c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

04 Oktober 2017

18:53 WIB

Seniman Sejati Bernama Romo Gong

Editor: Rikando Somba

Seniman Sejati Bernama Romo Gong
Seniman Sejati Bernama Romo Gong
Bagong Kussudiardja. Ist

JAKARTA- Nakal, kreatif, oposan dan selalu berbeda dengan yang lain dalam menghadirkan sesuatu merupakan tipologi karakter sosok Bagong dalam kisah pewayangan. Dia akan selalu menawar tidak menerima begitu saja. Karakter itu pula yang mungkin diharapkan RB Tjondro Sentono dan Siti Aminah, saat memberikan nama kepada putranya Bagong Kussudiardjo pada 9 Oktober 1928.

Harapan itu memang bersua kenyataan. Kelak putranya menjadi seorang seniman serba bisa yang tumbuh dan besar karena kretifitas dan inovasinya di jagad seni Indoesia. Bagong Kussudiardjo kelak menjadi maestro koreografi tari dan juga seorang pelukis yang menghasilkan karya-karya fenomenal dan inspiratif bagi generasinya dan penerusnya.

Konon terlahir dari trah ‘darah biru’, dimana sang kakek, Gusti Djuminah, adalah putra mahkota Sultan HB VII yang terpaksa menjalani hukuman pengasingan karena membelot, membuat Bagong tak bisa menikmati kehidupan mapan layaknya putra-putri keturunan sultan yang hidup berkecukupan di lingkungan Keraton Ngayogyakarto.

Sebaliknya, Bagong justru harus menjalani kerasnya perjuangan hidup sejak usia belianya. Uang yang dihasilkan ayahnya dari profesi sebagai pelukis dan penulis aksara Jawa tak cukup memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari mereka.

Sebagai anak laki-laki Bagong pun harus turun ke jalan.  Pekerjaan kasar sebagai seorang kusir andong, perajin kulit, tengkulak pasir, tukang tambal ban, tukang patri, dan penjual koran menjadi warna-warni kehidupannya, namun tempaan keras pengelaman itu pula yang membentuk karakternya sebagai sosok yang tidak pernah merasa puas.

Hidup di tengah lingkungan seniman, selain ayahnya yang seorang pelukis, Kakeknya seorang pelukis wayang kulit, Ibunya seorang pembatik, kakaknya Kuswadji Kawindrasusanto seorang penari, Bagong pun ternyata dikaruniai darah seni yang kental.

Sejak kecil ia sudah belajar tarian-tarian klasik Jawa gaya Yogyakarta dengan lakon spesialisasinya sebagai sosok kera. Anak kedua dari empat bersaudara ini belajar dari sang kakak Kuswadji Kawindrosusanto dan di Sekolah Tari Kredo Bekso Wiromo, yang dipimpin oleh Pangeran Tedjokusumo, seniman tari ternama di tahun 1946. 

Jiwa seni lainnya tak kalah bergelora memaksa Bagong mengekspresikan dirinya melalui seni lukis. Di tahun yang sama Bagong pun belajar melukis dari Hendra Gunawan dan Sudiarja. Dua seni yang bagi Bagong di kemudian hari dianggap sebagai dwitunggal yang merupakan satu kesatuan dan saling mempengaruhi.

“Lukisan-lukisan saya itu tarian saya di atas kanvas, sebaliknya tarian-tarian saya itu lukisan saya di atas panggung,” kata Bagong.

Guru dan Pencipta
Sosok Bagong Kusudiardjo adalah sosok yang senantiasa menginginkan adanya perubahan dan perkembangan. Dan itu nyata dalam perjalanan hidupnya sebagai seniman. Tradisi dipandangnya sebagai pengekang kreatifitas seseorang, terlebih bagi dirinya sebagai penari dan penata tari yang memerlukan kreatifitas agar seni itu tetap hidup dan berkembang.

Kegelisahan ini pula yang membawa Bagong menentang arus tradisi yang sudah dipakemkan oleh leluhurnya sejak beratus-ratus tahun lalu.  Ia melakukan pembaharuan tari dengan bertitik tolak tari Jawa yang diramu dengan berbagai kesenian dan budaya nusantara bahkan manca negara.

Kegelisahan yang kemudian mencipatakan sebuah karya yang dituangkan dalam suatu kreasi pembaharuan tari berjudul “laying-layang’ yang diciptakannya pada pertengahan tahun 1950. Kadar kontemplatif yang begitu kental dalam tarian-tarian Jawa klasik diurainya dengan lebih langsung menyampaikan ekspresi, namun tetap bertolak pada tari Jawa itu sendiri.

Risiko atas sikap Bagong menentang arus tradisi leluhurnya segera saja muncul ke permukaan. Tarian “Layang-layang” yang dibawakan oleh seorang penari dan diringi oleh satu penggendang justru dicaci maki. Ia dianggap merusak tari dan bahkan kembali ke tarian primitif, sama sekali tidak menawarkan sesuatu yang baru.

Namun tak sidikit pula yang memujinya keberaniannya membawa perubahan dalam seni tari, khususnya di kalangan masyarakat Yogyakarta. Pengamat tari sekaliber almarhum Djaduk Djayakusuma mengatakan tari kreasi Bagong merupakan suatu eksperimen yang sangat serius dan ia suka.

Dukungan kepada Bagong justru semakin mengalir. Bahkan seorang Ki Hadjar Dewantara yang tak lain adalah sosok yang dianggap sebagai panutan memberi dukungan kepadanya. Sebuah angina segar yang mendorongnya ktreatifitas dan inovasinya dalam dunia tari.

Sikap tak pernah puas yang sudah ditunjukkannya sejak kecil masih tetap terjaga sebagai karakter yang sangat menonjol dalam diri Bagong. Untuk memperdalam ilmunya Bagong berangkat Amerika Serikat belajar di School of The Dance Connection Colege, Jacob's Fellow Dance Festival pimpinan Martha Graham.

Wawasannya bertambah kaya, begitu pula ketetapan jiwanya semakin mantap mengembangkan diri. Meski konsep modernisme tari ia adopsi dalam karya-karya tarinya, Bagong selalu berpegang teguh menggali materi, rasa gerak dan rasa musikal dari berbagai kekayaan budaya nusantara. Perpaduan konsep modern dan materi kekayaan budaya Indonesia itulah yang kemudian melahirkan banyak koreografi tarian yang diciptakannya.

“Bagong adalah seorang perintis tari Indonesia,”ujar tokoh pembaharu tari Sardono W Kusuma memuji kejeniusan Bagong sebagai orang Jawa namun dengan sadar memanfaatkan kekayaan budaya Indonesia yang begitu besar.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX bahkan pernah menghargainya sebagai pencipta tari yang turut memperkaya tari-tarian Jawa. 

Tari Yapong karya Bagong Kussudiardja. IndonesiaKarya.com

Dalam berkarya Bagong tidak semata-mata mencari kepuasaan untuk dirinya sendiri. Kreatifitasnya justru lahir diperuntukkan bagi orang lain dan Tuhan Penciptanya. Filosofi berkesenian Bagong dilandaskan pada istilah ngadep (menghadap Tuhan, sesama, alam dan diri sendiri), manteb (mantap dalam memilih pilihan hidup), ngerti (tahu), dan karep (kemauan batin, pikir dan fisik).

Maka di tahun 1958 Bagong mendirikan Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardjo dan diikuti Padepokan Seni Bagong Kussudihardjo pada tahun 1978. Dari sinilah kelak lahir setidaknya 200 jenis tari baru dan bukti gairah Bagong yang selalu hadir dan terpelihara dalam mencipta, tak hanya kreasi seni tetapi juga menciptakan penerus-penerusnya kelak.

Rangkaian dari kisah penciptaanya itu terekam dalam berbagai pementasaanya di dalam dan luar negeri. Pada Desember 1984, Bagong memulai perjalanan lima bulan ke tujuh negara Eropa. Bersama 14 penari, ia menggelar pentas tari, seminar, workshop, pameran batik, dan demonstrasi melukis batik.

Di dalam negeri, Pada Hari Kebangkitan Nasional di Jakarta (1985) Bagong mempertunjukkan Pawai Lintasan Sejarah Indonesia, didukung 710 penari dan figuran. Dan sebulan kemudian, Bagong beserta 100 penari muncul di pesisir Parangtritis, 27 km di selatan Yogya. Pentas tari kreasinya berjudul Kita Perlu Berpaling ke Alam dan Bersujud pada-Nya.

Ia juga mentas dengan 15 penari "manggung" di Malaysia, mementaskan tari Gema Nusantara, Igel-igelan, dan Ratu Kidul. Dan pada 5 Oktober 1985 ia menampilkan Pawai Lintasan Sejarah ABRI yang melibatkan 8.000 seniman, militer, hansip, dan veteran. 

“Seni tari adalah keindahan bentuk gerak anggota-anggota badan manusia yang bergerak, berirama, dan berjiwa harmonis. Bentuk adalah pose atau sikap anggota badan, seperti: jari tangan, tangan keseluruhan, leher, kepala, badan, kaki, jari kaki, lutut, dan sebagainya yang digerakkan secara sendiri-sendiri maupun satu kesatuan anggota badan. Irama adalah ritme atau degupan serta nada yang dapat dijadikan pengiring atau illustrasi dalam melakukan gerak. Jiwa adalah roh, karakter, dan isi dari tari tersebut. Harmonis berarti keselarasan antara gerak dengan irama di dalam tari sehingga menimbulkan keindahan,” Bagong menjelaskan definisi tari.

Pelukis Kontemporer
Romo Gong, begitu ia kerap disapa oleh anak-anak didiknya di padepokan, tak hanya melahirkan ratusan tarian, tetapi juga juga ratusan lukisan. Di Padepokan Seni Bagong Kussudiharja, saat ini tersimpan setidaknya 400 karya lukis beserta sketsa yang dibuat Bagong saat masih hidup.

Konon ia termasuk perintis seni lukis batik kontemporer di Indonesia. Kemempuan lukisnya itu pun telah menghadirkan sejumlah penghargaan baik dalam dan luar negeri,

Pada 1985, ia menerima penghargaan Sri Paus Paulus VI atas fragmennya Perjalanan Yesus Kristus untuk lukisan abstraknya yang dipamerkan di Dacca, ia juga beroleh medali emas dari pemerintah Bangladesh, 1980. 

Lukisan cat minyak “Kuda Lumping karya Bagong Kussudiardja. Ist

Sepeninggalnya di tahun 2004 silam, para penerusnya di padepokan sat ini mencoba menafsir karya lukis yang dibuat Bagong menjadi sebuah gerakan tari. Lengkungan garis, warna, gerak garis yang ada di lukisan dijadikan pijakan bagi para penari untuk membuat gerakan.

Secara keseluruhan, para penari menafsir dengan tarian kontemporer dengan dominasi gerakan yang terlihat dinamis dan enerjik. Beberapa gerakan itu bahkan seperti dalam tari balet.

“Masing-masing orang tentu memiliki penafsiran yang bermacam-macam terhadap karya lukis Bagong. Kami juga memiliki penafsiran berbeda terhadap lukisan Bagong tersebut,” kata Indriarti Kussnowari, sebagaimana dikutip dari Harian Jogja.

Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo memang menyimpan banyak arsip seni, termasuk lukisan Bagong. Bahkan pada Juni 2017 lalu digelar sebuah pameran lukisan Romo Gong dengan tajuk Sirkuit Bagong Kussudiardjo  di padepokan tersebut.

Suwarno Wisetrotomo selaku kurator pameran menuliskan bahwa sepanjang 76 tahun kehadirannya di dunia, lebih dari separuh usia Bagong Kussudiardja didedikasikan kepada dunia kesenian dengan seluruh virtousitasnya, dengan kesadaran ulang-alik antara yang profan dan yang religius, yang berujung pada sikap sumeleh sebagai penyerahan diri kepada kehendak Tuhan.

Semangat, gairah, dinamika, dan modus kreatif Bagong Kussudiardja yang sangat besar membuatnya tidak bisa membendung gairah penciptaan. Setiap pagi setelah berolah raga ia melukis. Pada siang harinya ia mengajar dan latihan tari atau menerima tamu. Pada sore hari terkadang ia masih menyempatkan diri melukis lagi.

Ia memang sangat produktif. Bahkan ia meninggal dunia di tengah proses penciptaan sendratari, pertunjukan lintasan sejarah berjudul Jakarta Maju, Indonesia Maju yang akan dipentaskan Kamis malam 17 Juni 2004 ini, dalam rangka pembukaan Pekan Raya Jakarta (PRJ). Ia tak pernah berhenti mencipta bahkan hingga ajal menjemputnya. (Rafael Sebayang)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar