c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

26 Februari 2025

20:20 WIB

Bachtiar Siagian, Fragmen Yang Hilang Dalam Sejarah Perfilman Indonesia 

Mungkin banyak orang yang masih asing mendengar nama Bachtiar Siagian. Di balik nama itu, dia termasuk sebagai salah satu sosok penting dalam sejarah perfilman di Indonesia. 

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Rikando Somba, Satrio Wicaksono,

<p id="isPasted">Bachtiar Siagian, Fragmen Yang Hilang Dalam Sejarah Perfilman Indonesia&nbsp;</p>
<p id="isPasted">Bachtiar Siagian, Fragmen Yang Hilang Dalam Sejarah Perfilman Indonesia&nbsp;</p>

Sutradara dan penulis skenario Bachtiar Siagian. wikipedia/Dok

JAKARTA – Narasi tentang perfilman Indonesia selalu ditarik dari kiprah besar Usmar Ismail, Bapak Perfilman yang memberi sumbangsih besar. Di samping itu, ada pula Djamaluddin Malik, pengusaha film yang dianggap sebagai Bapak Industri Perfilman Indonesia. Melalui kiprah masing-masing, keduanya menjadi simpul cerita sejarah dan perkembangan perfilman Indonesia hari ini.

Belakangan, mulai banyak pembicaraan tentang Ratna Asmara, sosok yang dianggap sebagai sutradara perempuan pertama di Indonesia. Fakta ini semakin memperluas narasi sejarah perfilman nasional, karena ternyata Indonesia sudah punya sutradara perempuan pada tahun 1950-an. Namun begitu, masih banyak aspek yang belum ditulis tentang sejarah perfilman Indonesia. 

Ada sosok-sosok lain yang selama ini jarang dibicarakan, hilang dari narasi besar sejarah perfilman nasional.  Salah satunya, Bachtiar Siagian. Sutradara yang oleh para peneliti film dicap sutradara ‘kiri’, pentolan Lembaga Kebudayaan Rakyat alias Lekra.

Bachtiar Siagian adalah fragmen yang hilang dari sejarah perfilman Indonesia. Jejaknya terhapus oleh kemelut politik, ketika rezim Sukarno digantikan Suharto. Seperti banyak tokoh terafiliasi Partai Komunis Indonesia (PKI) lainnya, Bachtiar 'dihilangkan' dari arena perfilman Indonesia, tepat pada masa keemasannya.

Bicara kiprah, saat masa keemasannya, Bachtiar Siagian adalah salah satu poros utama dalam peta industri era 50-an hingga medio 60-an. Namanya bersanding dengan Usmar Ismail, Asrul Sani, juga Djamaluddin Malik. Bahkan, Bachtiar tercatat sebagai salah satu sutradara paling produktif, berpengaruh, dan paling berprestasi pada masa itu.

Jika Usmar Ismail memimpin Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), Bachtiar menduduki kursi setara di Lembaga Film Indonesia (LFI). Jika Usmar dan Djamaluddin Malik menginisiasi Festival Film Indonesia (FFI), maka Bachtiar adalah bintangnya. Dia berhasil memboyong empat piala lewat filmnya, Turang, pada 1960.

Sayangnya, kiprah Bachtiar terhenti seketika, saat meletus peristiwa 1965. Dia menjadi ‘sasaran tembak’ dan dijebloskan ke penjara. Bachtiar pun menghabiskan usia mudanya dari satu penjara ke penjara lain.

Parahnya lagi, karya-karya Bachtiar juga diberangus. Belasan film yang disutradarainya hingga medio 60-an, hilang begitu saja. Imbasnya, sulit membayangkan seperti apa kualitas film besutannya. Karena, tidak ada dokumentasi yang bisa dirujuk untuk itu. Hanya satu filmnya yang berhasil terselamatkan, berjudul Violetta, diproduksi tahun 1962.

Selebihnya, para pengkaji film hanya bisa meraba-raba, bagaimana corak karya Bachtiar Siagian, sutradara yang hilang dari peta sejarah perfilman Indonesia. Baru-baru ini, Forum Lenteng menambah narasi tentang Bachtiar dengan membuat film dokumenter tentang sosok tersebut. Film berjudul Bachtiar itu baru saja ditayangkan di International Film Festival Rotterdam (IFFR) 2025.

Dari Perkebunan Deli Jadi Sutradara ‘Kiri’
Bachtiar Siagian tumbuh dari keluarga pekerja perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara. Pengaruh seni tumbuh langsung dari orang tuanya. Ibunya gemar memperdengarkan musik Melayu, sedangkan sang ayah memperkenalkannya dengan puisi dan teater.

Sewaktu remaja, Bachtiar sudah menggemari musik dan ikut dalam penampilan-penampilan orkes keliling di desanya. Bachtiar juga gemar menonton opera, baik barat maupun tonil modern, yang membuat dia kenal dengan grup-grup populer, seperti Dardanella hingga Tonil Miss Tibu.

Kecintaan menonton teater membuat Bachtiar gemar pula menulis lakon. Lakon pertamanya ditulis pada era pendudukan Jepang. Aktivitas menulis lakon itu pula yang membawa Bachtiar ditangkap Kempetai Jepang, ketika dia menjadi sutradara dan memainkan langsung naskahnya bersama kelompok Teater Kencana di sebuah bioskop di Binjai, karena dianggap subversif.

Pengalaman dikerangkeng itu pula yang membuat Bachtiar terhubung dengan banyak orang dan berbagai organisasi. Setelah bebas, dia berkiprah di Medan. Kariernya diawali dengan menulis kolom di koran-koran sembari belajar menulis naskah film.

Masa-masa awal Bachtiar Siagian berkecimpung di dunia film juga saat masa pendudukan Jepang. Ketika itu, dia mendapat pesanan untuk membuat film propaganda, sekaligus belajar dasar-dasar pembuatan film dari banyak orang di lingkaran tersebut.

Ketika masa revolusi, Bachtiar telah tergabung dalam Persatuan Perjuangan Langkat. Di situ, dia berkenalan dengan berbagai teori sosial hingga seni. Khusus terkait film, dia belajar banyak dari sutradara kenamaan Rusia, Vsevolod Pudovkin. Bachtiar pun kemudian bergabung dengan Lekra cabang Medan pada 1951.

Krishna Sen dalam Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat dan Sinema Orde Baru, mencatat kiprah awal Bachtiar sebagai pembuat film. Disebut, geliat karya anak pekerja kebun ini tak terlepas dari dukungan dari para tokoh penting PKI. Dia pindah ke Jakarta atas desakan Njoto, dan terlibat dalam pertemuan-pertemuan Serikat Buruh Film dan Sandiwara (Sarbufis). Dari sana, dia mulai mengenali dunia perfilman secara lebih dalam.

Mula-mula, perhatian Bachtiar berkisar pada penggambaran kisah hidup manusia. Pada 1955, dia membuat dua film, yaitu Tjorak Dunia yang dibintangi artis top, seperti Soekarno M Noer hingga Mieke Wijaya, serta film Kabut Desember. Setelah itu, perhatiannya segera tertuju pada film-film bertema nasionalisme. Maka, dia pun membuat film Turang pada 1957, sebuah kisah tentang perjuangan Rakyat Karo melawan Belanda pada masa Revolusi.

Selanjutnya, Turang memenangkan penghargaan FFI pada 1960. Film ini menyabet empat piala termasuk untuk Film Terbaik. Pencapaian film tersebut membuat nama Bachtiar dikenal kian luas.

Kedekatan PKI dengan Sukarno juga membuka jalan bagi Bachtiar untuk berhubungan secara langsung dengan Presiden, lewat film. Konon, Turang pun diputarkan pertama kali di Istana atas permintaan Sukarno.

Selama periode 1955 hingga 1965, Bachtiar menyutradarai dan menulis skenario untuk 13 film, menjadikannya sebagai salah satu pembuat film Indonesia paling produktif pada masanya. Karyanya sering kali berfokus pada kehidupan masyarakat kelas bawah dan menyoroti ketidakadilan sosial. 

Film Kabut Desember (1955), disorot luas di masanya sebagai film yang berhasil menggambarkan realitas wong cilik di layar lebar. Beberapa film lain yang tercatat di antaranya, Melati Senja (1956) dan Daerah Hilang (1957) yang menceritakan tentang penggusuran di pinggiran Jakarta untuk pembukaan kawasan elite baru.

Bachtiar Siagian dianggap sebagai salah satu sutradara paling cemerlang, kebetulan berhaluan ‘kiri’, dan terafiliasi dengan PKI. Usmar Ismail sendiri konon menganggap Bachtiar sebagai ‘lawan’ terberatnya dalam urusan artistik film, menunjukkan tingginya pengakuan bagi sosok tersebut.

Dalam Kemelut Politik
Bachtiar Siagian kemudian menjadi ketua LFI, lembaga film bentukan Lekra tahun 1959. Dia menduduki posisi itu saat situasi industri perfilman nasional penuh ketegangan dan konflik berbasis ideologi. Para sineas Lekra, termasuk Kotot Sukardi, terlibat dalam perdebatan sengit tentang arah pembangunan kebudayaan nasional lewat film dengan kelompok Djamaluddin Malik hingga Usmar Ismail, yang dianggap berhaluan komersil.

Bachtiar, sebagaimana dicatat Adrian Jonathan Pasaribu di Jurnal Poetica, pernah mengkritisi Usmar Ismail yang dinilainya berkompromi dengan situasi, mengesampingkan ideologi demi keuntungan semata. Baginya, kebudayaan film pada masa itu "tidak ikut aktif dalam usaha pembangunan kebudayaan nasional".

"Film-film kita hanya menunjukkan ciri-ciri epigon, imitasi, dan akhirnya cuma mengambil posisi yang paling negatif, yaitu pembantu dari intervensi kebudayaan kaum imperialis lewat film-filmnya,” kritik Bachtiar tentang situasi perfilman nasional pada awal era 60-an.

Ada pula masalah ‘pasar’.  Kala itu, ada banyak sekali film impor masuk ke Indonesia. Kondisi itu bagi para sineas Lekra, termasuk Bachtiar, sangat tidak ideal karena menyebabkan film-film lokal kalah bersaing. Kegerahan itu kemudian membuat sineas Lekra membentuk Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat atau Papfias.

Berbagai seruan dan gerakan para seniman Lekra pada akhirnya membuat mereka berseberangan dengan banyak seniman masa itu yang berhaluan berbeda. Termasuk, dengan Usmar Ismail hingga Djamaluddin Malik. Ditambah, entitas PKI yang kadung melekat dengan Sukarno, memunculkan berbagai sentimen di kalangan para seniman.

Pecahnya konflik antara PKI dengan Angkatan Darat pada September 1965 menjadi momen yang mengubah jalan hidup Bachtiar. Merujuk berbagai sumber, ketika kejadian penculikan para Jenderal terjadi di Jakarta, Bachtiar ketika itu tengah berada di luar kota untuk mempersiapkan syuting film terbarunya.

Bachtiar yang sedang bersemangat dan punya banyak rencana untuk perfilman Indonesia, dibuat kaget oleh peristiwa 30 September. Dia langsung menyadari kalau dirinya berada dalam bahaya, sehingga berusaha bersembunyi untuk sementara waktu dan bergerak di bawah tanah. Namun, persembunyian itu tak berhasil. Tentara akhirnya berhasil mengendus keberadaannya. 

Dia ditangkap pada tahun 1966 dan dipenjara tanpa proses pengadilan. Mula-mula dia ditahan di Salemba, kemudian dipindah ke Nusakambangan, hingga terakhir dibawa ke Pulau Buru.

Karier Bachtiar di dunia perfilman terhenti seketika itu, karena dia harus menghabiskan waktu belasan tahun di penjara. Bachtiar dibebaskan pada 1977, ketika usianya sudah tak lagi muda. Bersamaan dengan itu, tanpa pengetahuan Bachtiar, film-film karyanya pun dimusnahkan, seperti juga karya-karya para seniman Lekra lainnya.

Hanya Violetta (1962) yang dibintangi oleh Fifi Young, Bambang Hermanto, dan Rima Melati berhasil terselamatkan. Kini, jejak karya sang sineas disimpan di Sinematek, Jakarta.

Bachtiar Siagian meninggal di Jakarta pada 19 Maret 2002. Pada tahun 2016, ia dianugerahi penghargaan Anugerah Kebudayaan untuk kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, sebagai pengakuan atas kontribusinya dalam dunia perfilman Indonesia. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar