13 Februari 2021
10:43 WIB
JAKARTA - Kekerasan dalam hubungan pacaran kerap terjadi di kalangan anak muda. Sering kali korban tidak sadar sedang berada di tengah hubungan toxic dan merasa kesulitan terlepas dari jeratan pelaku. Sementara pelaku berdalih kekerasan dan manipulasinya bagian dari cinta kasih.
Kekerasan, terutama kekerasan seksual dalam hubungan pacaran biasanya berlangsung senyap, nyaris tidak terlihat dari luar. Karenanya, jarang yang bisa mengungkap kasus kekerasan seksual jika tidak diberi tahu oleh salah-satu atau kedua pihak yang berpasangan.
Psikolog dari Yayasan Pulih, Ika Putri Dewi mengatakan, banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dalam berpacaran, namun enggan mempermasalahkannya karena merasa tidak ingin mengecewakan pasangan. Meskipun perempuan tidak nyaman dengan perilaku seksual pasangannya, ia tak mampu menolaknya.
“Banyak perempuan ketika merasa tidak menginginkan sesuatu, namun tidak mungkin menyampaikannya kepada pasangan karena menganggap sudah semestinya memenuhi keinginan pasangan, sebagai bukti rasa sayang,” ungkap Ika dalam sesi webinar bertajuk “Manipulasi Dalam Relasi" yang digelar beberapa waktu lalu.
Tidak semua orang yang berada di hubungan yang tidak sehat bisa mengungkapkan kekerasan itu. Lebih banyak yang memilih diam, menerima perlakuan kasar dengan alasan mencintai pasangannya. Yang lebih parah, banyak pula yang tak bisa menyadari sejauh mana ia menjadi korban kekerasan dari pasangannya.
Menurut Ika, hal itu terjadi lantaran pelaku membentuk manipulasi dalam relasi. Pemikiran klasik bahwa laki-laki adalah pemimpin sehingga perempuan harus tunduk dan patuh turut berkontribusi. Selain itu, sering pula kekerasan dibiarkan terjadi karena ketidakmampuan menilai perilaku pasangan.
Dalam melakukan manipulasi, biasanya si pelaku menanamkan keraguan-keraguan kepada pasangannya sendiri. Keraguan itu dibentuk lewat siklus konflik – rekonsiliasi berulang, yang membuat si korban sulit menilai pasangannya.
Misalnya, setelah melakukan kekerasan seksual, pelaku akan meminta maaf, kemudian menebar lagi perlakuan atau ungkapan-ungkapan kasih sayang. Seolah ingin mengingatkan si korban bahwa dirinya, bagaimanapun kelakuannya, tetap mencintai korban.
Dalam kasus lain, si pelaku akan menjelma tokoh yang sangat dramatis, mengungkapkan hal-hal yang bisa memancing simpati pasangannya. Sehingga, korban merasa tak tega untuk meninggalkan pelaku.
“Secara umum korban sulit keluar karena itu keruwetan pikirannya, persepsinya. Ia tidak bisa jernih memutuskan ini manipulatif atau tidak. Yang membuat sulit adalah kompleksitas relasi itu. Cinta, harapan, lalu teror, itu berputar terus. Korban jadi punya harapan kan ‘oh ini pelaku bisa balik lagi’. Itu yang buat korban tidak mudah keluar,” bebernya.
Ika mengingatkan, jika hal itu terjadi terus-menerus, akan berdampak serius terhadap psikologis korban. Korban bisa mengalami trauma bonding, dimana korban menjadi sangat terikat secara emosional dan tidak bisa lepas dari orang-orang yang memberinya rasa trauma. Jika tahapnya sudah sampai di sini, maka si korban membutuhkan bantuan psikolog profesional untuk bisa pulih.
Cerita Korban Manipulasi
Aktris sekaligus aktivis perempuan, Hannah Al Rashid bercerita tentang pengalamannya menjalani relasi yang penuh manipulasi, serba posesif, dan toxic. Ia bercerita, saat itu pasangannya yang manipulatif sulit dipahami sehingga sulit untuk dinilai.
Padahal awalnya laki-laki yang dekat dengan Hannah adalah seorang yang sangat baik, sopan, dan penuh humor. Namun, ketika sudah berpacaran, laki-laki tersebut berubah 180 derajat. Ia berubah menjadi laki-laki yang posesif, keras dan kasar.
Laki-laki itu melarang Hannah berteman, mencaci maki Hannah dan teman-temannya. Ia selalu menginginkan hubungan yang sunyi, jauh dari perhatian banyak orang. Dengan begitu, ia bisa mengeluarkan segala kecenderungan toxic-nya kepada sang pasangan.
“Aku bingung. Kalau ada orang lain hadir dia happy. Aku berpikir, kok dia ini kompleks banget. Aku berpikir apakah ini taktik dia supaya dia jadi pusat aku? Kalau aku cerita ke teman-teman dia, pasti mereka tidak percaya, karena di depan teman-temannya itu dia kelihatan asyik banget orangnya’” tutur Hannah.
Hannah mengaku tertekan dengan sikap pasangannya itu. Namun, ia tidak bisa lepas dari si pasangannya karena berbagai hal. Salah-satunya karena Hannah bingung sendiri harus menilai pasangan bagaimana.
Seperti yang digambarkan Ika sebelumnya, si pelaku membangun siklus konflik – rekonsiliasi untuk menahan si pasangannya. Siklus yang begitu membuat korban bingung, terjebak antara perasaan tertekan, sayang, dan harapan terhadap si pelaku.
“Setiap ada insiden selalu ada rekonsiliasi, selalu ada janji berubah,” kata Hanna.
Hannah mengaku berhasil keluar dari jerat relasi manipulatif tersebut setelah usaha yang sangat keras. Ia kemudian menyadari tidak mudah keluar dari kungkungan relasi manipulatif, apalagi berjuang sendiri tanpa bantuan teman atau orang-orang terdekat.
“Dan akhirnya aku bisa keluar karena isolasi itu sendiri, aku jauh dari teman-teman, merasa tidak punya support system. Memang susah keluar dari situasi itu,” ucapnya.
Maka itu, Hannah mengingatkan agar orang-orang yang dalam hubungan pacaran bisa lebih awas dengan potensi manipulasi berikut kekerasan yang lahir di dalam hubungan tersebut. Sebagai perempuan muda, katanya, penting untuk mengetahui tentang manipulasi dalam relasi, agar tidak sampai menjadi korban. (Andesta Herli)