27 Februari 2025
17:09 WIB
Bagaimana Musisi Membayar Dampak Lingkungan Dari Praktik Industri Musik?
Musisi yang tergabung dalam The Indonesian Climate Communications, Arts and Music Lab (IKLIM) punya komitmen diri untuk menjaga dampak lingkungan dari praktik industri musik. ikli
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Sejumlah musisi tergabung dalam The Indonesian Climate Communications, Arts and Music Lab (IKLIM) menggelar sesi wicara dan konser di M Bloc Space, Sabtu (22/2). Dok: Andesta/ Validnews.
JAKARTA – Industri musik hari ini telah beralih dari produksi fisik ke digital. Artinya, semakin sedikit materi fisik yang digunakan untuk produksi dan semakin sedikit pula potensi limbah yang bisa ditimbulkan, semisal dari material vinyl, CD hingga penggunaan plastik dalam berbagai aspek produksi dan distribusi.
Namun transformasi itu belum menyelesaikan masalah, industri musik masih memberi dampak lingkungan yang nyata, seperti juga pada industri bidang lainnya. Rilisan fisik masih ada dan sebagian masih menggunakan material yang sulit didaur ulang. Di sisi lain, distribusi musik digital pun memerlukan layanan internet yang pada dasarnya terus mengonsumsi listrik hingga meninggalkan jejak karbon.
Pasca pandemi, industri pertunjukan musik pun bertumbuh pesat. Festival dan konser digelar dari waktu ke waktu di berbagai belahan dunia, menarik aktivitas bepergian jutaan orang serta menambah jumlah sampah plastik di muka bumi.
Para musisi dengan intensitas cukup tinggi terbang dari pulau ke pulau, dari negara ke negara, bahkan dari satu benua ke benua lainnya. Aktivitas terbang dengan pesawat udara selama berjam-jam, bahkan belasan jam, turut berkontribusi meningkatkan pemanasan global dan perubahan iklim.
Dengan begitu, nyaris tak ada pilihan untuk industri musik hari ini bergerak tanpa memberi dampak bagi lingkungan. Hal yang mungkin bisa diupayakan adalah menekan dampak seoptimal mungkin dengan berbagai cara, dan di saat bersamaan ‘membayar’ dampak tersebut dengan praktik-praktik kecil yang bisa mendorong penyelamatan lingkungan.
Kesadaran lingkungan belakangan menguat pada banyak musisi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Banyak yang menyadari ‘dosa’ industri ini terhadap lingkungan dan kemudian melakukan berbagai aksi nyata untuk perubahan.
Seperti yang dilakukan para musisi tanah air yang tergabung dalam The Indonesian Climate Communications, Arts and Music Lab (IKLIM). Para musisi di antaranya Gede Robi dari band Navicula, Iga Massardi dari Barasuara, Endah N Rhesa, hingga Petra Sihombing, bersolidaritas untuk menggerakkan praktik-praktik baik demi lingkungan.
Pada tataran personal, masing-masing dari mereka mencoba menerapkan praktik-praktik hijau dalam berbagai aspek. Gede Robi misalnya, menekankan perlunya musisi untuk menekan konsumsi dan penggunaan sumber daya seminim mungkin dalam aktivitas bermusiknya.
“Apa yang bisa dilakukan sebagai musisi? Yang gampang misalnya yang bisa kita lakukan, misalnya kayak daftar riders kita. Biasanya riders band bisa minta macam-macam di belakang panggung. Nah kita bisa misalnya minta di belakang panggung cuma disediakan air. Jadi mulai dari hal-hal kecil aja,” ungkap Robi saat ditemui di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Robi sendiri dikenal sebagai musisi yang konsisten menyuarakan isu lingkungan sejak lama, dan juga menjalankan gaya hidup ‘hijau’ atau lebih ramah lingkungan. Dia tak menampik adanya kebutuhan musisi untuk mengkonsumsi energi dalam jumlah besar, ataupun melakukan aktivitas yang berdampak buruk bagi lingkungan.
Karena menyadari dampak itu cenderung tak terhindarkan, maka hal yang dia lakukan adalah menjalani aktivitas bermusik dengan berkesadaran lingkungan. Roby sendiri misalnya menganggap kontribusi aktivitas bermusiknya bagi lingkungan sebagai sebuah hutang, yang kemudian harus dia bayar dengan berbagai cara yang mungkin dilakukan.
“Misalnya, musisi itu kan travel, dan salah satu dosa lingkungan terbesar kan travel itu ya. Kita naik pesawat. Semakin terkenal seorang musisi, mobilitasnya semakin tinggi, yan mungkin yang bisa kita lakukan itu misalnya pelan-pelan kita mulai merasa kayak ada kepedulian,” tutur Robi.
“Kalau gue sih misalnya terbang ke Jakarta, gue hitung, ‘oh gue hutang 12 pohon’. Setidaknya begitu gue dapat kesempatan diajak kegiatan sama organisasi mana gitu untuk nanam pohon, itu jadi kesempatan untuk menebus dosa, bayar hutang. Nggak perlu kita harus punya lahan untuk menanam pohon, lho,” imbuh musisi asal Bali tersebut.
Kampanye Lingkungan Lewat Musik
Di samping mempraktikkan kebiasaan baik bagi lingkungan pada tataran personal, para musisi juga bisa mendorong perubahan lewat karya musik itu sendiri. Gagasan inilah yang coba direalisasikan Robi bersama para musisi lainnya di IKLIM, yang merilis album kompilasi khusus bertemakan lingkungan.
Tujuannya jelas, yaitu menggungah kesadaran para pendengar musik untuk lebih peduli terhadap lingkungan dan kemudian melakukan aksi nyata untuk perubahan. Sesederhana memulai kebiasaan memilah sampah di rumah, serta menerapkan konsumsi energi yang efisien.
Robi hingga Iga Massardi, dalam konteks ini melihat musik tak semata sebagai sebuah produk seni, melainkan juga alat untuk menciptakan perubahan. Mereka percaya, pesan-pesan perubahan yang disampaikan secara terus menerus lewat musik, akan bisa mendorong perubahan perilaku pada banyak orang.
“Gimana ketika karya itu bisa bikin impact secara sosial, itu penting disadari. Kita para musisi itu punya kesempatan untuk bisa mengubah persepsi seseorang. Walaupun tidak bisa dipaksakan, tapi kesempatan itu ada,” tutur Iga Massardi, gitaris sekaligus vokalis band Barasuara.
Dari perspektif seperti itu, Iga dan Robi, juga sederet lagi musisi lainnya pun bergerak lebih jauh untuk menginisiasi festival musik khusus untuk menyuarakan krisis lingkungan. Dua edisi festival telah digelar di Bali, kemudian baru-baru ini mereka menggelar panggung di Jakarta.
Pertunjukan sonic/panic Jakarta: Hutan Punah, Kota Musnah yang digelar di M Bloc Space, Jakarta Selatan pada Sabtu (22/2) lalu, menjadi ruang selebrasi album kompilasi kedua rilisan IKLIM, berjudul sonic/panic Vol. 2. Album ini merangkum belasan lagu dari banyak musisi yang bertemakan alam atau ekologi.
Menurut Iga, dengan menggelar panggung secara langsung, mereka berkesempatan untuk menyampaikan pesan-pesan lingkungan secara lebih kuat kepada para pecinta musik.
“Sebetulnya ini kita tidak sedang mengubah hitam menjadi putih dalam satu hari ya, ini kan sebuah perjuangan yang panjang memang. Ini yang disuarakan teman-teman di atas panggung tentang kepedulian lingkungan lewat cara-caranya sendiri,” ujar Iga,
“Katakanlah misalnya ada 500 orang penonton yang datang, yang menangkap pesannya mungkin katakanlah 200 orang, itu sudah lebih dari cukup. Karena kita tahu, kita nggak bisa mengubah habit orang dalam satu kali nonton konser,” pungkasnya.
Selain Robi dan Iga Massardi, musisi lainnya yang terlibat dalam gerakan iklim termasuk VoB, Efek Rumah Kaca, Tuan Tigabelas, Endah N Rhesa, Matter Mos, Made Mawud, Petra Sihombing dan banyak lagi.