c

Selamat

Jumat, 21 November 2025

KULTURA

21 Oktober 2025

20:00 WIB

'Arah Baru' Pesantren, Tak Lagi Sekadar Agama Dan Adab

Mau tidak mau, pesantren harus melakukan transformasi dalam sistem pendidikannya untuk menjawab tantangan zaman. Ini mesti dilakukan tanpa harus mengesampingkan nilai-nilai agama dan adab.

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Rikando Somba

<p>&#39;Arah Baru&#39; Pesantren, Tak Lagi Sekadar Agama Dan Adab</p>
<p>&#39;Arah Baru&#39; Pesantren, Tak Lagi Sekadar Agama Dan Adab</p>

Dua santri belajar menggunakan kamera digital di Pondok Pesantren Darul Muttaqien, Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (8/10/2024). Antara Foto/Zaky Fahreziansyah

JAKARTA - Di tengah derasnya arus globalisasi, juga kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak orang tua di Indonesia masih memercayakan pendidikan anaknya ke pesantren. Pilihan ini lahir dari keyakinan bahwa pesantren mampu menanamkan kedisiplinan, kemandirian, dan karakter yang kuat, ketika nilai-nilai itu kian pudar di tengah kehidupan yang serba modern.

Akan tetapi, wajah pesantren hari ini tak lagi sama seperti puluhan tahun lalu. Banyak pesantren telah bertransformasi. Dari sebelumnya menekankan hafalan kitab dan pelajaran agama, menjadi lembaga yang juga terbuka bagi ilmu pengetahuan modern, teknologi, dan kewirausahaan.

Salah satu orang tua yang merasakan perubahan itu adalah Firda, 43 tahun. Sejak anaknya masih duduk di sekolah dasar, Firda sudah merencanakan untuk menyekolahkan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, salah satu pesantren besar yang dikenal dengan perpaduan antara pendidikan agama dan umum.

"Awalnya karena ingin anak saya lebih terarah, lebih disiplin. Tapi waktu saya tahu di Tebuireng juga ada penguatan di bidang sains dan teknologi, saya makin yakin. Saya ingin anak saya punya dasar agama yang kuat, tapi juga nggak ketinggalan zaman," ujar Firda kepada Validnews, Kamis (16/10).

Ia meyakini, lingkungan pesantren memberi keseimbangan antara pendidikan moral dan pengetahuan praktis yang berguna untuk masa depan. Dari awal, Firda memang bercita-cita agar anaknya kelak bisa menjadi penerus di yayasan pendidikan yang dibangun keluarga.

"Jadi, saya mempersiapkan diri agar anak saya cakap memimpin. Karena kalau pintar saja tanpa pegangan nilai, saya khawatir dia gampang terbawa arus. Saya ingin dia bisa meneruskan perjuangan keluarga dengan bekal ilmu dan karakter yang kuat bisa memimpin dengan hati," jelasnya.

Pandangan serupa datang dari Nurul Huda. Ibu asal Jawa Barat ini menitipkan dua anaknya di pesantren modern di daerahnya. Alasannya sederhana, kualitas pendidikan di sana tak kalah dengan sekolah umum. 

"Saya ingin anak-anak saya punya bekal agama, tapi juga nggak ketinggalan sains. Di pesantren tempat anak saya, mereka belajar bahasa asing, ada komputer, ada pelatihan keterampilan juga. Jadi bukan cuma ngaji,” tutur Nurul kepada Validnews, Kamis (15/10).

Bagi Nurul, keputusan itu juga soal rasa aman dan harapan. Ia percaya, lingkungan pesantren memberi anak-anaknya ketenangan dalam belajar sekaligus mengajarkan tanggung jawab. 

"Mereka belajar mandiri, tahu batasan, dan tetap punya semangat untuk berprestasi. Itu yang saya cari," ungkapnya.

Menyatukan Kitab, Sains, dan Teknologi
Kepercayaan Firda dan Nurul Huda akan pesantren, mencerminkan wajah baru pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren tak lagi identik hanya dengan pengajaran kitab kuning atau pelajaran agama semata. Perannya telah berkembang menjadi pusat pembentukan karakter, ilmu, dan keterampilan yang relevan dengan tantangan abad ke-21. 

Banyak pesantren mulai membuka jurusan atau program yang berfokus pada sains dan teknologi, bahasa, kewirausahaan, hingga media digital yang semuanya dirancang tanpa meninggalkan nilai-nilai keislaman. 

Salah satunya adalah Pesantren Tinggi An-Nuaimy, yang pada tahun 2025 ini secara resmi memperoleh izin operasional sebagai Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) dari Kementerian Agama. Direktur Pesantren Tinggi An-Nuaimy, KH. Itang Rusmana, menjelaskan bahwa transformasi pesantren bukan berarti meninggalkan jati diri Islam, melainkan menyeimbangkan antara misi spiritual dan kebutuhan zaman.

"Kami berupaya menanamkan nilai-nilai Islam, akhlak mulia, dan akidah yang kokoh, tetapi juga harus agile terhadap tuntutan zaman. Teknologi kami kenalkan kepada santri secara bertanggung jawab dengan pendekatan moral dan bimbingan akhlak," ujar K.H Itang Rusmana kepada Validnews, Selasa (21/10).

Di pesantren yang ia pimpin, para santri difasilitasi dengan laboratorium komputer dan pelatihan literasi digital yang diadakan secara berkala. Tujuannya agar mereka mampu memanfaatkan teknologi sebagai sarana dakwah dan kebaikan. 

“Kami ingin mencetak dai dengan modal ilmu, amal, dan adab,” ucap Ustaz Itang. 

Di sana, para santri diharapkan dapat berdakwah dengan hikmah dan memahami bahwa teknologi hanyalah wasilah, bukan tujuan. Untuk itu, mengenalkan teknologi kepada santri harus dibingkai dengan akhlak dan adab. Ustaz Itang juga berpesan agar para santri dan alumni untuk terus menimba ilmu tanpa melupakan fondasi iman.

"Timbalah ilmu sebanyak mungkin, tapi imbangi dengan iman dan akhlak agar hidup bahagia. Bagi para alumni, teruslah berkarya di tengah masyarakat dengan ilmu yang sudah didapat. Jadilah pahlawan kebaikan," pesannya.

Generasi Pesantren Abad 21
Di sisi lain, banyak pesantren yang tetap menjaga nilai kulturalnya meski digempur majunya zaman. Pondok Pesantren Nurul Jadid di Paiton, Probolinggo, adalah salah satunya. 

Pesantren ini menunjukkan wajah pendidikan pesantren yang modern namun tetap menjaga tradisi. Menurut Ponirin Mika, Kasubbag Humas dan Infokom Nurul Jadid, pesantren ini mengadopsi pendekatan integratif antara pembelajaran salafiyah atau kitab klasik dan pengkaderan kiai dengan unit pendidikan yang memadukan kurikulum pesantren dan kurikulum nasional. 

Tak hanya itu, mereka mengembangkan layanan berbasis teknologi dan kerja sama dengan universitas, SMK/SMA, serta pusat bahasa.

"Kami berusaha menjaga tradisi keagamaan sekaligus mendorong modernisasi manajemen dan pendidikan,” ujar Ponirin Mika kepada Validnews, Selasa (21/10). 

Integrasi teknologi di lingkungan pesantren ini memungkinkan administrasi, pembelajaran, dan jejaring dakwah berjalan efektif tanpa menghapus kurikulum agama. Guru-guru pun melakukan upgrade keterampilan, terutama terkait pemanfaatan teknologi untuk pembelajaran diniyah.

Langkah konkret Nurul Jadid untuk menampilkan wajah modern antara lain mendirikan berbagai satuan pendidikan formal mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi yang menjalankan kurikulum nasional/merdeka belajar sejajar dengan pendidikan diniyah. Mereka juga memiliki program bahasa asing, termasuk Mandarin, mengirim santri ke studi dan kompetisi internasional, serta memberikan beasiswa ke luar negeri. 

Aktivitas ini memosisikan Nurul Jadid sebagai aktor pendidikan global, tanpa meninggalkan legitimasi religiusnya. Dalam hal literasi digital, pesantren mengelola media dan multimedia seperti channel YouTube dan portal berita, serta menjalin kerja sama penelitian dan pendidikan yang menunjukkan adaptasi komunikasi modern. 

Integrasi kurikulum pesantren dengan kurikulum nasional termasuk implementasi Kurikulum Merdeka membuat santri mendapat pendidikan agama intensif sekaligus kompetensi formal nasional. Ponirin Mika pun mengungkapkan tantangan yang sering muncul seperti keterbatasan infrastruktur, kompetensi guru di bidang digital, resistensi budaya, hingga pendanaan, diatasi dengan berbagai langkah terpadu. 

"Guru mendapatkan pelatihan rutin, pesantren menjalin kerja sama dengan lembaga eksternal, dan dilakukan investasi bertahap pada infrastruktur. Selain itu, pembelajaran kitab klasik dipadukan dengan metode modern seperti project-based learning dan penggunaan multimedia. Contoh nyata dari upaya ini adalah pelatihan guru untuk menyinergikan kurikulum nasional dengan kurikulum pesantren, sekaligus pengembangan modul coding dan literasi digital,” tuturnya.

Program bahasa, termasuk Mandarin, dirancang untuk membuka akses pendidikan ke Tiongkok. Penguasaan bahasa asing ini diyakini, sekaligus menjadi peluang beasiswa bagi para santri dan meningkatkan keterampilan yang relevan di pasar kerja global. Dampaknya, lulusan SMA atau pondok dengan kompetensi Mandarin memiliki peluang melanjutkan studi ke luar negeri serta mendapatkan akses ke jaringan ekonomi dan teknologi yang terkait dengan China.

Profil lulusan Nurul Jadid mencerminkan perpaduan antara keterampilan agama dan kompetensi sekuler. Menurutnya, mereka memahami agama Islam dan juga menguasai bahasa asing. 

"Banyak yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi dalam maupun luar negeri, sementara sebagian lainnya terlibat aktif dalam kewirausahaan dan lembaga masyarakat. Persiapan tersebut dilakukan melalui sinergi kurikulum nasional, program bahasa, pelatihan guru, serta jejaring dengan universitas dan unit penunjang. Kami menekankan agar santri belajar tekun, menguatkan ilmu agama, sekaligus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga menjadi pribadi saleh, mandiri, berilmu, berjiwa kewirausahaan, dan mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat,” tutur Ponirin Mika.

Spirit Pembaruan dalam Pendidikan Islam
Transformasi seperti di atas, menunjukkan arah baru pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren bisa menjadi jembatan menuju masa depan, sehingga melahirkan generasi beriman yang mampu berpikir kritis, kreatif, dan berdaya saing global tanpa kehilangan akar spiritualnya.

Apalagi, perkembangan teknologi kini menjadi tuntutan yang tak bisa dihindari, termasuk bagi dunia pesantren. "Sekarang ini banyak toko yang sudah cashless. Jadi ketika kita membawa uang tunai, justru tidak bisa dipakai. Nah, begitu pula dengan pondok pesantren," ujar Ahmad Zubaidi, akademisi bidang pendidikan Islam dan bahasa Arab Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, kepada Validnews.

Ia mencontohkan, kini sistem administrasi di pesantren sudah beralih ke moda digital. Proses penerimaan santri baru pun dilakukan secara daring. Bahkan, kitab kuning yang dulu hanya bisa dibaca dalam bentuk cetakan, kini sudah tersedia dalam versi digital dan bisa diakses melalui gawai. 

Meski demikian, sebagian kurikulum pesantren masih mempertahankan metode tradisional seperti maknani, yaitu memberi makna pada kitab secara langsung.

Perubahan juga terlihat dalam cara santri belajar. Aplikasi-aplikasi pendukung pembelajaran di pesantren kini sudah banyak yang terdigitalisasi. 

"Dulu kalau kita belajar shorof (ilmu perubahan bentuk kata dalam bahasa Arab), kita harus hafal rumus dan perubahan akhir katanya satu per satu. Belum lagi kalau ada perbedaan rumus antar kata, makin banyak hafalan yang harus dikuasai. Sekarang, semua itu sudah lebih mudah karena ada aplikasi. Cukup masukkan satu kata, nanti tabel perubahannya langsung muncul. Jadi pembelajaran jadi lebih cepat dan efisien," tuturnya.

Selanjutnya, ia menambahkan bahwa arah baru pendidikan Islam sejatinya bergantung pada manusianya. "Kalau individunya baik, pendidikan Islam akan menjadi center of enlightenment, pusat pencerahan,” tegasnya.

Zubaidi menilai, pesantren memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan peradaban, karena mampu memadukan spiritualitas, sains, dan teknologi dalam satu ruang nilai. Menurutnya, pesantren tidak boleh menutup diri dari perkembangan zaman.

Setiap individu yang menjadi bagian dari pesantren, kata dia harus mampu berinteraksi aktif dengan teknologi. Dengan demikian, pesantren akan tumbuh menjadi pusat pencerahan peradaban. Di perspektifnya, pesantren dan lembaga pendidikan Islam seharusnya tidak lagi berada di pinggiran wacana global, melainkan menjadi bagian penting dari solusi peradaban dunia.

"Syaratnya, pendidikan Islam harus tampil dengan wajah rahmatan lil ‘alamin yakni inklusif, kolaboratif, dan futuristik. Nilai-nilainya tetap berakar pada tauhid dan akhlak, tetapi pendekatannya harus berbasis riset, inovasi, dan kemanusiaan. Di situlah keunggulan pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di pondok pesantren," paparnya.

Zubaidi juga menekankan pentingnya dua dimensi literasi digital dalam pendidikan pesantren: kompetensi dan etika. Para santri harus mampu menggunakan teknologi secara produktif, tapi juga bijak menimbang dampak moral, sosial, dan spiritualnya. Literasi digital bukan hanya kemampuan teknis, tetapi juga penyucian niat dan perilaku dalam bermedia.

Pendapat yang sama juga diutarakan Jejen Musfah, pengamat pendidikan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menilai bahwa pesantren kini semakin adaptif terhadap kemajuan teknologi. "Pesantren tidak hanya melahirkan calon ulama, tapi juga calon saintis. Islam justru menjadi dasar bagi pesantren untuk terbuka terhadap perkembangan pengetahuan umum,” ujar Jejen.

Menurut Jejen, kunci utamanya ada pada kepemimpinan kiai yang adaptif terhadap teknologi dan mampu merancang kurikulum pesantren berbasis Al-Qur’an serta sains-teknologi (STEM). Pesantren perlu memfasilitasi santri dengan infrastruktur digital dan tenaga profesional di bidang teknologi agar bisa melahirkan generasi yang menguasai AI dan sains tanpa kehilangan nilai-nilai Islam.

Namun, pandangan agak berbeda disampaikan Didin Syafrudin, Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta. Menurutnya, lembaga pendidikan yang menonjol dalam bidang sains dan teknologi sering kali bukan pesantren murni, melainkan sekolah Islam atau madrasah yang bernaung di lingkungan pesantren.

"Pesantren pada hakikatnya menekankan pengajaran ilmu agama seperti bahasa Arab, fikih, akidah, dan ibadah. Sementara madrasah di dalam pesantren bisa memperkuat bidang sains dan teknologi jika memiliki visi dan arah yang jelas," jelas Didin kepada Validnews, Selasa (20/10).

Ia menilai, meskipun sekolah atau madrasah di lingkungan pesantren memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan sains dan teknologi, fokus utama pesantren tetap pada pendalaman ilmu agama. Karena itu, tantangannya adalah bagaimana menghasilkan lulusan yang unggul dalam bidang teknologi dan sains tanpa meninggalkan karakter keislaman.

"Bukan berarti tidak mungkin, tapi kecenderungan pesantren adalah memperkuat dasar-dasar keislaman. Sementara untuk melahirkan generasi yang kompeten di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) dibutuhkan visi yang kuat dan konsistensi dalam kurikulum," kata Didin.

Sebagai contoh, Didin menyebut MAN Insan Cendekia Serpong di Tangerang Selatan sebagai model sekolah Islam modern yang berhasil memadukan nilai religius dengan penguasaan sains dan teknologi. Para siswanya memiliki akidah yang kuat dan taat beragama, meski tidak semuanya mampu membaca teks Arab sefasih alumni pesantren. "Tapi mereka siap menghadapi tantangan dunia modern karena dibekali kompetensi sains dan teknologi yang kuat," tuturnya.

Menurut Didin, tujuan utama sekolah Islam atau madrasah semacam itu bukan hanya melahirkan lulusan yang fasih secara keagamaan, tetapi membentuk Muslim yang taat, berakhlak, dan siap berkiprah di dunia sains serta teknologi.

Teknologi sebagai Wasilah, Akhlak sebagai Ruh
Dalam pandangan Ahmad Zubaidi, nilai utama yang harus dijaga dalam pendidikan Islam adalah akhlak. Menurutnya, teknologi hanyalah alat bantu, sementara ruh sejati dari pendidikan tetap terletak pada guru dan nilai-nilai moral yang ditanamkannya kepada murid.

"Nilai yang perlu dijaga pertama adalah akhlak. Nonsens rasanya kalau pendidikan tidak mampu mengubah perilaku peserta didik. Teknologi itu hanya alat bantu. Ruh utama yang menggerakkan perubahan tetap ada pada guru," ungkapnya.

Ia menekankan pentingnya peran manusia dalam proses pendidikan, sebab teknologi tidak bisa menggantikan kehangatan dan keteladanan yang diberikan seorang guru. "Saya sering bilang, saya tidak bisa bersalaman dengan teknologi atau dengan AI. Tapi kita bisa bersalaman dengan guru. Dalam banyak hadis disebutkan, barang siapa bersalaman dengan guru, dosa-dosanya diampuni Allah. Jadi, nilai sopan santun itu tidak boleh hilang. Kalau akhlak ditinggalkan, pendidikan Islam akan kehilangan ruhnya,” tegas Zubaidi.

Lebih jauh, ia berpendapat bahwa pesantren perlu menegaskan kembali perannya sebagai pusat pembentukan karakter yang berkualitas. Pasalnya, transformasi digital bicara soal kemampuan memanfaatkan teknologi untuk tujuan yang bernilai dan bermoral. Buatnya, inovasi digital di pesantren jangan berhenti pada aspek teknis. Santri perlu diajarkan bagaimana menggunakan teknologi untuk berdakwah, misalnya membuat konten dakwah digital, podcast kitab kuning, atau aplikasi pendidikan berbasis nilai pesantren. 

"Dengan begitu, mereka bukan hanya digital native, tapi juga digital wise menguasai teknologi sekaligus berakhlak,” jelasnya.

Pandangan senada disampaikan oleh Jejen Mustofa. Ia menilai, kunci utama kemajuan pesantren terletak pada kepemimpinan para kiai yang adaptif terhadap perubahan zaman.

"Peran kiai sangat sentral. Kiai yang sadar pentingnya melahirkan generasi yang melek teknologi dan kecerdasan buatan (AI) akan menyiapkan kurikulum pesantren berbasis Al-Qur’an dan sains-teknologi," terang Jejen.

Ia menambahkan, pola pengajaran di pesantren juga telah banyak berubah. Jika dulu kitab kuning diajarkan melalui metode sorogan dan bandongan di ruang terbuka, kini pengajarannya sudah terintegrasi dalam kurikulum sekolah atau madrasah dengan pendekatan yang lebih interaktif.

"Metode belajar sekarang tidak lagi satu arah. Ada diskusi antara santri, ustaz, dan kiai. Pandangan para pengasuh pesantren juga semakin terbuka terhadap ilmu pengetahuan umum dan sains. Tidak ada lagi pandangan dikotomis antara ilmu agama dan ilmu sains," tuturnya.

Dengan semangat keterbukaan dan inovasi ini, pesantren diharapkan mampu melahirkan generasi Muslim yang cerdas, berakhlak, dan bijak dalam menggunakan teknologi.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar