09 Juli 2025
08:00 WIB
Ablasi Jantung, Prosedur Atasi Aritmia Minim Risiko Komplikasi
Saat mengalami aritmia atau gangguan pada irama detak jantung, perlu segera mendapat penanganan tepat. Salah satunya ablasi, untuk mengatasi detak jantung yang terlalu cepat.
Penulis: Gemma Fitri Purbaya
Ilustrasi seseorang mengalami gejala gangguan pada jantung. Shutterstock/Mangkorn Danggura
JAKARTA - Aritmia adalah gangguan pada irama detak jantung, baik jantung berdetak terlalu cepat, lambat, dan tidak teratur. Kondisi ini menyebabkan gangguan pada pendistribusian darah yang mengandung oksigen dan nutrisi ke seluruh tubuh.
Apabila aritmia tidak ditangani dengan tepat, kondisi ini bisa membahayakan nyawa penderitanya. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi aritmia dengan detak jantung yang terlalu cepat, salah satunya adalah dengan ablasi jantung.
"Ablasi jantung adalah salah satu prosedur minimal invasif untuk menangani aritmia. Metode ini bertujuan untuk menghilangkan jaringan jantung abnormal yang menyebabkan aritmia dengan energi panas, dingin, dan gelombang listrik," ungkap spesialis jantung dan pembuluh darah RS Pondok Indah, dr. Dony Yugo Hermanto dalam keterangan tertulisnya.
Ablasi jantung akan membuat sinyal atau impuls listrik jantung yang abnormal menjadi normal, dan memungkinkan detak jantung kembali normal. Pasalnya, irama yang terlalu cepat disebabkan oleh jaringan sel otot jantung yang abnormal.
Keberhasilan ablasi jantung tergantung pada jenis aritmia. Untuk takikardia supraventrikular, tingkat keberhasilan mencapai 90-95%. Pada fibrilasi atrium, keberhasilannya sekitar 70-80% setelah prosedur pertama, dan dapat meningkat setelah tindakan lanjutan.
"Ablasi jantung merupakan prosedur yang aman dan memiliki risiko komplikasi rendah, terutama jika dilakukan oleh dokter berpengalaman. Maka itu, sebelum memutuskan menjalani ablasi jantung, sebaiknya konsultasikan dengan dokter spesialis jantung terlebih dahulu," imbuh dr. Dony.
Perlu diketahui, ablasi jantung tidak selalu diperlukan untuk semua kasus aritmia. Gangguan irama jantung ringan umumnya masih bisa ditangani dengan pemberian obat-obatan dan perubahan gaya hidup.
Prosedur ablasi jantung biasanya direkomendasikan jika aritmia tidak dapat dikontrol dengan obat-obatan atau menyebabkan gejala serius, seperti sesak napas, pusing, atau risiko komplikasi, seperti stroke.
Karena termasuk prosedur minimal invasif, pasien pun diperbolehkan pulang paling cepat 1 hari setelah prosedur dilakukan. Biasanya dokter akan meresepkan obat-obatan untuk mencegah risiko perdarahan dan memberikan beberapa saran aktivitas fisik yang tidak boleh dilakukan pasca ablasi jantung.
"Semisal tidak boleh melakukan olahraga berintensitas berat 1 minggu setelah prosedur ablasi jantung, tidak mengemudikan kendaraan selama beberapa hari, menghindari mengangkat beban berat di atas 5kg, dan tidak melakukan kegiatan berintensitas berat seperti berkebun dan membereskan rumah," kata dr. Dony.
Kendati begitu, bukan berarti tindakan ini tidak memiliki efek samping walaupun relatif aman. Beberapa risiko komplikasi bisa terjadi, seperti perdarahan, infeksi, kerusakan pembuluh darah, kerusakan katup jantung, terbentuknya sumbatan darah, kerusakan pada ginjal, stroke, serangan jantung, hingga perdarahan di rongga jantung akibat tindakan ablasi jantung. Namun, efek samping tindakan masih sangat jarang.