03 April 2024
08:23 WIB
Penulis: Arief Tirtana
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA - Fenomena alam Gerhana Matahari Total (GMT) akan terjadi pada tanggal 8 April 2024 mendatang. Seperti diketahui, fenomena ini akan membuat langit menjadi gelap, sebab Mataharitertutupi oleh Bulan.
Sayangnya, fenomena Gerhana Matahari Total ini tidak bisa disaksikan secara langsung di Indonesia. Sebab prosesnya melalui tahapan gerhana matahari sebagian baru dimulai pukul 15:42 UT atau tepat 22:42 WIB (waktu Indonesia barat). Dan mengalami Puncak Gerhana Matahari Total pada pukul 18:17 UT (pukul 01:17 WIB tanggal 9 April).
Pada Gerhana Matahari Total kali ini, diprediksi akan menghadirkan ledakan-ledakan di Matahari atau solar flare. Kejadian ini merupakan sesuatu yang jarang, sebab tidak ada kaitan langsung antara ledakan di matahari dengan Gerhana Matahari Total. Tidak semua Gerhana Matahari Total juga akan diikuti oleh solar flare.
Fenomena solar flare yang bisa disaksikan dari bagian sisi tepi Matahari yang tak terhalangi sepenuhnya oleh Bulan. Ini juga menjadi penting, sebab akan berpengaruh buat magnetosfer Bumi secara keseluruhan. Karena itulah BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) juga akan melakukan pengamatan secara kontinu (realtime) terhadap pengaruh dari fenomena alam tersebut.
BMKG akan memantau aktivitas Matahari ini secara realtime dengan peralatan-peralatan magnet bumi yang terpasang di 21 lokasi di Tanah Air. Analisa akan dilakukan setelah kejadian yang akan terekam di peralatan-peralatan kemagnetan bumi di Indonesia.
Dampak Solar Flare
Solar Flare disebabkan oleh adanya aktivitas internal di Matahari itu sendiri. Hal ini terjadi karena tingkat aktivitas Matahari yang mengalami pasang surut selama siklus 11 tahunan. Di mana puncaknya akan terjadi pada tahun 2024 ini.
Para ahli atmosfer di seluruh dunia belum mengetahui secara pasti aktivitas apa yang menyebabkan solar flare, tapi diyakini kemungkinan akibat adanya keterlibatan gaya magnetik atau reaksi nuklir di dalam matahari.
Pengaruh Solar Flare pada Bumi akan sangat tergantung besar kekuatan ledakannya. Dampaknya terutama akan berpengaruh ke kemagnetan bumi, yaitu berupa badai magnet bumi (Geomagnetic Storm).
Hal ini terjadi karena ledakan di permukaan Matahari (korona) tersebut melontarkan plasma besar yang berisikan partikel bermuatan (angin matahari) serta medan magnet berkecepatan tinggi, yang menjalar hingga ke magnetosfer Bumi.
Peristiwa lontaran massa korona itu sering disebut sebagai Coronal Mass Ejection (CME). Ketika CME menghantam medan magnet di sekitar bumi (magnetosfer), lontaran partikel bermuatan tersebut dibelokkan oleh lapisan magnetosfer bumi ke arah garis kutub utara dan kutub selatan.
Magnetosfer Bumi sendiri adalah lapisan perisai bumi yang melindungi bumi dari pengaruh radiasi partikel bermuatan berkecepatan tinggi yang dilontarkan dari matahari. Lapisan ini berbentuk seperti lingkaran dengan titik terkuatnya berada pada daerah lintang rendah (dekat equator bumi).
Hal ini menyebabkan dampak dari gangguan badai magnet bumi paling besar dirasakan pada daerah lintang tinggi, sedangkan daerah lintang rendah seperti Indonesia akan relatif aman. Intensitas gangguan magnet bumi ini diukur di bumi menggunakan berbagai macam Indeks magnet bumi, seperti Indeks K, Indeks Dst, Indeks AE, Indeks aa, Indeks Ap, dan lain sebagainya.
Ledakan yang terjadi bersamaan dengan Gerhana Matahari Total, membuat solar flare akan lebih jelas terlihat dari Bumi. Sayangnya seperti Gerhana itu sendiri, tak bisa terlihat dari wilayah Indonesia. Melainkan paling ideal terjadi di wilayah Amerika Utara, seperti Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada.
Mengenai fenomena Gerhana Matahari Total sendiri, diprediksi baru akan ada lagi yang bisa disaksikan di wilayah Indonesia pada tanggal 23 Agustus 2044 mendatang. Setelah terakhir kali terjadi pada tanggal 16 Maret 2016.
Powered by Froala Editor