10 Februari 2021
15:00 WIB
JAKARTA – Sebuah bangunan mirip pendopo menaungi lima makam yang berjejer di bawahnya. Kesan sakral jelas kentara ketika memasuki areal makam yang terletak di samping Masjid Jami Assalafiah, Jatinegara Kaum, Pulo Gadung, Jakarta Timur itu. Sementara wangi pohon basah berpadu wangi dupa menguar di sekitarnya.
Lima makam di areal pemakaman itu masing-masing dihiasi tanaman bunga. Kelima makam itu, antara lain makam Pangeran Lahut Pa. Djaketra, Pangeran Soeria, Pangeran Sageri, Ratu Rapiah, dan makam yang tampak lebih besar, makam Achmad Djaketra atau Pangeran Jayakarta.
Pangeran Jayakarta dikenal sebagai pejuang yang mempertahankan Batavia sebelum menjadi Jakarta dari ancaman pemerintah kolonial. Pria dengan nama asli Achmad Jaketra itu pertama kali menyandang gelar Pangeran Jayakarta, penguasa Pelabuhan Jayakarta di awal abad ke-17.
Berdasarkan pengamatan Validnews, sore itu tidak banyak orang datang berziarah. Hanya ada dua pria yang duduk bersila di depan salah satu makam. Seorang pria tampak merapal doa, sementara seorang lagi membaca ayat-ayat suci dari Al-qur’an.
Berziarah ke makam Pangeran Jayakarta menjadi bagian kegiatan spiritual bagi sebagian masyarakat. Banyak yang sengaja menyempatkan diri datang ke lokasi ini untuk berdoa sekaligus menghormati jejak perjuangan Pangeran Jayakarta sebagai pejuang bangsa.
Salah seorang peziarah, Unarto (37), mengaku sengaja datang untuk mengikat tali silaturahmi batin dengan Pangeran Jayakarta. Menurutnya, meski jasadnya telah tiada, semangat dan nilai-nilai yang diperjuangkannya masih tetap bisa diserap generasi hari ini.
“Beliau kan pejuang bangsa juga ya, tokoh besar, beliau juga menyebarkan nilai-nilai kebaikan. Menurut saya bagus kalau bisa datang berziarah, untuk menghormati jasa beliau,” terang Unarto kepada Validnews, saat ditemui di lokasi makam, Selasa (9/2).
Unarto menyempatkan diri berdoa dan membaca surat Yasin di samping makam Pangeran Jayakarta. Lelaki yang mengaku berasal dari Pondok Labu, Jakarta Selatan tersebut memang gemar mengunjungi makam-makam bersejarah, baik yang ada di Jakarta maupun di daerah lainnya.
Sebagaimana Unarto, peziarah lainnya yang berada di dekat makam juga tampak berdoa, bersila dengan khusuk di samping makam Pangeran Jayakarta. Ia seolah tengah menyesap semangat dan ‘tuah’ Pangeran Jayakarta, pejuang yang pada masa hidupnya terkenal garang tiap kali berhadapan dengan pasukan Belanda.
Pengelola makam sekaligus pengurus Masjid Jami’ Assalafiah mengatakan, setiap hari selalu ada orang dari berbagai wilayah datang berziarah ke makam. Jumlahnya memang tidak banyak, hanya berkisar 30–50 peziarah setiap harinya. Apalagi di masa pandemi, jumlah peziarah lebih sedikit lagi.
Namun pengunjung yang datang tak hanya dari Jakarta, tapi juga dari luar daerah. Mereka datang berziarah ke makam Pangeran Jayakarta dan keluarga.
“Di sana makam Pangeran Jayakarta. Lalu empat makam lainnya itu keluarga, putra, cucu hingga ada cicit-cicit Pangeran Jayakarta,” kata Mulyadi kepada Validnews.
Hingga kini, makam Pangeran Jayakarta dan keluarga masih terawat, bersih dan rapi. Pengurus makam rutin melakukan pembersihan, meletakkan bunga serta membasuh makam dengan cairan aneka aroma wangi.
Perjuangan Pangeran Jayakarta
Berbagai literatur sejarah menyebutkan, Pangeran Jayakarta adalah putra Pangeran Sungeresa Jayawikarta dari Kesultanan Banten. Jayakarta sendiri merupakan nama gelar untuk penguasa di wilayah kerajaan Sunda Kelapa, yang merupakan cikal-bakal Batavia dan kemudian menjadi Jakarta.
Pangeran Jayakarta dulunya berkedudukan di dekat wilayah pelabuhan , tepatnya Mangga Dua. Pangeran ini adalah sosok yang tak kenal kompromi dengan penjajah sehingga selalu jadi incaran serangan prajurit Belanda. Suatu waktu, tekanan dari pasukan Belanda bertambah kuat, Pangeran Jayakarta terpaksa berpindah ke sisi lain kota, yaitu ke arah Timur.
Lokasi benteng pertahanan baru yang dipilih Pangeran Jayakarta berada di kawasan sepi penduduk, di seberang Kali Sunter. Wilayah itu masih banyak hutan belukar sehingga cocok menjadi pusat kedudukan sekaligus benteng pertahanan dari serangan penjajah Belanda.
Di tempat inilah, Pangeran Jayakarta membangun masjid yang kemudian hari menjadi salah-satu masjid tertua di Jakarta, Masjid Jami’ Assalafiah. Konon, masjid ini dulunya sekaligus menjadi pusat pertemuan para pengikut Pangeran Jayakarta, untuk menyusun taktik gerilya melawan Belanda.
Di bawah kepemimpinan Pangeran Jayakarta, wilayah sekitar benteng berkembang dan tumbuh semakin ramai. Wilayah ini di kemudian hari dinamakan Jatinegara, yang menurut penuturan pengelola Masjid Jami’ Assalafiah, berarti ‘pemerintahan sejati’.
Pangeran Jayakarta kala itu menjaga Jatinegara dari serangan-serangan luar. Ia juga menjadi pemimpin di wilayah tersebut sambil menyebarkan nilai-nilai perjuangan dan nilai-nilai Islam.
Benteng pertahanan di Jatinegara menjadi tempat Pangeran Jayakarta menempuh akhir hidupnya. Pangeran ini meninggal sekitar pertengahan abad ke-17. Sejumlah sumber sejarah menyebut Pangeran Jayakarta wafat tahun 1640 kemudian dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya, Masjid Jami’ Assalafiah.
Jasa Pangeran Jayakarta dikenang masyarakat Jakarta hingga kini. Gubernur Jakarta Ali Sadikin meresmikan bangunan makam Pangeran Jayakarta pada tahun 1968. Kemudian pada tahun 1999, Pemerintah DKI Jakarta menetapkan Makam Pangeran Jayakarta sebagai benda cagar budaya. (Andesta Herli)