c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

21 Mei 2021

11:12 WIB

Asal Mula dan Filosofi Lebaran Ketupat Masyarakat Jawa

Konon, pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Satrio Wicaksono

Asal Mula dan Filosofi Lebaran Ketupat Masyarakat Jawa
Asal Mula dan Filosofi Lebaran Ketupat Masyarakat Jawa
Warga berebut gunungan ketupat dalam perayaan Lebaran Ketupat di Durenan, Trenggalek, Jawa Timur. Antara foto/dok

JAKARTA – Masyarakat Jawa memiliki tradisi Lebaran Ketupat sebagai pelengkap momen kemenangan pada Lebaran Idulfitri. Tradisi ini dirayakan 7 hari setelah Lebaran 1 Syawal, tepatnya pada 8 Syawal. Artinya, masyarakat Jawa tradisional merayakan dua kali lebaran di bulan Syawal.

Ngomong-ngomong, mengapa ada dua kali lebaran, dan apa perbedaan diantara keduanya?

Secara umum, Lebaran Ketupat dirayakan secara meriah dan takzim, sebagaimana perayaan Lebaran Idulfitri. Pada hari itu, masyarakat muslim Jawa bersuka cita, saling bersilaturahmi dan mengunjungi para kerabat.

Momen ini juga dijadikan kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga besar, saling berbagi dan menyantap sajian khas Lebaran. Tradisi lainya yang tak kalah penting yaitu sungkeman, yang biasanya dilakukan untuk menghormati orang tua.

Pada sisi lain, sebagaimana Idulfitri yang didahului dengan ibadah puasa selama satu bulan, Lebaran Ketupat pun juga didahului dengan ibadah puasa. Bedanya, puasa tersebut hanya dijalankan selama enam hari, mulai 2 hingga 7 Syawal.

Mengutip situs NU Online, tradisi berpuasa enam hari ini mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, yang menganjurkan umat Islam untuk berpuasa enam hari di bulan Syawal.

Konon, Lebaran Ketupat pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga. Saat itu beliau memperkenalkan dua istilah bakda, yaitu Bakda Lebaran yang merujuk pada prosesi salat Id, dan dan Bakda Kupat, yang dilakukan seminggu setelah Lebaran Idulfitri.

Selain dikenal dengan Lebaran Ketupat, momen ‘lebaran kedua’ ini juga jamak disebut dengan istilah Syawalan. Pada saat lebaran ini, masyarakat umumnya membuat ketupat, yang dibuat dari beras yang dimasukkan ke dalam anyaman daun kelapa untuk kemudian dimasak.

Ketupat yang dimasak itu kemudian disajikan di rumah, atau diantarkan ke kerabat terdekat atau kepada mereka yang lebih tua. Hal itu sebagai simbol silaturahmi, kebersamaan dan ungkapan kasih sayang antar sesama.

Dalam masyarakat Jawa, terdapat aneka macam bentuk ketupat di tiap-tiap daerah. Misalnya di Tegal, ada ketupat glebed. Ini jenis ketupat yang dimakan dengan kuah kental. Kemudian ada pula ketupat bebanci khas Betawi, yang disantap bersama kuah santan berisi daging sapi yang diberi aneka bumbu rempah.

Lebih lanjut tentang ketupat, konon antara ketupat yang disajikan saat Lebaran Idulfitri dengan yang disajikan saat Lebaran Ketupat atau Syawalan berbeda ukurannya. Ketupat Syawalan memiliki ukuran yang agak kecil daripada ketupat Lebaran,

Selain ketupat, terdapat aneka sajian lainnya yang juga umum hadir saat Lebaran Ketupat. Di antaranya seperti lontong, lepet, opor, hingga pecel.

Filosofi Ketupat
Sebagaimana disinggung sekilas, tradisi sungkeman termasuk salah-salah satu yang paling esensial dalam Lebaran Ketupat. Hal ini terkait dengan filosofi kata ketupat atau kupat itu sendiri, yang berasal dari bahasa Jawa “ngaku lepat”  (mengakui kesalahan) dan “laku papat” (empat laku).

Mengakui kesalahan merujuk langsung pada laku sungkeman itu, di mana seorang anak bersimpuh di hadapan orang tuanya, serta meminta maaf atas segala kesilapannya sebagai seorang anak.

Sementara untuk pengertian empat laku, masyarakat Jawa mengartikannya dengan empat istilah, yaitu lebaran, luberan, leburan dan laburan. Lebaran berarti akhir dan usainya waktu Ramadhan dan kesiapan jiwa menyongsong kemenangan. Sedangkan Luberan bermakna melimpah layaknya air yang tumpah. Ini bermakna kemauan untuk berbagi.

Selanjutnya leburan, yang berarti habis dan melebur. Ini memiliki makna meleburnya dosa setiap orang dengan saling memaafkan. Sehingga di momen tersebut, semua orang bersih dan mulai dari titik suci kembali.

Terakhir yaitu laburan, yang berasal dari kata labur atau kapur. Ini mencerminkan  hati seorang muslim yang haruslah kembali jernih di momen lebaran tersebut.

Begitulah Lebaran Ketupat dimaknai oleh masyarakat di Jawa. Dan tradisi Lebaran Ketupat telah mengakar sejak lama dalam kebudayaan, yang terus dilaksanakan hingga masa sekarang.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar