20 Juni 2018
20:58 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Maret lalu, majalah Forbes baru saja meluncurkan rilisan nama-nama orang terkaya sedunia. Lagi-lagi, keluarga Hartono yang mencecap nikmatnya bisnis rokok kretek menjadi daftar paling atas sebagai orang terkaya Indonesia.
Dengan kekayaan mencapai US$17,4 miliar; Budi Hartono yang bertitel sebagai bos PT Djarum berhasil menempati urutan ke-69 sebagai orang terkaya di Planet Bumi. Sementara itu, saudaranya, Michael Hartono menempati peringkat ke-75 sebagai orang terkaya sedunia dengan harta kekayaan mencapai US$16,7 miliar.
Bukan hanya Forbes, Juni ini pun media Inggris The Sunday Times menobatkan Hartono bersaudara tersebut ke dalam 33 besar orang berpenghasilan terbesar sedunia. Harta kekayaan dari pemilik nama Tionghoa, Oei Hwie Tjhong dan Oei Hwie Siang ini ditaksir mencapai US$34,2 miliar.
Jauh sebelum tembakau dilinting menjadi rokok kretek kemudian memakmurkan Keluarga Hartono, di kisaran akhir tahun 1800-an ada seorang marga Oei lain di Indonesia yang sukses menyabet gelar orang terkaya se-Asia. Adalah Oei Tiong Ham, juragan yang pada akhir hidupnya mampu mewariskan 200 juta gulden untuk anak cucunya.
Nominal 200 juta gulden bukanlah jumlah yang kecil pada masa itu. Pasalnya, 1 gulden ditetapkan setara dengan 0,6 gram emas. Artinya, sebanyak 200 juta gulden bisa disetarakan dengan 120 ton emas. Apabila kukuh mengonversikannya ke nilai masa kini, kekayaan Oei Tiong Ham hampir mencapai Rp76,8 triliun.
Jika keluarga Hartono berlimpah harta karena hasil tembakau, Oei Tiong Ham mampu menggarap kesuksesan dengan merintis jalan sebagai saudagar gula. Ia bahkan dijuluki sebagai “Raja Gula dari Semarang”.
Merintis dari Opium
Sejak lahir, hidup Tiong Ham sebenarnya sudah cukup nyaman. Ayahnya Oei Tjie Sien merupakan salah satu pedagang beras termasyhur yang ada di Semarang. Dengan kekayaannya, Tiong Ham pun mampu mencecap hidup yang tak berkekurangan, bahkan cenderung berfoya-foya.
Menikmati hidup nyaman sedari dini sempat membuat Tiong Ham lupa diri. Berjudi menjadi permainannya sehari-hari. Penghargaan terhadap uang pun hampir tidak ada sebab menurutnya, kehilangan uang tidak akan membuat seseorang menjadi miskin. Prinsip yang amat berbeda dengan ayahnya inilah yang kerap membuat Tiong Ham sering bersitegang dengan Tjie Sien.
Tjie Sien memang sangat ketat di dalam pengaturan keuangan. Hemat menjadi prinsip hidupnya. Sementara itu, Tiong Ham menganggap berjudi dapat menjadi jalan pintas untuk meraih kekayaan yang melimpah.
Namun akhirnya, pemuda kelahiran November 1866 ini menjadi sedikit “bertobat” setelah kalah di meja judi dan menghilangkan uang ayahnya sekitar 10 ribu gulden, yang merupakan hasil pungutan uang keswa ke beberapa penyewa tanah ayahnya.
Dari penyesalan itulah, Tiong Ham mulai serius menjejaki berbagai bisnis yang mampu menelurkan pundi-pundi bagi keluarganya. Pada tahun 1890 atau ketika usianya memasuki 24 tahun, Tiong Ham mulai memasuki bisnis opium. Saat itu, bisnis opium atau candu memang dilegalkan di nusantara oleh Belanda.
Tiong Ham pun terbilang sukses mengelola bisnis ini. Ia bahkan mendapat pangkat major dari Belanda karena prestasinya di bisnis tersebut. Bagaimana tidak, pemuda yang telah menikah sejak usia 17 tahun ini mampu memperdagangan opium di empat kota besar di masa itu, yakni Semarang, Yogyakarta, Surakarta, hingga Surabaya.
Kurang lebih 13 tahun berbisnis opium, keuntungan yang diperoleh Tiong Ham pun tidak tanggung-tanggung. Angkanya ditaksir mencapai 18 juta gulden.

Judi Gula
Hidup berkecukupan dengan interaksi yang cukup intens dengan berbagai kalangan atas tak ayal membuat koneksi Tiong Ham pun meluas. Pola pikirnya pun terbentuk seiring berbagai pertemuannya dengan orang-orang penting. Pertemuannya yang paling penting tak lain adalah dengan seorang pensiunan berkebangsaaan Jerman yang kerap disebut sebagai Tuan Peter. Dari dialah ide bisnis gula mulai merasuk dalam diri Tiong Ham.
Dalam buku Oei Hui Lan; Kisah Putri Raja Gula dari Semarang, dikisahkan kedekatan Tiong Ham dengan Tuan Peter bermula dari lobi-lobi pria Jerman itu agar Tiong Ham mau menjual salah satu rumah ayahnya yang tidak ditempati. Pria itu pun menawarkan nilai 300 ribu gulden untuk bisa mendapatkan rumah itu.
Pada saat itu, keinginan Tuan Peter telah disampaikan kepada Tjie Sien, namun ditolak. Maklum saja, orang Tionghoa menganggap tabu menjual aset rumahnya karena bisa dianggap bangkrut. Di sisi lain, Tiong Ham yang berpikiran lebih terbuka memandang hal tersebut sebagai sekadar bisnis.
Tiong Ham bersepakat akan menyerahkan rumah tersebut kepada Peter. Satu syaratnya, itu dilakukan jika ayahnya telah meninggal. Merupakan anak sulung laki-laki, bukan hal sulit bagi Tiong Ham untuk bisa mendapatkan hak waris untuk rumah yang diinginkan Peter. Uang 300 ribu gulden pun langsung diserahkan kepada Tiong Ham dengan modal kepercayaan. Itu terjadi selang tak sampai setahun dari Tiong Ham memulai bisnis opiumnya.
Uang sebanyak 300 ribu gulden jelas bukan jumlah yang kecil. Dengan uang tersebut, Tiong Ham bertekad melakukan ekspansi bisnis. Sayangnya, ia masih gamang mengenai bisnis yang hendak ia geluti nantinya.
Kebingungannya seakan memperoleh jawaban ketika mendapat jamuan di rumah Tuan Peter pasca kesepakatan yang mereka lakukan. Disuguhi air gula halus, Tiong Ham sempat terheran-heran ada gula yang demikian. Maklum saja, gula homemade yang diproduksi di Pulau Jawa pada waktu itu masih sangat kasar-kasar.
Ternyata, kehalusan gula yang tersaji dalam secangkir air manis tersebut merupakan oleh-oleh dari Jerman. Dari situlah perbincangan mengenai bisnis gula yang demikian menjanjikan di Eropa menjadi demikian seru. Bakat binis yang sejatinya telah terpatri di diri Tiong Ham juga bergejolak.
Tiong Ham melihat peluang dunia yang demikian besar dari manisnya gula. Di Eropa saja, produk tersebut demikian laris, walaupun bahan bakunya hanya jagung. Jelas dari bahan baku, nusantara jauh lebih siap karena memiliki barisan perkebunan tebu yang siap menyuplai kebutuhan pasar akan komoditas manis tersebut.
Hanya saja, kondisi bisnis gula di nusantara pada saat itu ibarat hidup segan mati tak mau. Banyak pabrik gula bangkrut di kisaran akhir tahun 1800-an tersebut. Karena itu jika ingin memulai bisnis gula, tentulah bukan perkara simpel. Untuk diketahui, pabrik-pabrik gula di Pulau Jawa pada masa itu memang telah dikuasai oleh orang China, hanya saja masih dikelola secara kecil-kecilan dan kerap mengalami gulung tikar.
Namun, Tuan Peter meyakinkankan. Ia percaya jika dikelola secara lebih masif dan besar, manisnya untung pabrik gula bisa semanis rasa minuman yang tengah mereka suruput kala itu. Mendengar hal tersebut, kebiasaan berjudi Tiong Ham kembali menggeliat. Ia pun mempertaruhkan kekayaan yang dimilikinya saat itu untuk mulai membangun kerajaan bisnis gulanya.
Bermodal 300 ribu gulden yang diterimanya dari Tuan Peter dan tambahan keuntungan dari bisnis opiumnya, Tiong Ham memulai pergerakannya di bisnis gula. Mula-mula, ia membeli pabrik gula yang sedang merugi.
Perjudiannya kali ini sukses besar. Tidak hanya mampu menyelamatkan pabrik tersebut dari kebangkrutan, nyatanya untung melimpah berhasil didapuk. Tidak berselang lama, ia bahkan kembali berhasil mengakuisisi 5 pabrik gula di Pulau Jawa.
Sebelum usianya genap 30 tahun, Tiong Ham telah memiliki kerajaan bisnis gula yang diberi nama Maatschappij tot Exploitatie der Oei Tiong Ham Suikerfabrieken sebelum usianya genap 30 tahun. Predikat sebagai “Raja Gula dari Semarang” pun telah tersemat. Pada saat itu, mayoritas pasokan gula di dunia berasal dari pabrik-pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Cepat puas rasanya tidak ada dalam kamus Tiong Ham. Meskipun sukses besar dalam bisnis gulanya, jutawan gulden ini telah melebarkan sayap bisnisnya ke berbagai komoditas. Diketahui, bisnisnya merambah ke kopra hingga tapioka.
Taktiknya sama ketika ia mulai berjudi di bisnis gula. Tiong Ham gemar membeli pabrik komoditas yang hampir bangkrut. Di tangan dinginnya, untung kembali bisa diraih. Dengan taktik ini, akhirnya Tiong Ham mampu membuat grup usaha yang diberi nama Oei Tiong Ham Concern untuk berbagai komoditas.
Pelopor Modernisasi
Salah satu pemicu kesuksesan Tiong Ham dikarenakan konsep profesionalisme dan modernisasi yang kedepankan dalam bisnis gula. Tidak seperti ayahnya yang agak kolot dengan bisnis turun-temurun China yang percaya kepada keluarga, Tiong Ham justru mendatangkan banyak tenaga ahlinya dari Eropa.
Ya, Tiong Ham tak segan merekrut orang-orang non-Tionghoa sebagai pihak kepercayaannya. Intinya, jika kompeten maka siapapun bisa bekerja dalam bisnis manis Si Raja Gula Semarang ini. Tidak hanya di bisnis gula, orang-orang Belanda pun banyak ia rekrut sebagai pekerja di rumahnya hingga sebagai sopinya.
Tidak hanya tenaga ahli, Tiong Ham pun berani mengambil gebrakan besar dalam bisnis gulanya untuk menggunakan mesin listrik yang langsung didatangkang dari Benua Eropa. Untuk hal ini, ia dibantu oleh Tuan Peter. Pabrik gula Tiong Ham kala itu pun disebut-sebut sebagai yang pertama menerapkan praktik industrialisasi modern.
Untuk diketahui, Pabrik Gula Rejoagung milik Oei Tiong Ham merupakan yang pertama menggunakan teknologi elektrifikasi. Ia juga mempekerjakan para teknisi barat, akuntan, dan pengacara didikan barat. Para ahli dari Jerman juga didatangkan sebagai penasihat untuk mengolah hasil panen secara modern.
Uniknya, meski banyak karyawannya yang berpendidikan tinggi dari Eropa, Tiong Ham justru menempatkan orang yang tidak berpendidikan tinggi sebagai pemimpin perusahaan. Adalah Tan Tek Peng yang ia daulat menjadi pucuk pimpinan bisnisnya.
Menurut Tiong Ham, orang yang tidak berpendidikan cenderung memiliki mental judi yang lebih kuat. Langkah berani untuk mengembangkan bisnis pun dipercaya dapat lahir dari orang-orang yang demikian.
Tak ayal, upaya-upaya tersebut membuat binis Tiong Ham kian berkembang. Pria yang disinyalir memiliki 18 istri dan 42 anak ini bahkan mampu membuka kantor perwakilan usahanya di Eropa. Antara lain di Amsterdam, London, hingga New York.
Di tahun 1901, ketika usianya baru 35 tahun, gelar kehormatan Majoor der Chinezen dinobatkan kepadanya. Usahanya pun terus berkembang. Dalam buku Oei Tiong Ham: Kerajaan Bisnis Pertama di Asia Tenggara, Tiong Ham bahkan diakui sebagai orang terkaya di Asia Tenggara. Total kekayaannya ditaksir mencapai 200 juta gulden.
Senada, surat kabar De Locomotief yang terbit di Semarang juga kian mengukuhkan posisi Tiong Ham sebagai orang terkaya di Asia Tenggara. Surat kabar tersebut bahkan menjuluki Tiong Ham sebagai The Richest man between Shanghai and Australia.
Wajar saja jika banyak pihak mendaulat Tiong Ham sebagai orang terkaya. Cecap manis berbagai bisnis komoditas yang dikelola pria Tionghoa tersebut tak hanya mampu memberi kekayaan tujuh turunan bagi keluarganya. Dari keuntungannya, Tiong Ham bahkan bisa membayari kerugian perang yag dialami Belanda di pada tahun 1921. Nilainya cukup besar, mencapai 35 juta gulden.

Pindah ke Singapura
Semarang nyatanya tidak selamanya menjadi “rumah nyaman” bagi Tiong Ham dan keluarganya. Pajak tinggi yang kian diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi salah satu penyebabnya.
Tidak hanya itu, seperti tidak tahu berterima kasih, pihak Belanda bahkan meminta Tiong Ham menjual kebun tebunya. Jelas Tiong Ham menolak. Seperti ayahnya yang dulunya kabur dari daratan China, kini Tiong Ham pun kabur dari daratan nusantara. Ia pindah ke Singapura.
Tidak ubahnya seperti di Semarang, kehidupan Tiong Ham di Singapura sangat glamor. Ia dikenal sebagai tuan tanah, rumahnya di mana-mana. Bahkan disebut-sebut, di kisaran tahun 1920-an tersebut luas tanah Tiong Ham mencapai seperempat dari luas kepulauan Singapura.
Selama menetap di Singapura, Oei Tiong Ham menjadi orang yang sangat dermawan. Ia diketahui pernah menyumbang 150 straits dollar kepada Malayan University dan US$40 ribu kepada Joseph School yang memiliki sekolah rendah hingga setingkat universitas.
Masyarakat Singapura pun amat menghormati Si Raja Gula dari Semarang ini. Hingga akhirnya, namanya diabadikan sebagai nama jalan di samping Jalan Raya Holland Road yang menjurus ke daerah Industri Jurong, Singapura.
Selain karena pemaksaan penjualan kebun tebunya, keputusan pindahnya Tiong Ham ke Singapura dikarenakan dia hanya mau mewariskan usahanya kepada anak dan istrinya yang dianggap mampu berbisnis. Keinginan tersebut tak akan mampu terwujud di Semarang karena hukum Hindia Belanda yang mengharuskan tiap orang membagikan warisanya kepada seluruh anaknya.
Keinginannya pada akhirnya memang tidak tercapai. Sebab ketika meninggal pada usia 57 tahun karena serangan jantung pada 3 Juni 1924, semua anak sang raja gula ini menuntut warisannya.
Tak lama mencecap warisan, generasi kedua keluarga Oei Tiong Ham harus rela melepas bisnis yang membuat mereka hidup bergelimang harta. Perusahaan dinasionalisasi pada tahun 1964. Aset-aset sang raja pun disita oleh pemerintah Indonesia karena dianggap melanggar aturan mengenai valuta asing.
Meskipun demikian, pabrik gula “hasil judi” Tiong Ham sejatinya masih tetap berdiri. Hanya saja nama dan kepemilikannya telah berganti. Tiada lagi Oei Tiong Ham Concern yang menjadi gurita bisnis Si Raja Gula dari Semarang ini. Per 12 Oktober 1964, pabrik gula tersebut berubah menjadi PT Perusahaan Perkembangan Ekonomi Nasional Rajawali Nusantara.
Masih terdengar asing? Nyatanya, perusahaan tersebut merupakan cikal bakal dari PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) yang merupakan BUMN perkebunan tebu di Indonesia saat ini. (Berbagai Sumber, Teodora Nirmala Fau)