c

Selamat

Selasa, 4 November 2025

KULTURA

10 Oktober 2018

18:20 WIB

Lirik dan Nada Sederhana Karya Ibu Soed Bagi Anak-Anak dan Bangsa

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Lirik dan Nada Sederhana Karya Ibu Soed Bagi Anak-Anak dan Bangsa
Lirik dan Nada Sederhana Karya Ibu Soed Bagi Anak-Anak dan Bangsa
Ibu Soed. Ist

JAKARTA –  Minggu, 12 Desember 1993, Saridjah Niung berpulang pada Sang Khalik setelah 85 tahun menyaksikan tiga zaman perjalanan bangsa Indonesia. Saat penjajahan Belanda, Jepang, dan Indonesia merdeka.

Peran sebagai guru, pemusik, pencipta lagu, pembuat motif batik, bahkan sebagai saksi peristiwa kemerdekaan Indonesia, dia lakoni. Pantas, penghargaan Satya Lencana Kebudayaan diberikan pemerintah sebagai penghormatan pada jerih payah Ibu Soed, begitu nama wanita yang lahir di Sumedang, 26 Maret 1908 ini dikenal banyak orang.

Semasa hidupnya, Ibu Soed telah menciptakan ratusan lagu anak. Pada era 1970 atau 1980-an, lagu ‘Tik Tik Bunyi Hujan’, ‘Becak’, ‘Burung Kutilang’, ‘Naik Delman’, dan ‘Kupu-kupu’ menjadi sekian dari banyak lagu yang dia ciptakan. Memang, dia mencintai anak-anak.

Ada banyak sisipan yang ingin disampaikan Ibu Soed dalam setiap lagu ciptaannya.

Lagu-lagu Ibu Soed secara musikal sederhana sehingga cocok untuk anak-anak. Penggunaan gerak nada, seperti gerak melangkah, memberikan kemudahan bagi anak-anak untuk menyuarakannya. Selain itu, pola repetisi nada dan pilihan kecepatan irama sedang (andante), tidak menyulitkan anak-anak untuk menyanyikannya.

Kesederhanaan dalam lagu ciptaan Ibu Soed terbungkus dengan struktur pola ritmik yang didominasi oleh pola penempatan satu bunyi nada pada satu ketukan. Penempatan paling banyak adalah dua bunyi nada dalam satu ketukan. Motif dalam susunan pola ritmiknya juga hanya terdiri dari empat motif yang diulang-ulang. Unsur inilah yang membuat lagu ini terkesan mudah, ringan, tetapi tetap memiliki kekuatan keindahan.

Kesederhanaan dalam unsur-unsur musikal memang begitu kuat dalam setiap karya Ibu Soed. Unsur-unsur tersebut yaitu unsur irama, pola ritmik, melodi, dan unsur kemudahan pelafalan, penghafalan, dan pesan dalam teks musikalnya.

Kesederhanaan tersebut memberi peluang bagi anak-anak untuk dapat menyanyikan karya Ibu Soed dengan mudah. Oleh karena itulah, lagu Burung Kutilang tetap digunakan dalam pendidikan anak-anak hingga kini, karena dirasakan masih ideal baik secara musikal maupun teks lagunya.

Liriknya bertutur santun, apa adanya dan mendidik, namun tidak menggurui. Lagu-lagu yang diciptakan Ibu Soed sangat terkenal di kalangan anak-anak Indonesia.

Ironisnya, lagu-lagunya kini tak banyak lagi didengar oleh anak-anak saat ini sekarang. Anak-anak Indonesia masa kini banyak yang menyukai dan hafal lagu-lagu orang dewasa bertemakan cinta. Hingga saat ini, dunia musik Indonesia merindukan lagi lagu anak yang baik seperti lagu-lagu ciptaan Ibu Soed.

Bermula Sebagai Guru
Putri bungsu dari 12 bersaudara ini sebenarnya lahir dari keluarga tidak berada. Maklum ayahnya yang bernama Mohamad Niung hanya seorang pelaut asal Bugis, Makasar. Penghasilan sang ayah sebagai seorang pelaut ternyata masih kurang untuk menghidupi keluarga besarnya.

Ayahnya lalu hijrah ke Sukabumi, Jawa Barat, dan bekerja sebagai pengawal seorang pria keturunan Belanda bernama JF Kramer. Seorang pensiunan Wakil Ketua Kejaksaan Tinggi pada waktu itu, yang merupakan seorang keturunan dari seorang ayah Belanda dan ibu dari Jawa.

Kramer juga saudagar kaya pada zaman pemerintahan Belanda itu tertarik melihat kepandaian Saridjah. Bakat memainkan alat musik sejak kecil telah dilihat oleh Kramer sehingga dijadikan sebagai anak angkat. Karena memiliki hobi yang sama dengan Kramer, Saridjah kecil lalu belajar memainkan bermacam alat musik.

Selepas mempelajari seni suara, seni musik dan belajar menggesek biola hingga mahir dari ayah angkatnya, Saridjah melanjutkan sekolahnya di Hoogere Kweek School (HKS) Bandung. Dia ingin memperdalam ilmunya di bidang seni suara dan musik.

Setelah tamat, ia kemudian mengajar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Saat itu ia merasa kesal karena harus mengajarkan murid-murid Indonesia lagu berbahasa Belanda. Ia sangat prihatin dengan tidak adanya lagu anak berbahasa Indonesia. Semangat anti-penjajah mekar dalam diri Saridjah.

Saridjah kerap termenung melihat banyak anak didiknya di HIS tampak kurang bahagia. Dia mencoba membuat suasana lebih menyenangkan. Dia lalu menciptakan dan mengajarkan lagu-lagu yang berbahasa Indonesia dengan lirik yang mudah dimengerti daripada lagu-lagu berbahasa Belanda, kepada siswanya. Dari sinilah titik tolak dasar Saridjah untuk mulai mengarang lagu.

Kemudian terlintaslah gagasan untuk membuat lagu-lagu untuk mereka. Tujuannya tidak lain ialah untuk memberikan kegembiraan kepada anak-anak, kemampuan berimajinasi sehingga pada akhirnya dapat mencipta lagu sekaligus bekerja.

Karena itu, ia mulai memberanikan diri untuk menulis lagu anak berbahasa Indonesia dengan harapan bisa memberikan kegembiraan kepada anak-anak serta bisa meningkatkan kemampuan berimajinasi, agar anak-anak dapat berkreasi sendiri dan bekerja.

Dalam berbagai kesempatan, Saridjah sering berujar bahwa masa kanak-kanak adalah masa yang penting untuk memupuk nilai-nilai moral, toleransi, dan cinta tanah air. Menurut dia, semua hal itu perlu ditanamkan sejak dini. Tujuannya, agar anak-anak Indonesia kelak mempunyai bekal yang cukup  untuk menjadi penerus terwujudnya cita-cita bangsa.

Ibu Sud (kedua kanan) di Tumenggung, Jawa Tengah tahun 1953. Ist

Jejak Pengabdian
Tahun 1928, Saridjah yang tersengat semangat anti-penjajahan, bergabung menjadi anggota Indonesia Muda dan menjadi Pengurus Besar Keputrian Indonesia Muda (PBKIM). Organisasi tersebut menangani masalah keputrian dan kebudayaan. Dari organisasi inilah Saridjah mulai akrab dengan tokoh-tokoh pergerakan, seperti Mohammad Yamin, Mr Assad, dan tokoh lainnya.

Masih dalam tahun yang sama, Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij (Maskapai Siaran Radio Hindia Belanda) mulai menyiarkan lagu anak-anak ciptaannya. Seperti ‘Bila Aku Besar’, ‘Bila Sekolah Usai’, dan ‘Adik Mulai Berjalan’.

Kondisi peperangan kala itu telah membuat anak-anak pribumi mengalami krisis hiburan. Masa kecil rakyat pribumi tidak terwakili oleh lagu-lagu anak berbahasa Indonesia karena semua lagu anak berbahas Belanda. Jadi, lagu ciptaan Ibu Soed punya tempat di hati anak-anak bumi putra.

Ia ingin mengajar anak-anak untuk menyanyi dalam bahasa Indonesia. Sejak itu, dia mulai menciptakan lagu-lagu bersifat ceria dan patriotik untuk anak-anak Indonesia.

Ia juga membentuk grup Tonil amatir yang dipentaskan untuk menggalang dana untuk acara penginapan mahasiswa Club Indonesia.

Setahun sebelum Sumpah Pemuda diikrarkan, Saridjah membuat lagu berjudul ‘Tanah Air’. Inspirasi lagu ini adalah para pahlawan yang menimba ilmu di Belanda dan Jerman.

Sepulangnya mereka dari sana mereka mengaplikasikan ilmunya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Seperti yang terkandung dalam lagu ini, lagu ini menceritakan seorang bumi putra yang mengembara ke berbagai negara, namun tetap kembali ke Indonesia untuk kemajuan tanah air tercinta.

Saat aktif sebagai anggota organisasi Indonesia Muda tahun 1926, Ibu Soed juga membentuk grup Tonil Amatir yang dipentaskan untuk menggalang dana untuk acara penginapan mahasiswa Club Indonesia. Aktivitasnya tidak hanya menonjol sebagai guru dan aktivis organisasi pemuda, tetapi juga berperan dalam berbagai siaran radio sebagai pengasuh siaran anak-anak (1927-1962).

Saridjah juga berperan sebagai pengiring lagu Indonesia Raya ciptaan WR Soepratman pada perhelatan Sumpah Pemuda. Dia menggesek biola untuk mengiringi gesekan biola WR Soepratman melantunkan lagu kebangsaan dan kebanggaan bangsa Indonesia.

Pada masa kependudukan Jepang, sejak 1942, dunia kesenian berkembang pesat. Ibu Soed bersama Cornell Simanjuntak dan Kusbini mulai berkiprah di Keimin Bunka Shidosho (Kantor Kesenian). Mereka aktif menyiarkan lagu-lagu lewat radio. Juga dari tempat inilah lahir karya Saridjah, seperti ‘Menanam Jagung’ dan ‘Akulah Pahlawan’.

Tiga tahun setelah Indonesia merdeka, lahirlah karyanya ‘Berkibarlah Benderaku’. Lagu itu dia ciptakan setelah melihat kegigihan Jusuf Ronodipuro, seorang pemimpin kantor Radio Republik Indonesia. Kala itu, menjelang agresi Militer Belanda I pada 1947.

Jusuf menolak untuk menurunkan bendera Merah Putih yang berkibar di RRI. Walaupun di hadapan Jusuf kala itu beberapa laras senjata tentara Belanda diarahkan padanya.

Asal Sebutan ‘Ibu Soed’
Saridjah menikah dengan seorang pengusaha R Bintang Soedibjo pada 1927. Mereka menetap di Jakarta. Sejak itu, dia biasa dipanggil Ibu Soed dan mencantumkan namanya untuk semua lagu ciptaannya.

Perkawinan itu tak membuat semangat anti penjajahan Ibu Soed berhenti. Dia banyak menciptakan lagu-lagu patriotik, penyiar radio, pembuat naskah drama serta membatik. Ibu Soed, terus bersuara di radio, mulai 1927 hingga 1962. Bahkan menjadi penyiar radio gelap saat kemerdekaan.

Tercebur sebagai aktivis, tentu mengundang bahaya. Rumah kediaman pasangan Soedibjo di Jalan Maluku No 36 Jakarta jadi sasaran penggeledahan pasukan Belanda pada 1945. Rumahnya dikepung tantara Belanda.

Tetangga Ibu Soed, yang seorang Belanda, meyakinkan tentara Belanda bahwa mereka salah sasaran. Karena, profesi Ibu Soed hanyalah pencipta lagu dan suaminya pengusaha. Penggeledahan itu tak berlanjut. Namun, Ibu Soed dan seorang pembantu bersusah payah membuang pemancar radio gelap ke sumur di rumahnya.

Dedikasi Ibu Soed untuk anak Indonesia tak ternilai. Lagu-lagunya menjadi teman indah masa kecil anak-anak Indonesia.

Dalam buku Sumbangsihku Bagi Pertiwi (1981), Ibu Soed mengatakan, mengarang lagu bukanlah pekerjaan mudah walaupun musik adalah dunianya. Mengapa? Mengarang lagu adalah suatu tugas yang tidak lepas dari tanggung jawab moral kepada masyarakat, khususnya masyarakat anak-anak. Lagu hendaknya bersifat edukatif atau mendidik.

“Dalam hal diri saya, mengarang lagu adalah suatu pengabdian, suatu kebaktian kepada dunia anak-anak,” ujar dia seperti dikutip dalam buku itu.

Apa yang sudah Ibu Soed dedikasikan untuk bangsa Indonesia kemudian diaperesiasi oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 12 Agustus 1969, beliau dianugerahi penghargaan sebagai “Perintis Dalam Penciptaan Lagu Kanak-Kanak Indonesia.”

Selain mencipta lagu Ibu Soed juga pernah menulis naskah sandiwara dan mementaskannya. “Operette Balet Kanak-kanak Sumi” di Gedung Kesenian Jakarta pada tahun 1955 bersama Nani Loebis Gondosapoetro sebagai penata tari dan RAJ Soedjasmin sebagai penata musiknya.

Ibu Soed juga dikenal piawai dalam seni batik. Atas karya dan pengabdiannya, Ia menerima penghargaan Satya Lencana Kebudayaan dari pemerintah Indonesia dan MURI.

Setelah Ibu Soed tiada, keceriaan lagu anak mulai redup seiring mewabahnya lagu-lagu remaja yang jauh dari nilai-nilai edukasi. Tema cinta dan kegalauan bak menjadi santapan tiap hari. Seharusnya masa kanak-kanak adalah masa untuk memupuk nilai-nilai moral, toleransi dan cinta tanah air.

Pesan itulah yang diwariskan Ibu Soed untuk anak-anak Indonesia yang kelak akan menjadi penerus terwujudnya cita-cita bangsa. Perlunya peran pemerintah serta instansi media untuk bisa menjaga keutuhan generasi bangsa lewat penyiaran kembali lagu anak.

Menjadi kewajiban kita bersama untuk melestarikan apa yang telah Ibu Soed rintis, membangun bangsa lewat lirik-lirik yang mengungkapkan keindahan Tanah Air, hormat kepada orang tua, dan cinta pada bangsanya. (Benny Silalahi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar