10 Juli 2018
09:23 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan banyak kekayaan alam yang melimpah. Bukan hanya yang terserak di atas bumi, di perut bumi nusantara, aneka barang tambang dan mineral yang bernilai pun banyak terkandung di dalamnya.
Sayangnya, anugerah ini sejak dulu kala, justru kerap menimbulkan masalah. Sudah tak terhitung seringnya invasi dalam beragam bentuk, dilakukan pihak asing yang tertarik untuk menguasai kekayaan alam ini. Upaya untuk memanfaatkan hasil alam secara mandiri demi kemakmuran rakyat pun acap kali terganjal banyak kepentingan. Sampai saat ini.
Sejatinya, putra-putri Indonesia sejak lama menyadari hal ini. Sejumlah upaya, meski tak mudah, sudah dilakukan untuk menguasai, mengelola dan memanfaatkan secara mandiri kekayaan alam yang dimiliki.
Melongok jauh ke belakang, dari beberapa sosok yang menyumbangkan pikiran dan tenaganya untuk kepentingan bersama dalam mengelola aset dan kekayaan bangsa, tersebutlah nama Teuku Muhammad Hasan. Gubernur Wilayah Sumatera pertama di era Kemerdekaan RI yang berasal dari Aceh ini, selain berkontribusi dalam berbagai peristiwa besar yang ada di masa lalu, juga berperan penting dalam aksi nasionalisasi perusahaan minyak asing,
Lahir di Sigli, Aceh dengan nama Teuku Sarong pada tanggal 4 April 1906, Teuku Muhammad Hasan adalah putra dari Teuku Bintara Pineung Ibrahim dan Tjut Manyak. Ayahnya merupakan seorang Ulee Balang (jabatan lokal bagi kaum bangsawan) di Pidie.
Hasan sempat bersekolah di Sekolah Rakyat (Volksschool) di Lampoeh Saka dari tahun 1914 sampai 1917. Di tahun 1924, ia melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah Europee Lagere School (ELS), kemudian berlanjut ke Koningen Wilhelmina School (KWS) yang terletak di Batavia. Setelah itu, ia mendaftarkan diri ke Sekolah Tinggi Hukum atau Rechtschoogeschool.
Seusai menyelesaikan studi di Sekolah Tinggi Hukum, Hasan bertekad untuk melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda. Di usianya yang memasuki 25 tahun, Hasan diterima di Universitas Leiden pada tahun 1931. Putra Aceh ini berhasil menjadi mahasiswa Fakultas Hukum di salah satu perguruan tinggi yang ada di negeri Kincir Angin tersebut.
Selama berkuliah di Belanda, Hasan aktif bergabung dengan Perhimpunan Indonesia yang beranggotakan Muhammad Hatta, Ali Sastroamidjojo dan banyak tokoh lainnya. Studinya selesai di tahun 1933 dengan mendapat gelar Meester in de Rechten (Master of Laws).
Setelah kurang lebih 2 tahun menimba ilmu di negeri Belanda, Hasan kembali ke Tanah Air dengan menumpang kapal laut. Naas, setibanya di pelabuhan Ulee Lheue, ia harus berurusan dengan aparat kolonial.
Alasannya karena Hasan membawa banyak buku dari Belanda yang dianggap membahayakan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di Aceh. Dengan terpaksa, Hasan merelakan buku-bukunya untuk disita oleh aparat.
Dunia Pendidikan
Setelah mengalami peristiwa di pelabuhan yang mengecewakannya, Hasan tidak berputus asa. Ia bergabung dengan Muhammadiyah guna memperkuat sektor pendidikan dan agama bagi masyarakat Aceh.
Dari kerja kerasnya, Hasan berkontribusi dalam membangun beberapa cabang Muhammadiyah di Aceh, termasuk sayap organisasinya. Mulai dari lembaga pendidikan, Aisyiyah bagi kaum perempuan dan Hizbul Wathan bagi anak-anak muda.
Selain itu, Hasan juga tergabung dalam Perkumpulan Usaha Sama Akan Kemajuan Anak (PUSAKA) sebagai komisaris pendidikan. Organisasi ini bertujuan untuk membangun sekolah rendah berbahasa Belanda seperti Hollandsch-Inlandshe School (HIS).
Tidak berhenti disitu, Hasan juga mendirikan Perguruan Taman Siswa di Kutaraja pada tanggal 11 Juli 1937. Sebelumnya, Hasan telah menjalin komunikasi dengan Ki Hadjar Dewantara dan segera mengutus 3 orang ke Yogyakarta untuk menemuinya untuk memperluas jaringan lembaga pendidikan tersebut.
Berdasarkan permohonan tersebut, Majelis Luhur Taman Siswa mengirim tiga orang guru ke Aceh, yaitu Ki Soewondo Kartoprojo beserta istrinya yang juga sebagai guru dan Soetikno Padmosoemarto. Dalam waktu yang relatif singkat, Hasan dan pengurus Taman Siswa di Kutaraja berhasil membuka 4 sekolah Taman Siswa di Kutaraja, yaitu sebuah Taman Anak, Taman Muda, Taman Antara dan Taman Dewasa.
Berkat pengalaman di bidang pendidikan tersebut, Hasan memutuskan pergi ke Batavia dan bekerja sebagai pegawai di Afdeling B, Departemen Van Van Onderwijsen Eiredeienst (Departemen Pendidikan). Selain itu, ia juga pernah menjadi pegawai di kantor Voor Bestuurshervarming Buintengewesten.
Kemudian pada tahun 1938, Hassan kembali lagi ke Medan untuk bekerja pada kantor Gubernur Sumatera sampai tahun 1942. Pada era penjajahan Jepang ini, yakni antara tahun 1942 sampai 1945, Hasan tetap berada di Medan dan bekerja sebagai Ketua Koperasi Ladang Pegawai Negeri di Medan, kemudian menjadi Penasehat dan Pengawas Koperasi Pegawai Negeri di Medan dan Pemimpin Kantor Tinzukyoku (Kantor permohonan kepada Gunsaibu) di Medan.
Ketika Jepang hendak angkat kaki dari Aceh tahun 1945, Hasan adalah sedikit dari tokoh-tokoh Aceh yang memiliki kesadaran kebangsaan dan bersedia bergabung dengan para nasionalis di Jakarta. Hasan menjadi salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno pada tanggal 7 Agustus 1945
Sebagai bagian dari PPKI, Hasan turut andil memutuskan berbagai jalan keluar dari masalah yang sedang dihadapi oleh Indonesia di era awal kemerdekaan. Selain itu, ia juga tergabung dalam perumusan Pembukaan UUD 1945.
Pada tanggal 22 Agustus 1945, Presiden Soekarno menunjuk TM Hasan sebagai Gubernur Sumatera. Hasan mengemban jabatan ini sampai tahun 1948. Ketika Indonesia mengalami kekacauan akibat Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948 dan sejumlah tokoh seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir ditahan oleh Belanda, Hasan bersama Syafruddin Prawiranegara dan tokoh-tokoh lain yang ada di Sumatera segera mengatasi kekosongan kekuasaan.
Upaya ini kemudian berwujud sebagai Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera Barat. PDRI menjadi pembuktian kepada dunia Internasional bahwa Indonesia masih berdiri sebagai negara. Hasan bertindak sebagai Wakil Ketua PDRI, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.

Pembukaan UUD 1945
Ada satu hal khusus yang patut dikenang dari sosok TM Hasan dalam usaha menyusun konstitusi negara. Ia merupakan salah seorang tokoh yang menjadi perancang Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang dibahas sehari setelah Kemerdekaan Indonesia. Bekal master hukum tata negara (S-2) dari Leiden University lah yang membuatnya bisa menjadi sosok penting dalam penyusunan konstitusi.
Untuk diketahui, TM Hasan ternyata juga merupakan satu-satunya saksi dan pelaku sejarah yang menyimpan naskah asli Pembukaan UUD 1945, yang dibahas dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945. Kini, naskah asli Pembukaan UUD 1945 tersebut telah disimpan di Gedung Arsip Nasional di Jakarta setelah diserahkan kepada Presiden Soeharto pada 24 Maret 1987.
Selain perancang, kata Muhammad TWH, TM Hasan merupakan sosok yang sangat berperan dalam mengatasi ketegangan yang terjadi antartokoh nasional. Ketika itu ketegangan muncul mengenai Pasal 29 ayat (1) Pembukaan UUD 1945 yang dikenal dengan Piagam Jakarta.
Ketika itu, salah seorang peserta rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yakni Ki Bagus Hadikusumo bersikukuh mempertahankan kalimat “Kewajiban Melaksanakan Syariat Islam Bagi Pemeluknya”. Namun peserta rapat yang nonmuslim dan nasionalis, menginginkan kalimat tersebut diubah untuk menciptakan keberagaman dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut.
Wakil Presiden Pertama RI Mohammad Hatta yang tidak ingin ketegangan itu berakhir kontraproduktif menemui dan memintanya untuk mendiskusikan keinginan peserta rapat kepada Ki Bagus Hadikusumo. Ia pun berhasil meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo untuk mengubah prinsipnya sehingga kalimat dalam Pembukaan UUD 1945 diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Setelah penyerahan kedaulatan secara resmi oleh Belanda pada tahun 1950, Hasan tidak terlalu aktif dalam kabinet. Ia memilih untuk aktif di parlemen sebagai Ketua Komisi Perdagangan dan Industri di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).
Nasionalisasi Perusahaan Minyak
Pada tahun 1951, T. M Hasan mengadakan suatu penelitian yang akhirnya menyimpulkan dua hal penting. Pertama, terdapat alasan kuat bahwa jika dilakukan nasionalisasi, hasil minyak Sumatera Utara bisa dipakai sebagai alat pembayaran.
Kedua, Indonesia tidak memperoleh bagian yang wajar dari perusahaan minyak asing berdasarkan Let Alone Agreement dan sistem pembayaran pajak yang berlaku. Hasil penelitiannya tersebutlah yang kemudian diusulkan dalam sebuah mosi yang didukung oleh kabinet dan diterima secara aklamasi pada tanggal 2 Agustus 1951.
Berdasarkan keterangan yang terdapat di buku Mineral dan Energi Kekayaan Bangsa: Sejarah Pertambangan dan Energi Indonesia, pada bulan Juni tahun 1951, Seksi A Perekonomian DPR mengadakan sidang yang membicarakan perekonomian dan pertambangan.
Sidang itu juga membahas usul Mosi kepada Pemerintah tentang pembentukan sebuah Panitia Negara Urusan Pertambangan yang bertugas mempelajari masalah yang berkaitan dengan pertambangan. Usul Mosi tersebut digagas oleh TM Hasan dan kawan-kawan dan disetujui oleh seksi A untuk diajukan kepada DPR.
Usul mosi memuat dua hal. Pertama, mendesak Pemerintah supaya dalam waktu sebulan membentuk satu Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP). Tugasnya antara lain secepat mungkin menyelediki soal-soal tambang minyak, tambang timah, tambang batubara, tambang emas/perak, dan lain-lain seperti maksud di atas.
Kemudian, mempersiapkan rencana undang-undang Pertambangan Indonesia, yang sesuai dengan keadaan dewasa ini. Selain itu, memberi pertimbangan kepada Pemerintah tentang sikap Pemerintah terhadap kedudukan (status) Tambang Minyak Sumatera Utara dan Cepu khususnya, dan tambang-tambang minyak lain pada umumnya.
Hal kedua dalam mosi tersebut adalah mendesak Pemerintah supaya menunda segala pemberian izin konsesi, eksploitasi dan memperpanjang izin-izin yang sudah habis waktunya, selama menunggu hasil pekerjaan KNUP.
Mosi TM Hasan pada dasarnya menghendaki agar Mijnwet diganti dengan undang-undang yang baru, yang sesuai dengan isi UUDS. Pada tanggal 26 Juni 1951, Hasan dan dua belas anggota seksi A mengajukan mosi kedua kepada DPRS. Mosi itu berisi agar Pemerintah membentuk PNUP.
Dengan Keppres RI No.181 tanggal 13 September 1951, ditetapkan sembilan anggota PNUP. Diantaranya adalah Mohammad Roem sebagai ketua dan TM Hasan sebagai wakil ketua.
Panitia Negara Urusan Pertambangan bertugas antara lain, memberikan saran dan pertimbangan mengenai perubahan penerimaan pajak (tax arrangements). Lalu, Mempersiapkan suatu rencana undang-undang pertambangan Indonesia yang sesuai dengan keadaan alam kemerdekaan berdasarkan ekonomi nasional.
Selanjutnya, memberikan pertimbangan mengenai status wilayah-wilayah bekas konsesi Shell di Sumatera Utara dan Jawa Tengah apakah dikembalikan kepada Shell.

Pada akhir tahun 1956, PNUP menyampaikan rancangannya kepada Parlemen, namun Parlemen belum sampai menyetujuinya menjadi undang-undang. Hal ini disebabkan oleh berbagai isu mengenai peran modal asing dalam pembangunan Indonesia.
Pihak Parlemen menggarisbawahi Mosi TM Hasan sebagai langkah meminta Pemerintah agar menunda pemberian izin konsesi baru dan izin eksploitasi. Parlemen juga menghendaki adanya kajian lebih mendalam mengenai masalah keinginan perusahaan minyak asing untuk memperoleh konsesi baru yang dapat memperluas wilayah usahanya.
Dengan disetujuinya Mosi TM Hasan di DPR, Pemerintah mulai merancang RUU Pertambangan yang baru untuk menggantikan Mijnwet. Sebagai langkah permulaan, Pemerintah membatalkan semua izin/hak-hak pertambangan yang telah diberikan kepada perusahaan, dan kepada mereka yang ingin meneruskan usahanya dapat mengajukan aplikasi baru.
Ia pun didapuk menjadi Ketua PNUP pada bulan Maret tahun 1956 dan menasionalisasi beberapa perusahaan minyak asing menjadi Permina (1957) dan Pertamin (1961). Keduanya merupakan cikal bakal dari Pertamina.
Kembali Ke Pendidikan
Di masa Orde Baru, Hasan menjauhkan diri dari dunia politik dan kembali ke dunia pendidikan. Hal ini dibuktikan lewat mendirikan Universitas Serambi Mekah di Aceh pada tanggal 21 Maret 1984.
Sebagai sosok yang telah berpetualang dari zaman Belanda, Jepang, Orde Lama dan Orde Baru, akhirnya TM Hasan menghembuskan napas terakhir pada 21 September 1997 dalam usia 91 tahun.
Pada tahun 1990, Universitas Sumatera Utara menganugerahkan gelar Doctor Honoris Causa untuknya. Ia juga mendapatkan sejumlah penghargaan dari pemerintah seperti Bintang RI Utama sebagai perancang Pembukaan UUD 1945 pada 7 Agustus 1995 (Keppres 072/1995) dan Bintang Mahaputera Adiprada sebagai Sekjen Departemen Dalam Negeri pada 29 Juli 1983 (Keppres 033/1983).
TM Hasan pun dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 085/TK/Tahun 2006 tertanggal 3 November 2006. Sekarang, sebuah jalan di Banda Aceh dinamakan Jalan Mr. Teuku Muhammad Hasan. (Dimas Satrio, Faisal Rachman)