga 60’an Kramat Tunggak di Jakarta Utara serta Planet Senen di Jakarta Pusat adalah dua lokasi red light distric yang amat populer. Saking populernya, banyak hikayat berkembang tentang kawasan-kawasan tersebut.

Planet Senen, merujuk kawasan dari Stasiun Senen sampai ke sebagian wilayah Gunung Sahari, misalnya, punya begitu banyak cerita. Dulu, kawasan ini tak pernah sepi. Selain karena memang kawasan pasar, ada aktivitas syahwat yang selalu ramai pengunjung.

Di kawasan itulah para pekerja seks komersial (PSK) tinggal di dalam bangunan-bangunan seadanya. Orang-orang lazim menyebutnya bangunan kotak sabun karena banyak menggunakan material kardus.

Areal untuk ‘ngamar’ bagi cha-bó͘ (sebutan pelacur saat itu) dan pengunjung bahkan juga sampai memanfaatkan gerbong-gerbong kereta yang mangkal di stasiun.

Pernah, suatu ketika, seorang PSK sedang berasyik-masyuk dengan lelaki hidung belang di dalam gerbong kereta. Sial, kereta tiba-tiba melaju sehingga kedua orang itu pun terjebak dan tak bisa turun segera. Akhirnya, mereka baru bisa turun dari gerbong di Stasiun Jatinegara.

Kisah itu diceritakan dalam buku Kisah-Kisah Edan Seputar Djakarta Tempo Doeloe (1966) karya Zaenuddin HM.

Di Planet Senen, para PSK atau yang waktu itu populer dengan sebutan ‘Wanita P’, berkarier sepanjang malam, mulai selepas Magrib hingga Subuh. Pada waktu-waktu itu juga para lelaki hidung belang dari penjuru Jakarta biasa datang untuk menukar rupiah dengan kepuasan syahwatnya.

Akan tetapi, ada pula yang datang untuk kepentingan lain, yaitu untuk memantau situasi wilayah. Dia adalah Ali Sadikin, orang nomor satu di Jakarta masa itu. Gubernur Jakarta yang akrab disapa Bang Ali ini diam-diam datang ke Senen untuk melihat langsung bagaimana ‘pasar syahwat’ bergerak di kawasan tersebut.

Dari kunjungan itu, Bang Ali mendapatkan perspektif tentang betapa kompleksnya persoalan pelacuran di Jakarta. Di kawasan-kawasan tertentu itu, aktivitas prostitusi berjalan seperti tanpa canggung, seolah tak ada yang salah dari aktivitas tersebut.

Bahkan di jalan-jalan, banyak pula becak yang menawarkan layanan PSK. Umumnya dikenal dengan sebutan ‘becak komplit’.

Namun bukan soal moral yang mengganggu hati Ali Sadikin, melainkan lebih pada soal kemanusiaan. Pasalnya, banyak anak-anak di bawah umur juga ikut bekerja menjadi kupu-kupu malam. Jika sudah begitu, muncul pula isu eksploitasi, bahkan perdagangan manusia.

“Saya ngilu menyaksikannya. Di antara wanita-wanita itu, ada anak-anak yang masih belasan tahun umurnya,” ucap Ali dalam memoar yang disusun Ramadhan KH, Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977 (1993).

Dari Bangkok ke Kramat Tunggak
Apa yang disaksikan Ali Sadikin di Planet Senen atau di sejumlah titik jalanan di Jakarta yang menjadi tempat bisnis pelacuran, tak langsung menghasilkan suatu kebijakan. Sang Gubernur menyimpan potret itu di memorinya, sembari mencari-cari celah untuk ‘menata’- kalau tidak bisa memberantas- gambaran ‘hitam’ kota yang dipimpinnya tersebut.

Pada suatu kesempatan, Ali bertandang ke Bangkok, Thailand. Dia penasaran dengan kawasan pelacuran yang tertata di negeri Gajah Putih tersebut. Ali pun bertanya kepada kedutaan Indonesia di Bangkok tentang cara kerja ‘industri seks’ di sana.

Dia mendapat kabar, ternyata, pelacuran di Thailand, tak terekspos liar di jalan-jalan seperti di Indonesia, atau setidaknya di Jakarta. Di sana, bisnis prostitusi dikelola dengan cara yang lebih rapi dan efektif, yakni dilokalisasi.

“Hal ini menimbulkan pikiran pada saya, untuk menerapkan apa yang saya lihat itu di Jakarta. Supaya di Ibu Kota kita ini tidak kotor, tidak jorok,” ungkap Ali.

Pulang ke Jakarta, Ali mempelajari cara-cara berbagai kota atau negara dalam mengurus prostitusi. Dia sadar betul, prostitusi yang sudah ada sejak zaman baheula, tidak akan bisa dihilangkan dengan mudah.

Karena itulah, dia merasa, mengatur bisnis tersebut agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi kota dan masyarakat luas, lebih memungkinkan ketimbang berusaha terus memberantasnya.

Ali juga menengok ke Surabaya, kota yang ternyata telah jauh lebih dulu mengatur para PSK, agar lebih aman dan mencegah penyakit menular bagi masyarakat.

Dari sejumlah pengamatannya inilah, semakin bulat pemikiran Ali untuk mengatur aktivitas bisnis prostitusi yang menyebar di Jakarta, ke dalam suatu kawasan terintegrasi alias lokalisasi. Kramat Tunggak di Jalan Kramat Jaya, Koja, Jakarta Utara, pun akhirnya dipilih sebagai ‘sentra’ lokalisasi tersebut.

Upaya menuju lokalisasi itu berjalan hampir dua tahun, tepatnya pada 1969 hingga kawasan Kramat Tunggak diresmikan pada 1970. Terbit pula Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta pada tahun itu tentang Pelaksanaan Usaha Lokalisasi/ Relokasi Wanita Tuna Susila.

Dari situ, bisnis prostitusi di Jakarta untuk pertama kalinya mendapatkan pengakuan legal lewat peraturan pemerintah. Kramat Tunggak yang tadinya memang sudah menjadi tempat para PSK beraktivitas, kini menjadi episentrum aktivitas para PSK dari berbagai kawasan lainnya di Jakarta, terutama dari Planet Senen.

Menyitir catatan Zainur Nur Hisyam Tahrus dalam paper "Dilema Prostitusi dan Ekonomi dalam Pembangunan DKI Jakarta" (2018), terdapat sebanyak 1.767 PSK dan 231 germo di Kramat Tunggak pada tahun 1978. Zainur merujuk Murray dalam studi "No Money, No Honey, A Study of street Traders and Prostitutes in Jakarta", tesis Australian National University tahun 1987.

Dengan angka-angka tersebut, perputaran ekonomi di sana pun mencapai miliaran rupiah dalam setahun. Hal tersebut tak ayal menjadikan Kramat tunggak sebagai salah satu komplek kegiatan industri seks paling sibuk pada masanya. Bahkan, nama Kramat Tunggak populer hingga ke mancanegara.

Sejarah mencatat, Kramat Tunggak eksis cukup lama, sebelum kemudian ditutup pada akhir 90’an silam.

‘Badai’ Kontroversi
Sejarah mencatat, lokalisasi adalah salah satu kebijakan paling kontroversial dari Gubernur Ali Sadikin. Ketika masih dalam tahap penyiapan Kramat Tunggak saja, ada banyak pihak yang menentang keras kebijakan tersebut.

Ketua Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI) Sjamsioner Adnoes datang menghadap Ali Sadikin untuk menyampaikan protes secara langsung. Sjamsioner menentang jalan pikiran Ali Sadikin mengenai pemecahan masalah ‘Wanita P’ di Ibu Kota.

Menurut organisasi tersebut, pemerintah telah memberi izin untuk eksploitasi manusia, serta merendahkan derajat wanita dengan menciptakan lokalisasi. Selain KAWI, berbagai kelompok organisasi juga lantang bersuara, memprotes atau memberi catatan atas kebijakan kontroversial tersebut. Di antaranya termasuk anggota Ikatan Masjid Djakarta (IMD) Ramlan Mardjoned yang menilai kebijakan Ali Sadikin adalah melegalkan perzinaan.

Ali tak menutup diri, namun membuka pintu dialog bersama berbagai kalangan yang menentangnya. Termasuk, dengan membentuk panitia kecil untuk merancang dan melaksanakan berbagai program pengurangan penyebaran PSK dan penyebaran penyakit menular.

Namun, setelah serangkaian upaya dilakukan, Ali sampai pada kesimpulan, pelacuran adalah persoalan rumit yang tak akan mudah terselesaikan. Ada ribuan PSK di seantero Jakarta dan tak mungkin bisa di indoktrinasi dalam waktu singkat.

Ali memahami betul, ada tantangan ekonomi kompleks yang melatari berkembangnya industri tersebut. Karenanya, solusi yang paling masuk akal adalah lokalisasi.

“Melokalisasikan berarti mempersempit gerak mereka dan dengan demikian akan terbina apa yang diharapkan sebagai ‘menghapuskan pemandangan yang kurang sedap’ di tepi-tepi jalan,” ucapnya.

Ali menyadari, banyak pihak tengah menyorot dan menyerangnya atas kebijakan tersebut. Menurutnya, ada pandangan waktu itu, dirinya dianggap sebagai pihak yang mendorong dekadensi moral.

“Omong-kosong dekadensi moral dapat diberantas begitu saja. Bahaya itu tetap ada dan korban pun pasti pula diminta. Yang bisa kita perbuat adalah mengurangi isu-isu dekadensi moral itu, serta berusaha memperkecil (jumlah) korbannya sebisa mungkin,” ungkap Ali.

Di Atas Baik dan Buruk
Terlepas dari pandangan kontra, kebijakan Ali Sadikin nyatanya dipandang positif dari berbagai sudut. Terutama mereka yang diikutkan dalam program relokasi ke Kramat Tunggak, atau komunitas yang memiliki keprihatinan sama.

Fikri dalam skripsi "Lokalisasi Kramat Tunggak Pada Masa Gubernur Ali Sadikin: 1971-1977" (2011) menguraikan, kehadiran Kramat Tunggak dalam perspektif luas memiliki peran penting dalam memajukan manusia-manusia di sekitar industri tersebut dan kebaikan masyarakat umum. Di atas soal baik dan buruk, atau yang bermoral atau yang hina, langkah Ali sejatinya hanyalah upaya untuk memanusiakan manusia.

Tidak sekadar lokalisasi, Kramat Tunggak nyatanya juga menjadi tempat rehabilitasi dan resosialisasi. Di sini diadakan kajian agama secara rutin, pelatihan menjahit, pendidikan umum dan baca tulis.

Kesehatan para PSK pun diperhatikan lewat puskesmas di dekat wilayah lokalisasi, demi mencegah penyebaran penyakit kelamin menular, sekaligus menjaga kualitas hidup para PSK itu sendiri.

Berbagai pendampingan tersebut tentunya punya tujuan lebih jauh. Paling tidak, etika kembali mengupayakan jalan hidup yang baru, para PSK diharap, memiliki keterampilan untuk bersaing di tengah masyarakat.

Pada masa-masa akhir jabatannya, Ali pernah menerima perwakilan kelompok waria di Balaikota yang meminta untuk diberi tempat di Kramat Tunggak. Namun Ali tak mengabulkannya, dan justru mendorong mereka untuk meningkat keterampilan untuk bisa bekerja.

Kelompok waria itu tak berkecil hati. Entah karena memang merasa tersentuh oleh sosok Ali Sadikin, atau karena hal lain, mereka pun menerima masukan Sang Gubernur, sambil berpamitan dengan memberikan hadiah berupa kain kebaya yang disulam kembang, hasil karya mereka. 

Menurut Ali, hadiah itu sebagai kenang-kenangan sehubungan masa jabatannya akan habis.

Dalam perspektif agama, budaya dan sosial, pandangan atas kebijakan Ali Sadikin cukup beragam. Ada yang mendukung, misalnya tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Harun Al-Rasyid yang menyatakan setuju dengan lokalisasi, dengan catatan itu dijadikan tahapan dari upaya penghapusan prostitusi secara tuntas.

‘Pemulihan nama’ Ali Sadikin paling mencolok muncul lewat pembahasan kompleks dan simpulan apresiatif NU dalam forum Bahtsul Masail Diniyah NU tahun 2013. Forum itu menyatakan, lokalisasi hadir sebagai solusi pemerintah untuk mengurangi dampak negatif perzinaan, bukan menghalalkannya.

Atas dasar simpulan itu pula, Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid menyebut Ali Sadikin sebagai salah satu sosok pemimpin sejati yang pernah hadir di Indonesia.

“Dia itu pemimpin rakyat sejati. Hidupnya sederhana, berani dan bijaksana,” ucap Gus Dur, saat melayat Ali Sadikin yang wafat pada 20 Mei 2008 silam, dinukil dari buku Ali Sadikin: Pemimpin yang Dirindukan (2022).

Setelah era kontroversial Bang Ali, prostitusi Jakarta pun kembali masuk ke dalam kelompok tindak ilegal yang solusinya hanyalah hukuman bagi yang kedapatan melakukannya.

Namun, atas nama moral, apakah hal tersebut menuai sukses? Sayangnya tidak. Sekali lagi prostitusi bergerak di balik bayang-bayang moral Jakarta, tak tertata dan sporadis. Dia akan terus ada, selama kebutuhan syahwat bisa dipenuhi lewat transaksi sesaat.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar