c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

12 November 2025

10:32 WIB

Akar Nilai Tiger Parenting Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Mental Anak

Konsep tiger parenting bisa ditarik ke ajaran filsuf Tiongkok abad ke-5, Konfusius yang menekankan pentingnya struktur keluarga hierarkis, etos kerja tinggi, jujur dan berkomitmen terhadap pendidikan.

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p id="isPasted">Akar Nilai <em>Tiger Parenting&nbsp;</em>Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Mental Anak</p>
<p id="isPasted">Akar Nilai <em>Tiger Parenting&nbsp;</em>Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Mental Anak</p>

Ilustrasi seorang anak yang sedang dinasehati oleh orang tuanya yang ketat (strict parent). Shutters tock/Hananeko_Studio.

JAKARTA - Setiap orang tua tentu ingin anaknya tumbuh menjadi pribadi yang sukses, disiplin, dan berprestasi. Demi mencapai itu, tak jarang berbagai cara ditempuh mulai dari memberi dorongan keras, mengatur jadwal belajar dengan ketat, hingga menuntut hasil sempurna.

Namun, di balik niat baik untuk membentuk anak yang tangguh, terkadang muncul tekanan yang justru membebani. Salah satu bentuk pola asuh yang lahir dari keinginan tersebut dikenal dengan istilah tiger parenting.

Melansir laman VerywellMind, istilah tiger parenting merujuk pada gaya pengasuhan yang sangat ketat, di mana orang tua mendorong anak untuk berprestasi secara akademis dengan segala cara. Dalam pola asuh ini, orang tua cenderung mengatur secara detail kehidupan anak, mulai dari jadwal belajar hingga kegiatan sehari-hari, agar sesuai dengan standar tinggi yang mereka tetapkan.

Anak hampir tidak memiliki ruang untuk bernegosiasi, karena setiap protes sering kali dijawab dengan kalimat singkat, 'karena Mama atau Papa bilang begitu'. Sosialisasi dengan teman dibatasi demi fokus belajar atau mengikuti kegiatan ekstrakurikuler bergengsi.

Jika anak melakukan kesalahan, orang tua bisa menggunakan ancaman emosional, hukuman fisik, bahkan meremehkan pendapat anak. Privasi dan kemandirian sering tidak dihargai karena orang tua meyakini bahwa mereka selalu tahu yang terbaik bagi anaknya.

Konsep tiger parenting sendiri berakar dari ajaran filsuf Tiongkok abad ke-5, Konfusius. Filsafat Konfusius menekankan pentingnya struktur keluarga yang hierarkis, loyalitas, etos kerja tinggi, kejujuran, serta komitmen terhadap pendidikan.

Meskipun ajarannya telah berusia lebih dari dua ribu tahun, nilai-nilai tersebut masih kuat memengaruhi pandangan masyarakat Asia Timur terhadap pendidikan. Bagi banyak keluarga Asia, pendidikan dipandang sebagai jalan utama menuju kesuksesan sosial dan ekonomi, simbol status sekaligus kebanggaan keluarga.

Pola asuh tiger parenting menempatkan seluruh kendali di tangan orang tua, sementara anak diminta untuk patuh tanpa banyak bertanya. Hubungan yang terbentuk bersifat satu arah, di mana tuntutan untuk menghormati orang tua begitu besar, tetapi kesempatan untuk didengar sangat kecil.

Dalam praktiknya, orang tua yang menerapkan pola ini sering kali terlalu ketat. Mereka mendorong anak untuk bekerja keras tanpa kompromi, bahkan melarang kegiatan yang dianggap mengganggu seperti pesta ulang tahun, menginap di rumah teman, atau bersantai.

Hubungan pertemanan dan romantis pun dianggap ancaman bagi prestasi. Selain itu, orang tua tipe ini menaruh ekspektasi yang sangat tinggi.

Anak diharapkan selalu menjadi yang terbaik dan kegagalan dianggap sebagai aib yang mempermalukan keluarga. Tekanan untuk memenuhi harapan ini membuat anak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar, berlatih, dan mengejar prestasi tanpa jeda.

Dalam lingkungan seperti ini, pendekatan yang digunakan lebih banyak berbasis ketakutan. Orang tua menjadi otoritas mutlak yang tidak boleh dibantah.

Tidak ada orang tua yang langsung tahu bagaimana menjadi pengasuh yang ideal. Banyak keputusan dalam mengasuh anak dibuat berdasarkan pengalaman masa kecil, kebiasaan keluarga, atau nasihat dari orang lain.

Namun, penting bagi setiap orang tua untuk menyadari bahwa kedisiplinan tanpa empati dapat merusak kepercayaan dan kesehatan mental anak. Pendekatan yang terlalu keras mungkin memang menumbuhkan anak yang berprestasi secara akademis, tetapi sering kali mengorbankan rasa bahagia dan kedekatan emosional di dalam keluarga.

Baca juga: Beda Zaman Beda Pola Asuh, Gaya Parenting Ala Gen X Dan Milenial

Cara Keluar Dari Tiger Parenting

Daripada fokus pada kontrol dan hasil, orang tua perlu membangun komunikasi yang hangat dan saling percaya. Mendengarkan anak sebelum menghukum, memahami alasan di balik perilaku mereka, dan memberi ruang bagi mereka untuk mengekspresikan perasaan akan membantu membentuk hubungan yang sehat.

Luangkan waktu untuk benar-benar mengenal anak, bukan hanya melalui prestasi, tetapi juga lewat percakapan sehari-hari. Dorong mereka untuk menyampaikan pendapat, karena ketika ide dan suara mereka dihargai, rasa percaya diri dan kemampuan berpikir mandiri pun tumbuh.

Selain itu, menghormati privasi anak juga penting untuk membangun rasa percaya. Selama tidak ada ancaman terhadap keselamatan mereka, hindari mengintervensi secara berlebihan atau memata-matai kehidupan pribadi mereka.

Anak perlu merasa memiliki ruang aman untuk bereksplorasi dan mengenal diri sendiri. Orang tua juga perlu memberi kesempatan bagi anak untuk membuat pilihan sendiri.

Meskipun mereka masih tinggal di bawah satu atap dan bergantung secara finansial, anak perlu belajar membuat keputusan agar kelak mampu menghadapi kehidupan tanpa ketergantungan berlebihan. Di sisi lain, jangan ragu memberi apresiasi ketika anak berusaha dan berbuat baik.

Anak perlu tahu bahwa usahanya dihargai, bukan hanya hasil akhirnya. Pujian yang tulus dapat memperkuat rasa percaya diri mereka dan memberi semangat untuk terus berkembang.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar