c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

15 November 2019

18:08 WIB

Romo Casutt SJ, Dedikasi Tinggi Untuk Pendidikan Vokasi

Romo Casutt SJ, Dedikasi Tinggi Untuk Pendidikan Vokasi
Romo Casutt SJ, Dedikasi Tinggi Untuk Pendidikan Vokasi
Romo Casutt. Ist/dok

JAKARTA – Tugas baru itu datang pada 1971, dan tak bisa ditampik Johan Balthasar Casutt, seorang imam Katolik dari tarekat Jesuit (SJ) Provinsi Indonesia. Dia diberi tugas baru oleh tarekat SJ, untuk memimpin kolese lembaga teknik St Mikael Solo yang didirikan pada 1968.

Padahal, dia tengah semangat memimpin asrama Realino, asrama hasil karya tarekat SJ di Yogyakarta. Asrama itu didirikan pada 1955 bagi mahasiswa yang menuntut ilmu di Yogyakarta. Sejak berdiri hingga akhirnya tutup pada 1991, meski buah karya tarekat SJ di Indonesia, asrama itu dihuni mahasiswa lintas agama.

Imam yang biasa disapa Romo Casutt ini menilai dirinya tak pantas memimpin Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) Solo, karena tak pernah berkecimpung dengan teknik industri. Tak pernah pula dia belajar di lembaga vokasi. Sebelum berangkat ke Indonesia sebagai tanah air keduanya, imam asal Swiss ini memang sempat berkarya di tengah kaum muda di Feldkirch. Tapi, itupun hanya mengajar agama.

Hanya saja, karena tak bisa menolak tugas, Romo Casutt pun cari cara untuk bisa berhasil memimpin lembaga pendidikan vokasi itu. Bagi imam ini, pendidikan akan tepat guna dan berhasil bagi siswa, jika dia menjalankannya dengan kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras, jujur dan inovatif.

Romo Casutt memegang teguh prinsipnya, keterampilan atau pengetahuan adalah sesuatu yang dapat dipelajari. Namun, tanpa memiliki karakter-karakter di atas, sulit rasanya memasuki dunia industri yang berkualitas

Pada awal berdirinya pada tahun 1968 itu, ATMI Solo dikelola oleh Serikat Jesus Provinsi Indonesia. Pertama kali dipimpin oleh Romo Chetelat dengan wakilnya adalah Pastor Paul Amman, SJ. Saat itu Romo Casutt masih menjabat sebagai pimpinan asrama mahasiswa Realino di Yogyakarta.

Sejak berdiri tahun 1968, lembaga pendidikan yang akhirnya mengembangkan ATMI Solo itu telah menjadi salah satu bagian penting dalam dunia usaha dan dunia industri (DUDI) di Indonesia. Bagaimana tidak, ATMI yang berubah menjadi Politeknik ATMI Surakarta ini secara konsisten mempertahankan kualitas mutu lulusan, dengan pola pengajaran, satu mesin satu mahasiswa dan fokus pada pendidikan praktik.

Romo Casutt baru mendapat jabatan sebagai Direktur ATMI Solo pada tahun 1971. Pria kelahiran Swiss tahun 1926 ini melanjutkan perjuangan Romo Chetelat yang mengadopsi sistem pendidikan teknik di Swiss. Romo Chetelat memperkuat sistem tersebut dengan merekrut teman-temannya dari Swiss yakni Werner Frick pada tahun 1969, dan Werner Kurt Ruegg pada 1970.

Asal tahu saja, sebagai sebuah negara, Swiss memang tidak memiliki wilayah yang luas, hanya 41.825 kilometer persegi atau sepertiga dari Pulau Jawa. Sebagian besar berupa pegunungan. Pada musim dingin hampir seluruh wilayah ditutupi salju.

Pendeknya, dengan sumber daya alam yang tidak melimpah, negara ini mampu menjelma menjadi negara industri maju dengan sumber daya manusia yang andal. Dengan penguasaan teknologi yang tinggi, Swiss mampu mengekspor mesin, perkakas, arloji, tekstil, bahan kimia, obat-obatan, dan lain-lain.

Masyarakat Swiss memang dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan mengubah bahan mentah menjadi mesin-mesin industri berkualitas tinggi. Hal ini dapat tercipta karena sistem pendidikan sekolah-sekolah teknik Swiss memiliki keterkaitan dengan dunia industri.

Belajar Dengan Kakak

Romo Casutt, Romo Chetelat, dan Werner Frick menjadi bagian dari anak-anak Swiss yang punya bekal sekolah dengan sistem pendidikan yang menghasilkan pekerja siap kerja. Hanya bedanya dengan dua orang lainnya, Romo Casutt tidak memiliki pendidikan dan keahlian dalam bidang teknik. Setelah meninggalkan rumah orang tuanya pada usia 11 tahun, dia hanya mendalami studi filsafat dan teologi untuk menjadi biarawan Jesuit, meski keluarganya sebagian besar bekerja dalam bidang teknik.

Ayahnya yang bernama Florian Casutt adalah seorang pekerja teknik yang memiliki bengkel di rumah. Ketekunan dan keteladanan orang tua mendorong kakak-kakaknya juga membangun usaha industri di Swiss.

Tentu pengalaman melihat ayahnya bekerja saat masih kecil tak mencukupi untuk menjadi modal Romo Casutt menjalankan tugas sebagai pimpinan ATMI. Namun dengan prinsip 4-M (melihat, mendengar, merasakan, dan memikirkan), Romo Casutt dapat mempelajari cara menangani ATMI.

Langkah awal setelah mendapat tugas di ATMI, Romo Casutt mempelajari segala hal yang terkait dengan tugasnya memimpin pendidikan kejuruan. Dia menyadari tidak memiliki pengetahuan yang cukup. Karena itu, ia bekerja keras dengan belajar dari saudara-saudaranya yang memang menekuni usaha industri di Swiss.

Florian Jr, kakak nomor dua Romo Casutt, mendalami tentang ilmu percetakan. Joseph, kakak nomor tiga, belajar merancang mesin. Kedua-duanya berhasil dalam membangun usahanya masing-masing.

Florian Jr menjalankan percetakan Casuttag di Chur. Sedangkan Joseph, memiliki Casutt & Co AG, sebuah pabrik yang merancang mesin berteknologi tinggi di Murten, Swiss. Dari Florian-lah, Romo Casutt bisa mencetak sendiri bahan-bahan kuliah yang dibuat para instruktur.

Figur ketiga yang banyak membantunya adalah Mr Frick. Instruktur asal Swiss ini sudah lebih dulu ada di ATMI.

Setiap sore, sekira pukul 16.00–18.00, Romo Casutt rajin ke kantor Mr Frick, sesudah pelajaran untuk mahasiswa rampung diberikan. Tak jarang, diskusi berlanjut hingga pukul 19.00 demi membahas bermacam-macam persoalan.

Mr Frick sejak awal menyatakan pada Romo Casutt, pendidikan berkualitas dapat terbangun bila semua pihak di ATMI menegakkan kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras, jujur, dan inovatif. Hal ini bukan hanya berlaku untuk mahasiswa, tetapi juga buat instruktur, karyawan, dan dirinya sendiri sebagai pimpinan.

Secara rutin, dua kali sehari Romo Casutt berkeliling kampus untuk mengecek keadaan. Pada saat awal perkuliahan, dia meninjau seluruh ruangan dan memperhatikan proses kerja di bengkel yang sedang berlangsung.

Setelah usai pelajaran, dia berkeliling sekali lagi. Ia merasa harus melihat, apakah seluruh ruangan sudah bersih dan tertata rapi sehingga esok pagi perkuliahan dapat langsung dijalankan. Dia juga memeriksa lampu dan keran air yang seharusnya sudah mati untuk mencegah pemborosan yang tidak perlu.

Di luar dua kebiasaan itu, Romo Casutt juga berkeliling untuk memeriksa pesanan yang sedang dikerjakan mahasiswa atau karyawan. Romo Casutt menganggap mesin sebagai tubuh manusia yang harus dirawat dan dibersihkan. Maka setelah memakainya, harus segera dibersihkan agar tetap berfungsi dengan baik.

Seorang karyawan pernah ditegur Romo Casutt karena tidak membersihkan mesin setelah memakainya. Lalu Romo Casutt bertanya, berapa kali dalam sehari dia mandi. Dengan spontan, dia mengatakan dua kali. Jumlah yang sama diminta imam itu pada karyawan untuk dilakukan pada mesin juga.

Romo Casutt adalah pemimpin yang dikenal langsung terjun ke bawah untuk menangani masalah. Dengan berkeliling, dia mengetahui persis situasi yang ada di lapangan. Dia juga selalu mencocokkan laporan yang ada di meja kerjanya dengan fakta yang ada.

Tampilan rapi dan tentu saja bersih, begitu keseharian imam ini. Kedisiplinan tak hanya dicanangkan di ATMI, tapi dia tunjukkan di tempat berkaryanya. Dia tidak hanya mau mendapatkan laporan, tetapi langsung keliling kampus. Hal ini dilakukannya setiap hari, untuk mengecek disiplin dan tata aturan dilaksanakan dengan baik.

Tidak ada keraguan apalagi ketakutan dalam diri Romo Casutt menerapkan semua aturan dengan disiplin tinggi. Padahal, dia berkarya di negara yang baru menata diri. Negara di mana nilai-nilai disiplin belum menjadi prioritas penilaian penting.

Alhasil, ada yang suka dan ada yang tidak suka dengan penegakan disiplin Romo Casutt. Tetapi dia tidak pernah mundur. Romo Casutt yakin, penegakan disiplin tidak hanya akan membuat ATMI maju, tetapi juga membuat anak didiknya bisa bersaing di level tertinggi dunia kerja.

Banyak Diminati

Sejak meluluskan mahasiswa pada angkatan pertama, praktis tidak ada alumni ATMI yang mengisi pengangguran di Indonesia. Mereka tinggal memilih sesuai dengan minat masing-masing.

Banyaknya kesempatan itu tidak lepas dari kualitas lulusan ATMI yang tersebar dari mulut ke mulut. Banyak perusahaan mengakui kemampuan alumni ATMI yang dapat langsung bekerja di perusahaannya. Oleh karena itu, perusahaan selalu mengajukan permintaan kepada ATMI.

Permintaan itu mendorong Romo Casutt melakukan seleksi agar anak didiknya mendapat tempat kerja yang tepat. Dengan memperhitungkan keadilan, Romo Casutt tidak pernah memberikan alumninya hanya ke satu tempat. Romo Casutt selalu mengarahkan calon untuk menerima pekerjaan di daerah-daerah lain.

Romo Casutt sendiri tak sembarang memberikan alumninya kepada dunia industri. Dia melakukan seleksi ketat dengan mencari berbagai informasi tentang kondisi dan kemampuan perusahaan itu.

Terserapnya lulusan ATMI dalam dunia kerja industri, mengantar kehidupan yang lebih baik bagi lulusannya. Misi ATMI untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia dapat tercapai karena anak-anak dari keluarga tidak mampu telah berhasil menuntaskan pendidikannya di ATMI.

Salah satu grup perusahaan yang sering meminta lulusan ATMI adalah PT Astra International. Perusahaan yang memiliki banyak anak perusahaan itu menyerap cukup banyak alumni ATMI sebagai tenaga kerjanya.

Mereka yang belajar di ATMI menilai, pendidikan di lembaga itu bukan sekadar mendidik kaum muda memiliki keterampilan teknik atau dapat menjalankan mesin saja, tapi juga bisa membentuk manusia dengan karakter yang lengkap untuk masuk dunia kerja.

Bagi Romo Casutt, mereka yang belajar di ATMI memang dibentuk untuk mengisi dunia industri Indonesia. Dengan tegas dan jelas, Romo Casutt menganggap posisi yang harus diisi mantan anak didiknya adalah karyawan blue collar, bukan karyawan level bawah.

Belum Berakhir

Selama memimpin hingga berakhir masa tugas di ATMI pada 2001, sudah 3.000 orang diluluskannya. Mereka tersebar di seluruh Indonesia dan luar negeri dengan bidang industri yang beragam. Beberapa alumni pun menjadi tenaga-tenaga terampil di bidang lain. Tidak sedikit pula yang menjadi pengusaha.

Menyadari bahwa lapangan pengabdian untuk mempersiapkan keterampilan orang muda begitu luas, Romo Casutt melihat perlunya dibangun “saudara kandung” ATMI Solo. Romo Casutt pun mendirikan ATMI di Cikarang yang memulai perkuliahan pada tahun 2003.

Dia bekerja keras membangun ATMI Cikarang dengan segala rintangan yang dihadapinya. Keberhasilan Romo Casutt membesarkan ATMI Solo dan Cikarang tidak terlepas dari kedisiplinan yang membuat dirinya jadi pribadi yang fokus dalam setiap pekerjaannya.

Dalam menjalani tugasnya di Cikarang, beban Romo Casutt tidaklah ringan. Kala itu usianya menginjak 73. Dengan usianya yang sudah menua itu, dia memulai ATMI Cikarang dari nol, sekalipun pada 2004, Romo Casutt sempat terserang stroke.

Berjalannya waktu, pada 2012, Romo Casutt mengalami diare berkepanjangan. Dia pun dirawat di Rumah Sakit Brayat Minulya di Solo. Tak lama kemudian, Romo Casutt dinyatakan kritis dan akhirnya meninggal dunia.

Para alumni yang telah bekerja di berbagai daerah langsung berdatangan untuk melihat Romo Casutt terakhir kalinya. Hari Minggu, 26 Agustus 2012, sebelum jenazah Romo Casutt dibawa ke Girisonta (Ungaran, Jawa Tengah), alumni meminta agar peti jenazah Romo Casutt diangkat untuk mengelilingi kampus ATMI dan guest house.

Para alumni mengatakan, prosesi ini merupakan kesempatan terakhir bagi Romo Casutt berkeliling kampus. Kegiatan sehari-hari yang dilakukannya saat memimpin ATMI Solo.

Proses pemakaman berakhir di hari Senin yang seharusnya adalah hari pertama perkuliahan di ATMI Solo. Para pelayat merasakan, seolah Romo Casutt ingin mengatakan inilah kesempatan terakhir baginya mengantar para mahasiswa mengisi dunia industri Indonesia.

Memang, Romo Casutt tak banyak berbicara. Kata-kata hanya disampaikan seperlunya. Dia juga menjalankan tugasnya tanpa gembar gembor. Dia tidak ingin banyak orang mengetahui apa yang dilakukannya. Satu hal yang Romo Casutt inginkan adalah pendidikan vokasi di Indonesia berkembang maju seperti tanah kelahirannya, Swiss. (Didi Kurniawan)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar