19 Agustus 2020
19:59 WIB
JAKARTA – Pada 1978, ketenangan Kusbini (Koesbini) terusik. Seorang bernama Raden Joseph Moejo Semedi mengklaim lagu “Bagimu Negeri” adalah ciptaannya. Kusbini bahkan dituduh menjiplak.
Semedi mengatakan, dirinya memberi judul lagu yang diklaimnya “Padamu Negeri”. Hendra Tanu Atmadja menulis hal ini dalam “Penyelesaian Sengketa Lagu atau Musik di Luar Pengadilan” (Jurnal Lex Jurnalica, April 2014). Kata Hendra, Semedi sempat mengatakan, “Bagimu Negeri” adalah lagu yang ia ciptakan pada akhir 1944 dengan judul ‘Padamu Negeri’.
Polemik itu pun berakhir di pengadilan, dengan kemenangan buat Kusbini.
Meski baru diperkarakan pada tahun 1978, sebenarnya lagu “Bagimu Negeri” sudah mulai banyak diperdengarkan pada tahun 1947. Semedi menuding Kusbini mengubah liriknya. Ia mengaku menciptakan lagu tersebut setelah mengikuti misa agung pada malam Natal di Gereja Katolik Kebalen, Solo.
Semedi kemudian menyempurnakan liriknya di Pati dan diperdengarkan di rumah rekannya yang bernama Benyamin dengan iringan biola Setjoprajitno untuk pertama kali.
Begini lirik versi Semedi:
Padamu negeri aku berjanji
Padamu negeri aku berbakti
Padamu negeri aku mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga abdi
Namun Semedi bilang, hal itu tidak diperkarakannya, mengingat situasi revolusi kala itu. Baru pada tahun 1978, Semedi membawa kasus ke pengadilan setelah menonton wawancara Kusbini di TVRI.
Dalam wawancara tersebut, Kusbini mengaku lagu “Bagimu Negeri” bernuansa religius. Tapi, Semedi meragukan Kusbini mengetahui letak religiositas dari lagu tersebut.
Sang “Buaya Keroncong” itu menyikapi polemik ini dengan santai. Kusbini mengaku tidak pernah kenal atau berhubungan dengan Semedi. Bahkan Kusbini berhasil memaparkan bukti-bukti bahwa dirinyalah yang menciptakan “Bagimu Negeri” pada 1942 atas permintaan Bung Karno.
Akibat hal itu, Semedi bahkan terancam gugatan balik terkait hak cipta karena telah menjiplak. Situasi sempat memanas, meski akhirnya Semedi memilih menyudahi perkara dan Kusbini pun tidak mempersoalkannya lebih jauh lagi.
Sekadar info saja, Kusbini pertama kali mendapat gelar “Buaya Keroncong” dari Presiden pertama. Pernah sekali waktu, Bung Karno menantang keteguhan hati Kusbini sebagai musisi. Bung Karno bertanya kepada Kusbini mengapa memilih menggeluti musik keroncong. Kusbini cepat dan mantap menjawab,
“Karena keroncong memang telah menjadi bagian hidup saya”. Sejak itu Bung Karno menjulukinya “Buaya Keroncong”.
Kedekatan Dengan Soekarno
Nama Kusbini sejatinya sudah terkenal, bahkan sebelum Indonesia Merdeka di industri musik keroncong. Namanya melambung sudah sejak tahun 1930-an. Pada era itu, Kusbini sebanding dengan jajaran pemusik keroncong paling popular di Hindia Belanda bersama Annie Landouw, S. Abdoellah, juga Gesang, sang pencipta “Bengawan Solo”.
Lingkaran pertemanan Kusbini makin sempurna kala dirinya mulai berkawan dengan Bung Karno yang beberapa kali menemuinya secara khusus untuk berbincang masalah serius, atau sekadar berbincang ringan.
Sukarno jugalah yang kabarnya meminta Kusbini untuk menciptakan lagu propaganda yang membawa pesan nasionalis tanpa sepengetahuan Pemerintah Militer Jepang kala itu. Alhasil, lagu “Bagimu Negeri” berhasil digubah dengan beberapa kali revisi lirik agar tak dicurigai Jepang.
Awalnya, Kusbini sempat menyisipkan “Indonesia Raya” pada bait terakhir “Bagimu Negeri” agar lebih menyentuh hati masyarakat Indonesia. Namun, Bung Karno bergegas menolak, karena ide itu dianggap sangat berisiko, sama seperti jika menggunakan kata 'negara' atau 'bangsa'.

"Indonesia Raya' tidak tepat, Kus. Ubahlah syairnya,” tandas Bung Karno kala itu seperti diungkapkan Hersri Setiawan dalam buku Aku eks-Tapol (2003: 239).
Kusbini lahir di Desa Kemlagi, Mojokerto, Jawa Timur, 1 Januari 1910. Ia besar saat musik keroncong sedang berjaya. Dari kampungnya, Kusbini mulai merangkak meraih mimpinya menjadi pemusik.
Dikutip dari buku Musik Revolusi Indonesia (2008) karya Wisnu Mintargo, setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di HIS Jombang pada 1914, Kusbini menuju Surabaya untuk meneruskan studi di sekolah dagang (halaman 44). Selain itu, Kusbini juga bergabung dengan salah satu grup musik keroncong Jong Indische Stryken Tokkel Orkest
(JISTO) bersama kakaknya, Kusbandi.
Kakaknya inilah yang berperan banyak dalam kiprah Kusbini sebagai pemusik. Langkah Kusbini ke Surabaya juga mengikuti jejak sang kakak. Kusbini membantu abangnya menggubah lagu untuk dibawa ke orkesnya. Kemampuan Kusbini di sini, mulai terasah.
Setelah menyelesaikan studi di Sekolah Dagang, Kusbini tidak tertarik menjadi pegawai negeri pemerintah kolonial. Ia juga enggan bekerja di kantor dagang, cita-citanya hanya ingin menjadi seniman musik.
Selama masa sekolah, Kusbini mempelajari musik dengan bimbingan sang kakak dan belajar secara otodidak. Ketika berumur 17, Kusbini mengikuti pendidikan musik umum (algemene muziekleer) di sekolah music 'Apollo'.
Lagu pertama yang diciptakannya berjudul “Keroncong Purbakala”. Kemudian disusul dengan lagu berjudul “Pamulatsih”, “Bintang Senja Kala”, “Sarinande”, “Keroncong Moresko”, “Dwi Tunggal”, “Ngumandang Kenang”, “Kewajiban Manusia”, dan seterusnya.
Karya dan nama Kusbini semakin dikenal setelah ia kerap mengisi siaran musik di radio Nederlandsch Indische Radio Omroep Masstchapij (NIROM) dan Chineese en Inheemse Radio Luisteraars Vereniging Oost Java (CIRVO). Tak hanya bernyanyi, ia juga memainkan biola dalam acara-acara itu.
Propaganda Lagu
Saat penjajahan Belanda berakhir dan Indonesia berada dalam pengawasan pemerintah penduduk Jepang, karir Kusbini justru makin benderang. Bersama Saridjah Niung (Ibu Sud), Kusbini secara rutin mengisi siaran musik di radio milik Dai Nippon, Hoso Kanri Kyoku. Di masa inilah lagu 'Bagimu Negeri' tercipta, tepatnya pada 1942.
Menurut Kamajaya dalam buku Sejarah Bagimu Negeri: Lagu Nasional (1979), penyanyi yang pertama kali membawakan lagu gubahan Kusbini adalah Ibu Sud. Kusbini dan Saridjah kala itu mengisi program musik untuk anak-anak.
Lagu ini sempat menggegerkan Pemerintah militer Jepang. Kusbini dipanggil untuk menjelaskan maksud dari lagu “Bagimu Negeri”. Bagi Dai Nippon hal ini sungguh sensitif karena dikhawatirkan bisa memicu gerakan rakyat merdeka.
Dikutip dari buku 33 Profil Budayawan Indonesia (1990) yang disusun Butet Kartaredjasa, Kusbini menjawab pertanyaan itu dengan tenang. “Mana ada kata Indonesia dalam lagu ‘Bagimu Negeri’? Negeri bisa di mana saja, di Jepang pun bisa” (halaman 58).
Namun begitu memang sebenarnya ada makna tersembunyi di dalam lagu tersebut. Sapta Ksvara Kusbini sempat membeberkan bahwa ada kesalahan judul lagu nasional Bagimu Negeri selama ini. Seharusnya, judul yang asli ialah 'Bagimu Neg' RI' berdasarkan dokumen asli lagu milik Kusbini yang tersimpan di kediamannya di Yogyakarta.
Dokumen asli lagu Bagimu Negri sendiri, masih berada di kediamannya di Yogyakarta. Begitu juga dengan hasil coretan asli Kusbini pada tiga lembar kertas yang sudah sobek karena banyaknya coretan tangan.
Setidaknya, terdapat lima kali revisi dari lagu yang hanya empat baris tersebut. Termasuk ketukan, nada dan lirik terakhir yang diminta langsung oleh Presiden Sukarno untuk diubah.
Anak Kusbini itu berharap masyarakat Indonesia dapat memahami sejarah lagu “Bagimu Negeri”. Dirinya pun siap jika harus mengeluarkan dokumen keluarganya tentang lagu itu.
Jalan Karier
Kusbini tetap mengabdi untuk negara setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia secara penuh pada akhir 1949. Ia bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, di bidang seni musik.
Pada tahun yang sama, Kusbini sempat merintis sekolah musik dengan namanya sendiri, yakni Sekolah Musik Kusbini. Sayang, sekolah tersebut tidak bertahan lama karena persoalan keuangan.
Setelah itu, di Yogyakarta pula, Kusbini mendirikan Sekolah Musik Indonesia (SMINDO) pada 1954. Kali ini dengan dukungan dari pemerintah pusat. Sekolah ini merupakan cikal-bakal Akademi Musik Indonesia (AMI) yang kemudian bersama beberapa sekolah seni lainnya dilebur ke dalam Institut Seni Indonesia (ISI).
Kusbini juga membuka Sanggar Olah Seni Indonesia (SOSI). Menurut F.X. Suhardjo Parto dan Sunarto dalam Musik Seni Barat dan Sumber Daya Manusia (1996), Kusbini secara langsung mendidik anak-anak muda yang kelak menjadi musisi atau seniman ternama di tanah air (halaman 95).
Sebelumnya, pada tahun 1935 sampai 1939, Kusbini pernah menjadi pemain musik dan penyanyi untuk perusahaan rekaman piringan hitam Hoo Soen Hoo. Saat itu, kariernya mulai menanjak dan namanya semakin dikenal. Terutama saat dia mulai mendalami dan berkarya lewat lagu-lagu keroncong dan stambul.
Kiprah Kusbini kian harum pada tahun 1941. Saat itu lagu-lagu Kusbini dipakai untuk film berjudul Jantung Hati dan Air Mata Ibu. Lagu-lagu Kusbini di dua film itu khusus diciptakan untuk film itu.
Kusbini, selain mengarang lagu “Bagimu Negeri”juga mengarang lagu-lagu lain bertemakan semangat kemerdekaan, di antaranya “Cinta Tanah Air”, “Merdeka”, “Pembangunan”, “Salam Merdeka”. Sementara, lagu yang berjudul “Kewajiban Manusia” adalah satu-satunya lagu yang bertemakan semangat merdeka dengan irama keroncong. Lagu-lagu ini menggugah semangat bangsa Indonesia untuk menggalang persatuan demi mencapai kemerdekaan.
Pada masa tuanya, Kusbini menulis beberapa buku, antara lain, Kumpulan Lagu-lagu keroncong Indonesia, Sejarah Seni Musik, Keroncong Indonesia, Diktat Gitar. Diktat vokal, Teori musik, Diktat Viool, dan Pelajaran Bass.
Beberapa penghargaan berhasil diterima Kusbini. Di antaranya, Pembina Musik Keroncong Indonesia (P dan K tahun 1972) dan Medali Arati Bayangkara (dari Korwil II, tahun 1976). Kemudian, pada Tahun 1996, Penerbit Musik Pertiwi (PMP) memberikan royalti atas lagu-lagu karangan Kusbini. Royalti itupun diberikan langsung oleh General Manager PMP Andy Hutadjulu kepada ahli waris Almarhum (alm) Kusbini di rumahnya Jalan Kusbini 25, Yogyakarta.
Tahun 2011, Kusbini mendapat penganugerahan gelar maestro di bidang seni musik dipilih Taman Budaya Yogyakarta dalam rangka memberikan penghargaan terhadap tokoh seniman di Yogyakarta, yang telah berjasa menjaga dan melestarikan seni dan budaya, baik itu lokal, nasional dan internasional.
Kusbini mendapatkan Royalti dari hasil penjualan kepingan compact disk/kaset yang terjual di dalam maupun di luar negeri melalui mekanisme Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta dan memenuhi peraturan perpajakan yang berlaku.
28 Februari 1991, pada umur 81 tahun Kusbini wafat di kediamannya di Pengok, Yogyakarta. Jasadnya dikebumikan dengan iringan lagu Perdamaian yang diciptakannya sendiri. Setelah ia meninggal Pemda Yogyakarta memberi nama Jalan Jetishardjo menjadi Jalan Kusbini.
Pada 2017 silam, lagu “Bagimu Negeri”sejatinya sempat kembali diusik. Kali ini kecaman datang dari penyair Taufik Ismail. Ia menyebutkan lirik terakhir dalam lagu “Bagimu Negeri” yaitu “jiwa raga kami” sebagai musyrik. Menurut Taufik jiwa dan raga hanya untuk Tuhan. Bukan untuk negeri atau negara.
Tudingan Taufik ternyata juga hanya sesaat. Apapun itu, “Bagimu Negeri” masih menggetarkan hati tiap kali diperdengarkan, terutama pada momen Hari Ulang Tahun RI dan pertandingan olahraga antar negara. (Yanurisa Ananta)