c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

20 Mei 2022

17:35 WIB

Angklung Gubrag, Seni Tradisional Pembawa Berkah

Kesenian Angklung Gubrag yang tetap bertahan sampai hari ini ternyata punya cerita menariknya di masa lampau.

Penulis: Gema Bayu Samudra

Editor: Satrio Wicaksono

Angklung Gubrag, Seni Tradisional Pembawa Berkah
Angklung Gubrag, Seni Tradisional Pembawa Berkah
Angklung Gubrag. kemuning-kresek.desa.id/dok

JAKARTA – Angklung merupakan alat musik tradisional asal Tanah Pasundan yang masih tetap eksis hingga hari ini. 

Tak hanya di tanah air, alat kesenian yang terbuat dari bambu ini juga tersohor hingga ke mancanegara.

Sebagai alat musik asli masyarakat Sunda, kesenian angklung pun beragam. Setiap daerah memiliki keunikan dan kekhasannya, melekat dengan kebudayaan masing-masing.

Tercatat, ada tujuh jenis angklung di Jawa Barat, yakni Angklung Baduy, Dogdog Lojor, Gubrag, Badeng, Buncis, Bungko, dan Soetigna.

Pastinya kesenian angklung mengalami pasang surut seiring berjalannya waktu. Salah satu yang masih bisa bertahan sampai sekarang adalah kesenian Angklung Gubrag.

Kesenian Angklung Gubrag punya arti tersendiri bagi masyarakat adat Kampung Budaya Sindang Barang, Bogor.

Melansir dari website kampungsindangbarang.com, Kampung Budaya Sindang Barang terletak di di Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor dengan jumlah penduduk sekitar 12 ribu orang.

Secara geografis desa ini berada di ketinggian 350-500 mdpl.

Mata pencarian masyarakat didominasi sebagai pengrajin sandal sepatu dan petani. Sebagian besar masyarakatnya menganut agama Islam dan memiliki sistem kekeluargaan yang sangat tinggi pada kehidupan sehari-hari.

Angklung Gubrag memiliki ciri berukuran besar jika dibanding dengan angklung-angklung pada umumnya, yakni memiliki tinggi 50 cm hingga 1 meter. Sementara itu, angklung pada umumnya memiliki tinggi 30 cm dan lebar 16 cm.

Angklung Gubrag biasanya digunakan sebagai pelengkap upacara ritual adat. Konon, di Kampung Budaya Bogor ini pernah dilanda musibah kelaparan. Hasil panen masyarakat adat selalu gagal.

Hingga suatu waktu, tetua adat mengadakan ritual yang terinspirasi dari ‘petunjuk’ yang diperolehnya. Dia melihat adanya bayangan Angklung Gubrag yang jatuh dari atas.

Dari situlah kemudian Angklung Gubrag dijadikan sebagai sebuah tradisi yang dimainkan untuk mengiring masa tanam padi.

Benar saja, hasil panen pun melimpah.  Sebelumnya, Angklung Gubrag hanya dimainkan pada saat menyimpan padi ke lumbung setelah masa panen.

Menyitat laman Kebudayaan Kemdikbud, ritual dengan menggunakan Angklung Gubrag ini sebagai perwujudan persembahan bagi dewi padi.

Adapun ritual yang menggunakan angklung ini adalah Melak Pare (menanam padi), Ngunjal Pare (mengangkut padi), dan Ngadiukeun ke Leuit (menempatkan padi lumbung).

Meski usianya sudah ratusan tahun, Angklung Gubrag masih dipercaya dari generasi ke generasi hingga kini. Kesenian ini tetap dipertahankan oleh masyarakat adat.

Namun demikian, kesenian ini tidak lagi sebatas sebuah ritual. Kini, Angklung Gubrag juga dijadikan sebagai pertunjukan pariwisata.

Biasanya, Angklung Gubrag digunakan untuk menyambut tamu atau sekadar pentas seni.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar