23 November 2017
16:56 WIB
Editor: Rikando Somba
JAKARTA- Arabei pada mulanya hanyalah seorang guru bantu agama di Pulau Buru pada masa penjajahan kolonial Belanda. Ia mengajarkan injil kepada masyarakat Papua, khususnya di Kecamatan Leksula di bawah asuhan seorang pendeta Belanda.
Arabei yang santun kelak menjelma menjadi salah satu buronan yang paling dicari Belanda, kerap keluar-masuk penjara karena dianggap sosok provokator yang memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Jiwa patriotisme yang tumbuh di dalam dirinya memang mengantar Arabei pada liku-liku perjuangan pembebasan Papua yang kala itu bernama Irian Barat dari penjajahan Belanda. Perjuangan yang menuntutnya mengorbankan kehidupan pribadi, getir namun berujung manis.
Ia dibaptis dengan nama Johanes Abraham Dimara. Arabei adalah panggilan yang diberikan ayahnya Wilem Abraham, seorang Korano atau Kepala Kampung di Biak Utara ketika dirinya masih kecil. Di masa perjuangan ia justru lebih dikenal dengan nama Johanes Papua oleh Belanda.
Alur perjuangan itu dimulai Johanes pada saat Jepang memasuki Pulau Buru, Ambon pada awal tahun 1942. Johanes berada di Ambon karena sejak berusia 13 tahun ia dijadikan anak angkat oleh seorang Kepala Polisi dari Ambon bernama Mahabesi yang tertarik dengan kecerdasannya. Ia kemudian disekolahkan hingga akhirnya menjadi guru bantu agama di Pulau Buru.
Kehadiran Jepang membuat seluruh sekolah yang didirikan oleh Belanda ditutup. Tak ayal Johanes sebagai guru bantu harus menganggur. Sekali waktu seorang prajurit Jepang tengah mencari tenaga pembantu prajurit yang asli berasal dari Papua. Prajurit Jepang itu bertanya kepada penduduk.
“Di sini Papua orang adakah?” tanya prajurit itu, seperti dikutip dari www.pahlawancenter.com
Penduduk memberitahukan dan orang Papua yang dimaksud adalah Johanes Papua, seorang guru bantu agama. Tanda tanya dan rasa khawatir berkecamuk di kepala Johanes. Apa gerangan yang diingkan Jepang darinya, terlebih prajurit itu membawa Johanes menghadap kepada komandannya, Kepala Pemerintahan bernama Ishido dan Komandan Pasukan Pendudukan bernama Watanabe.
“Kamuka Papua orangka?,” tanya Ishido.
“Ya, saya Papua,” jawab guru muda itu.
“Joto (Bagus), Joto. Mauka soma dai Nipponka mau jadi Polisika?,” Ishido kembali bertanya.
“Mau, mau!,” Johanes spontan menjawab.
Rupa dan penampilan Johanes pun segera berubah setelah ia mengenakan seragam militer. Ia diangkat sebagai Kempei-ho atau Pembantu Kempei Kesatuan Polisi Militer atau polisi milite Jepang yang ditempatkan di Markas Kempetai di Pulau Buru. Tugas seorang Kempei ho adalah sebagai penyelidik keamanan, mengobservasi kegiatan orang-orang yang diduga sebagai mata-mata musuh atau membantu musuh sampai perang berakhir.
Gelora Nasionalisme
Sebagaimana sejarah mencatat, Jepang tidak lama berkuasa di Indonesia setelah Sekutu meluluhlantakkan Nagasaki dan Hiroshima. Jepang menyerah tanpa syarat dan Johanes pun kehilangan pekerjaan sebagai Kampaei Ho setelah Belanda kembali menguasai pulau itu.
Kurang lebih tiga tahun menjadi seorang polisi, ia meresakan apa artinya menjadi manusia merdeka. Dalam dirinya Johanes ingin terus agar kemerdekaan itu berada dalam genggamannya, terlebih propaganda Jepang yang anti kulit putih sangat mengena di jiwanya.
Johanes dan kebanyakan rakyat Indonesia di luar Pulau Jawa tidak tahu bahwa setelah Jepang menyerah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Hal itu disebabkan oleh keterbatasan komunikasi antara Jakarta dengan wilayah Indonesia lainnya, khususnya dengan Pulau Buru yang sama sekali terputus.
Berita Proklamasi Kemerdekaan baru dia dengar pada tahun 1946, setahun pasca proklamasi, setelah sebuah ekspedisi dua kapal kayu ke Maluku yaitu KM Sindoro dan KM Semeru yang dinahkodai oleh Letnan Ibrahim Saleh dan jurumesin Yos Sudarso sampai perairan Pulau Buru. Kapal ekspedisi itu tak lain hanya sebuah kamuflase karena berisi para pejuang.
Kedatangan kapal berbendera Merah Putih ini menarik perhatian penduduk kota Namka, kota utama di Pulau Buru yang jaraknya hanya 500 meter dari kapal yang buang sauh di perairan itu. Beberapa pemuda yang dipimpin Johanes berusaha mendekat dengan sebuah perahu dayung hingga akhir berhasil mencapai Kapal Sindono.
Johanes dan rekan-rekannya bertemu dengan Komandan Kapal Ibrahim Saleh dan Perwira Pertama Letnan Yos Sudarso dan saling berkenalan. Ikatan nasionalisme segera tumbuh di antara mereka. Karena itu pula Johanes menyerankan agar kapal berlabuh di Namelek yang jaraknya satu kilometer dari posis mereka berhenti.
Benar saja, kedatangan kapal ini disambut dengan kecurigaan polisi setempat. Mereka mencegah agar para awak kapal turun ke darat. Namun Johanes meyakinkan polisi bahwa ia akan mencegah mereka turun dari kapal. Polisi pun terbujuk, menyerahkan penjagaan kepada Johanes dan para pemuda.
Namun bujukan itu hanyalah akal-akalan Johanes bersama teman-temannya seperti Abdullah Kaban, Abdullah bin Talib, Adam Patisahursiwa, seorang mantan Camat Namka yang sangat anti Belanda memang berniat mendaratkan orang-orang yang ada di kapal ekspedisi itu secara diam-diam.
Pemuda-pemuda itu merancang strategi dan kekuataan agar rencana mereka tak diketahui oleh Belanda. Mantan Camat Namka itu kemudian mengajak Johanes bertemu Raja (kepala desa) Kumbrasa Bahadin Besi dan Raja Namka, seorang tokoh yang berpengaruh besar, ternyata mendukung rencana mereka.
Pada 6 April 1946 beberapa orang pemuda telah berkumpul di rumah Raja Bahadin. Anton Papilaya salah seorang anggota ekspedisi yang berhasil turun dari kapal diperkenalkan dengan para pemuda yang sedang berkumpul. Dengan tekad yang mantap mereka berencana menyerang Namka untuk mengakhiri kekuasaan NICA di Pulau Buru.
“Inilah saatnya untuk menghabisi Belanda!” teriak Adam membakar semangat perang.
Johanes Papua dipilih sebagai salah seorang pemimpinnya. Selain pemberani dia telah memperoleh pelatihan militer pada masa pendudukan Jepang. Pimpinan lainnya adalah Anton Papilaya, yang juga dinilai memiliki kebarian seperti halnya Johanes.
Tibalah hari penyerangan. Namun sebelumnya mereka membuat siasat, mengumumkan kepada rakyat diumumkan bahwa Residen Maluku Van Ball akan datang ke Namka. Masyarakat Namka diperintahkan untuk membersihkan Kota untuk menyambut kedatangan Residen. Dengan begitu 300 pemuda di bawah pimpinan Johanes dan Anton Papilaya bisa berbaur dengan masayarakat lain, berpura-pura kerja bakti membersihkan Kota Namka.
Hari itu 8 April 1946, para pemuda sudah berada di depan kantor polisi. Melihat situasi lengah para polisi Johanes bersama rekan-rekannya langsung menyergap. Tak ada perlawanan berarti dan sejumlah polisi menyerah. Hanya satu korban dari pihak polisi tertembak.
Serangan dilanjutkan ke kantor Kecamatan (Asisten Wedana). Bendera Merah Putih Biru yang berkibar di depan kantor diturunkan dan dirobek birunya dinaikkan kembali menjadi merah putih, persis seperti yang dilakukan arek-arek Suroboyo setahun sebelumnya ketika menurunkan bendera Belanda di Hotel Yamato pada 10 November 1945.
“Merdeka! Merdeka!” pekik para pemuda.
Camp Bivoen Digul, Irian Barat tempat Johanes Dimara pernah ditahan. Ist
Buronan Belanda
Hanya lima hari Kota Namka berada di tangan para pemuda. Pada 12 April 1946 Belanda mengirimkan pasukannya Kapal Perang HMS Princes Irene, menurunkan sekoci yang memuat serdadu KNIL dan menembaki rumah penduduk secara membabi buta. Rentetetan tembakan itu tak membuat ciut nyali pejuang. Mereka balas menembak dan membuat para serdadu KNIL melarikan diri dengan skocinya.
Situasi ini disadari oleh pejuang sebagai pertempuran lebih besar akan segera hadir di Kota Namka. Belanda akan mengerahkan kekuatan besar untuk menumpas mereka. Karena itu pula mereka sepakat meninggalkan kota.
Dugaan Johanes dan rekan-rekannya tak meleset. Keesokan harinya Belanda dengan kekuatan yang jauh lebih besar melakukan operasi pembersihan mulai dari pelabuhan hingga kota. Penduduk diinterogasi dan terkuaklah nama Johanes Papua dan Anton Papilaya sebagai otak penyerangan.
Tak seperti Johanes yang berhasil kabur dari kejaran Belanda, Anton Papilaya justru tertangkap dan dibawa ke Ambon. Selanjutnya ia diajukan ke pangadilan dan dijatuhi hukuman penjara. Adapun Johanes Papua bersembunyi di sebuah Kampung Islam dan dilindungi oleh kepala kampung. Dia diberi sebuah perahu untuk melarikan diri keluar Pulau Buru.
Dalam pelariannya Johanes Papua mengarahkan perahunya ke Pulau Sanana. Rupanya Kepala Kampung tidak bersahabat. Kedatangannya dilaporkan kepada petugas keamanan. Johanes Papua bersama dua orang kawannya Abdullah Kaban dan Adam Patisahursiwa mantan asisten wedana ditangkap, ditahan di kantor Polisi Sanana.
Kepala Polisi memerintahkan tangan mereka diborgol. Ketika kapal penjemput datang dari Ambon, Mereka diangkat ke sebuah sekoci. Sebelum diangkat ke sekoci, Kepala Polisi memerintahkan agar kaki kedua orang ini dimasukkan ke karung,
“Kasih masuk dia ke karung. Ikat sampai pinggang!”, perintah kepala polisi itu.
Dengan tangan terikat, kaki dalam karung ia digelandang ke sekoci. Karung dilepas tatkala mau naik ke kapal. Tiba di kapal mereka langsung dijebloskan ke sebuah kurungan yang berukuran satu meter persegi, hanya cukup untuk jongkok.
Turun dari kapal Johanes dan rekannya langsung diangkut ke penjara Pohon Pale untuk dianiaya sebelum dimasukkan ke sel yang sempit, buang air, makan, dan tidur di tempat yang sama.
Pada Bulan Juli 1946, Dimara dan kawan-kawannya diajukan ke pengadilan militer Batu Gajah Ambon. Sebuah Jeep datang menjemputnya. Tangan dan kakinya dirantai, dengan susah payah ia naik ke Jeep. Tidak ada yang membantu. Di dalam sidang Hakim Ketua yang bernama Van der Room ditanya,
“Saudara Kepala Merah Putih ya?” tanya hakim.
“Ya, ya”, jawab Johanes
“Saudara orang Papua dari mana?” hakim bertanya pula.
“Saya dari Biak,” ujar Johanes
“Pantas orang Biak itu kepala keras,” celutuk si hakim.
Vonis pun dijatuhkan. Johanes dipaksa menerima hukuman 20 tahun penjara. Karena masa tahanan yang lama itu pula Johanes diangkat sebagai Foreman atau ketua diantara para tahanan.
Namun posisi itu justru memberi keuntungan baginya karena mendapat keluluasaan untuk memikirkan caranya melarikan diri dari penjara itu. Pada suatu kesempatan Johanes disuruh bekerja keluar tembok. Sebuah kesempatan emas yang ditunggu-tunggu sudah di depan mata. Tanpa kesulitan berarti Johanes bersama kedua rekannya berhasil kabur.
Pulau Seram adalah tujuan mereka. Kedua rekannya berasal dari pulau itu. Pada malam hari, setelah bersembunyi di kampung di pinggir pantai, mereka dibantu pemuda Kampung Wakasiha dan menyebrang ke Pulau Seram.
Serta merta pelarian mereka dari penjara Ambon menjadi berita besar di kalangan aparat keamanan dan petugas pemerintah. Perintah memburu dan menangkap Johanes dikeluarkan. Untuk menghindari itu Johanes harus terus bergerak pindah dari satu pulau ke pulau lainnya.
Sebuah upaya penangkapan bagi Johanes sebenarnya hampir saja dilakukan ketika mereka tiba di pulau Manipa dan menginap di rumah Haji Musa. Rupanya Polisi telah memperoleh informasi mengenai keberadaan mereka. Rumah Haji Musa digrebek oleh polisi yang didatangkan dari Piru.
Waktu itu penggerebekan dilakukan di malam hari sehingga keributan itu membangunkan penduduk dan mendatangi rumah Haji Musa. Kerumunan tetangga Haji Musa ternyata mempersulit langkah polisi. Lagi-lagi kesempatan itu dimanfaatkan dengan baik oleh Johanes dan rekannya melarikan diri di tengah malam yang gelap gulita.
Masa pelarian membuat ternyata membuat Johanes lelah. Tak diduga buron paling dicari Belanda itu kembali ke Kota Namka dan menyerahkan diri. Padahal masyarakat di kota itu sudah tidak mengenali penampilannya lagi. Polisi yang menerima penyerahan dirinya pun awalnya tidak percaya kalua dia adalah buronan bernama Johanes Papua.
“Saya Johanes Papua, mari sama-sama pergi ke Namka. Saya menyerah,” kata Johanes kepada polisi yang sedang patroli.
Ia kemudian kembali di bawa ke Rumah penjara Pohon Pule, Ambon. Pada Bulan Agustus 1947 bersama 12 orang lainnya ia dipindahkan ke Rumah Penjara Trungku Layang di Makassar. Ternyata di rumah penjara ini terdapat 3000 tahanan. Di dalam tahanan ini ia berkenalan dengan Andi Bahtiar, Hasanuddin, Andi Arsad yang ternyata mereka adalah pejuang-pejuang Sulawesi Selatan.
Namun situasi politik berubah dan pada akhir bulan Desember 1949 Johanes dibebaskan dari penjara karena pemerintah Belanda telah mengakui kedaulatan Indonesia.
Coretan dinding anti penjajah Belanda di Irian Barat.
Pembebasan Irian Barat
Situasi Indonesia pasca kemerdekaan justri diwarnai oleh perang saudara. Tatkala kembali ke Ambon situasinya justru sedang memanas. Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) berkuasa di wilayah itu, enggan mengakui dan bergabung dengan Indonesia. Soumofkil telah memproklamasikan berdirinya RMS.
Johanes yang pernah menyatakan dirinya merah putih diancam akan dibunuh. Segera mereka angkat kaki kembali ke Makassar dan melaporkan situasi di Ambon kepada Batalyon Pattimura yang saat itu sudah terbentuk. Mayor Pieters nama komandan batalyon yang menerimanya.
Tanpa prosedur administrasi militer yang rumit, ia langsung diterima sebagai anggota Batalyon Pattimura. Pada bulan Juli Batalyon Pattimura diperintahkan berangkat ke Pulau Buru. Dimara dimasukkan dalam Kompi Letnan Mailoa. Rupanya di Pulau Buru, terutama Namka, pertahanan pasukan RMS sangat kuat, yang dipimpin oleh Liestieka mantan Sersan Mayor Baret Hijau KNIL. Kekuatan mereka lebih kurang satu kompi 150 orang.
Pada 14 Juli 1950 pasukan TNI didaratkan di Pulau Buru. Pendaratan TNI di Namka ini amat dramatis. Pasukan RMS yang berada dibalik pohon-pohon sagu melepaskan tembakan tanpa henti. Dengan bantuan tembakan senjata berat dari (korvet) Pattimura pasukan TNI berhasil mendarat, dan merebut Namka.
Pasukan pendarat melanjutkan gerakannya ke Seram. Di Pulau Buru ditempatkan dua Batalyon, Batalyon Pellupessy dan Batalyon Pieters, Kesatuan Induk Dimara. Dalam pertempuran ini Johanes tertembak di bahunya. Ia ditolong oleh penduduk, dibawa ke markas komando batalyon. Karena lukanya dianggap parah dokter batalyon menyarankan agar Dimara dirawat di Makassar. Ia dirawat di rumah sakit Stella Mario.
Beberapa bulan setelah terjadi peristiwa pembangkangan Kapten Azis (April 1950), Presiden RIS Ir. Soekarno melakukan perjalanan dinas ke Makassar. Pada kesempatan itu Presiden mengunjungi para prajurit yang dirawat di rumah sakit itu. Ada seorang pasien yang menarik perhatian Presiden. Presiden menanyakan identitasnya.
“Itu orang Papua”, jawab dokter Mailoa.
Presiden menghampirinya dan terjadi tanya jawab singkat.
Pasca sembuh dari luka-lukanya, sebagai anggota militer melapor kepada pejabat militer tertinggi di wilayah Maluku, Letnan Kolonel Suprapto Sokowati Komandan Resimen Infranti 25/ Maluku. Ia kemudian mendapat tugas membentuk satu organisasi perjuangan pembebasan Irian Barat, tanah kelahirannya.
Tak menunggu waktu lama Organisasi Pembebasan Irian (OPI) dibentuk dan Johanes diangkat sebagai Pembantu Letnan Satu (Peltu), kemudian diberi jabatan Komandan Peleton Perhubungan Resimen Infranti 25/ Tentara dan Teritorium VIII di pulau Seram.
Organisasi Pembebasan Irian adalah organisasi rahasia yang bertugas melatih para prajurit yang terdiri atas orang suku Papua yang diseleksi secara ketat. Pusat pelatihannya di Ambon. Tugasnya, melakukan Infiltrasi ke daratan Irian, membangun opini masyarakat agar berpihak kepada NKRI.
Suatu hari Johanes dipanggil ke Jakarta. Sebuah panggilan khusus dari Presiden Soekarno diperolehnya.
“Anak dimara (nama belakang Johanes), Bapak perintahkan masuk Irian Barat dengan pasukanmu. Bagaimana pun Anak harus berbuat sesuatu,” begitu perintah Sang Proklamator.
Dua pekan pasca pemanggilan Soekarno itu Johanes dipanggil Komandan Resenian Infranter 25/TT VII, Kolonel Sokowati untuk membicarakan penugasannya masuk daratan Irian Barat. Para anggota OPI yang pernah di latih di Ambon dipanggil dan dilatih kembali selama satu minggu.
Memimpin kekuatan satu peleton atau 40 orang, pada 17 Oktober 1954, dimulailah hari operasi dengan sebuah kapal motor berangkat dari Ambon menuju Dobo Kepulauan Aru dan tiba pada tanggal 19 Oktober 1954. Pasukan Belanda menyambut kedatangan Johanes dan anak buahnya. Terjadi pertempuran di dekat Telaga Yamor. Pasukan Johanes berhasil disergap dan 11 orang gugur. Sisanya berhasil ditangkap, termasuk Johanes dan dibawa ke Sorong.
Johanes dan pasukannya kemudian dihadapkan ke pengadilan Hollandia. Hakim Van der Vein yang pernah mengadili Dimara di Ambon pada 1946 ternyata masih mengenalinya.
“Johanes Papua!, Kamu dulu sudah ditangkap di Ambon. Sekarang kamu di sini lagi. Tidak Tobat…,” hakim itu menyalak.
Tanpa Vonis yang jelas Ia diangkut ke rumah penjara Digul yang terkenal angker karena merupakan rumah penjara khusus bagi pelaku kriminal kelas berat. Letaknya di seberang sungai Digul, berdekatan dengan Kamp tahanan politik, dimana Bung Hatta pernah menjadi tahanan.
Tujuh tahun lamanya Johanes mendekam di situ. Sekali waktu ia bermimpi bertemu dengan Presiden Soekarno dan Merah Putih berkibar. Ternyata empat bulan pasca mimpi itu, tepatnya pada 18 April 1961 ia bebas dari penjara. Bahkan lima bulan kemudian, tepatnya di bulan September, mimpinya itu menjadi kenyataan. Ia dipanggil Presiden Soekarno.
”Anak Dimara, terima kasih sudah pulang dengan selamat. Kamu Pahlawan Irian Barat! Mulai sekarang Dimara sebagai tokoh Irian Barat. Dimara saya utus untuk menjadi perwakilan Irian Barat di PBB,” perintah Soekarno.
Begitulah Johanes yang di sepanjang perjalanan hidupnya mengabdi kepada negara. Johanes Abraham Dimara meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 20 Oktober 2000. Atas berbagai jasanya kepada negara, Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor : 052/TK/Tahun 2010 tanggal 8 November 2010.(Rafael Sebayang)