01 Februari 2021
18:07 WIB
JAKARTA – Bagi masyarakat yang bertumpu pada sektor pertanian, khususnya pedesaan, hujan menjadi satu hal yang dinanti-nanti. Berbagai macam ritual meminta hujan tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Di Tulungagung ada Manten Kucing, di Karo Sumatra Utara ada Erlau-lau, di Banyumas ada Cowongan, dan di Kalimantan Tengah ada Nyaluh Ondou.
Masyarakat Karangasem, Bali, menyebutnya ritual Perang Gebug Ende untuk meminta hujan. Dikutip dari laman resmi Kabupaten Karangasem, Senin (1/2), Gebug Ende digelar untuk meminta hujan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan ) supaya keperluan pertanian dan konsumsi lancar.
"Tradisi bercirikan perang, bernapaskan heroisme. Hingga kini masih hidup dilakoni masyarakatnya. Perang apa itu? Di antaranya perang rotan atau yang oleh masyarakat setempat disebut Gebug Ende," dikutip dari laman.
Gebug Ende lekat dengan musim kemarau. Biasanya tradisi ini dimainkan antara bulan Oktober hingga November. Secara geografis Desa Seraya memang memiliki tanah yang tandus. Bahkan hampir setiap tahun wilayah Seraya kekurangan air. Meski air sudah dipasok PDAM, Desa Seraya tetap kekurangan air untuk mandi dan minum setiap kemarau datang.
Gebug Ende melibatkan dua orang pria yang seolah-olah sedang bertarung. Mereka akan saling pukul menggunakan rotan sepanjang 1,5 hingga dua meter. Namun tak perlu khawatir, para petarung akan dibekali perisai dari kulit sapi kering sebagai penghalau pukulan lawan.
Kedua pria akan mengenakan pakaian adat Bali Madya. Sambil memakai udeng, memakai sarung, dan bertelanjang dada dua laki-laki tersebut akan membawa rotan dan tameng untuk bertarung.
Meski terkena pukulan lawan, para petarung akan tetap bersukacita. Mereka saling pukul sembari diiringi lantunan gamelan bale ganjur bertalu-talu. Alunan gamelan itu membuat pemain seolah bertarung sambil menari-nari.
"Mereka bertanding satu lawan satu. Sebatang rotan sebagai alat pemukul panjangnya sekitar satu meter. Sedangkan alat penangkalnya sebuah perisai bergaris tengah 60 cm terbuat dari lapisan kulit sapi kering yang terikat pada bingkai kayu," ujar laman tersebut.
Masyarakat memercayai jika salah satu pemain terkena pukulan hingga mengeluarkan darah, maka kemungkinan hujan akan cepat turun. Biasanya, sebelum para petarung turun ke gelanggang, mereka umumnya minum tuak (nira) agar badan cepat panas. Namun, tidak boleh sampai mabuk.
Dalam pertarungan, pemain tidak diperkenankan memukul bagian bawah pusar dan saling berangkulan. Selain itu, tidak boleh menyerang melewati garis batas wilayah posisi pemain. Jika aturan tersebut dilanggar, mereka akan dilerai dan diberi peringatan.
Apabila peringatan diabaikan, mereka dikeluarkan dari arena. Umumnya permainannya berlangsung singkat sekitar 10 menit. Tidak ada pernyataan resmi dari wasit siapa yang menang atau kalah, hanya penonton yang dapat menilainya.
Tak hanya di Karangasem, Gebug Ende saat ini banyak dipraktikan warga lain di Bali. Tradisi itu menyebar lewat warga Seraya yang merantau ke wilayah lain di Bali. Tercatat, pada tahun 1925 tradisi tarung ini berkembang di Desa Sumberkima, Buleleng Barat.
Lima tahun berselang, pada 1930, Sumberkima dimekarkan menjadi beberapa desa, Sumberkima, Pejarakan, Peuteran, Sumberklampok, Patas, Banyupoh. Pemekaran itu berbanding lurus dengan penyebaran Gebug Ende.
Meski mulanya bersifat sakral, media penghubung antara manusia dan Sang Pencipta, kini Gebug Ende sama seperti manten kucing di Tulungagung, Gebug Ende menjadi acara pemeriah di gelaran festival-festival di Bali. (Muhammad Fadli Rizal)