c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

30 Oktober 2019

15:32 WIB

Ki Sarmidi Mangunsarkoro, Pemuda Pejuang Pendidikan

Ki Sarmidi Mangunsarkoro, Pemuda Pejuang Pendidikan
Ki Sarmidi Mangunsarkoro, Pemuda Pejuang Pendidikan
Ki Sarmidi Mangunsarkoro. Ist

JAKARTA –  ‘Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. 

Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. 

Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia’.

Deklarasi yang dikenal dengan Sumpah Pemuda itu dibacakan pada 28 Oktober 1928, di sebuah bangunan di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta atau yang sekarang disebut sebagai Museum Sumpah Pemuda. Sumpah ini menjadi penanda pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia yang dilakukan oleh para pemuda pemudi Indonesia yang terikat dalam ikrar satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia.

Pembacaan Sumpah Pemuda itu menunjukkan keinginan para pemuda untuk melepaskan diri dari kekangan penjajahan Belanda. Mereka berkumpul, untuk menggelar sebuah rapat yang dikenal dengan Kongres Pemuda.

Kongres Pemuda ini dilakukan sebanyak dua kali di Jakarta. Kongres Pemuda I diadakan pada 1926 yang menghasilkan kesepakatan bersama mengenai kegiatan pemuda pada segi sosial, ekonomi dan budaya. Kongres ini diikuti oleh organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Betawi, dan organisasi pemuda lainnya.

Kemudian, Kongres Pemuda II, yang diadakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928 dipimpin oleh pemuda Soegondo Djojopoespito dari PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia), menghasilkan keputusan penting yang disebut sebagai Sumpah Pemuda.

Aksi para pemuda ini melahirkan banyak tokoh pada saat itu. Selain Soegondo Jojopoespito, ada juga Muhammad Yamin, Soenario Sastrowardoyo, Wage Rudolf Soepratman, Djoko Marsaid, Sarmidi Mangunsarkoro, dan beberapa tokoh lainnya.

Dari banyak tokoh, hanya Sarmidi Mangunsarkoro memiliki tujuan berbeda dengan tokoh lainnya. Kebanyakan, para pemimpin pemuda kala itu fokus untuk mengusir para penjajah dari tanah air. Lalu, menegaskan kemerdekaan Indonesia.

Sementara, Ki Sarmidi Mangunsarkoro nama lengkap Sarmidi Mangunsarkoro lebih banyak memperjuangkan pendidikan untuk anak bangsa. Hal ini pula disampaikannya dalam Kongres Pemuda I dan Pemuda II, di hadapan seluruh pemimpin dan anggota kongres.

Ki Sarmidi terus menyampaikan pemikirannya mengenai pentingnya pendidikan kebangsaan bagi para pemuda. Baginya, kebudayaan bangsa Indonesia sangat penting dijadikan landasan pendidikan para penerus bangsa.

Di mata Ki Sarmidi, anak harus mendapat pendidikan kebangsaan. Kemudian, harus ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Lalu, anak juga harus dididik secara demokratis.

Ki Sarmidi lahir 23 Mei 1904 di Surakarta. Dia tumbuh dan dibesarkan di lingkungan keluarga abdi dalem Keraton Surakarta. Keseriusan Ki Sarmidi untuk memajukan pendidikan tanah air sudah terlihat sedari dia muda.

Ki Sarmidi muda sudah bercita-cita hendak menjadi pendidik. Namun, dia sempat salah mengambil jurusan saat sekolah. 

Dia sempat mendalami ilmu teknik di sekolah di Yogyakarta. Sadar salah jurusan, Sarmidi berangkat ke Batavia (sekarang Jakarta.red) dan mendaftar ke Sekolah Guru Arjuna Jakarta.

Setelah selesai dari Sekolah Guru Arjuna, Ki Sarmidi diterima bekerja di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Budi Utomo, Jakarta. Sejak saat ini, karier Ki Sarmidi di dunia pendidikan Indonesia menlesat dengan cepat.

Taman Siswa
Pada usia 25 tahun, Ki Sarmidi sudah dipercaya menjadi Kepala Sekolah HIS Budi Utomo Jakarta. Setahun kemudian, Ki Sarmidi mendirikan Perguruan Tamansiswa di Jakarta.

Sejatinya, Perguruan Tamansiswa ini merupakan gabungan antara HIS Budi Utomo dan HIS Marsudi Rukun. Penggabungan dua sekolah itu dikarenakan kedua tempat pendidikan tersebut dipimpin oleh Ki Sarmidi.

Pendiriaan Tamansiswa cabang Jakarta ini mendapat restu dari Ki Hadjar Dewantara. Karena itu, pada 1930, Ki Sarmidi resmi mendirikan Tamansiswa.  

Restu itu bertepatan pada Upacara Penutupan Kongres atau Rapat Besar Umum Tamansiswa yang pertama di Yogyakarta pada 13 Agustus 1930. Saat itu Ki Sarmidi bersama Ki Sadikin, Ki S. Djojoprajitno, Ki Poeger, Ki Kadiroen dan Ki Safioedin Sorjopoertro mewakili Persatuan Taman Siswa seluruh Indonesia menandatangani Keterangan Penerimaan penyerahan Piagam Persatuan Perjanjian Pendiaian dari tangan Ki Hadjar Dewantara,  Ki Tjokrodirjo dan Ki Pronowidigdo.

Mereka diminta untuk mewujudkan usaha pendidikan yang beralaskan hidup dan penghidupan bangsa, dengan nama Tamansiswa yang didirikan pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta.

Saat itu, sebagai salah satu orang yang dipilih oleh Ki Hadjar Dewantara, Ki Sarmidi ditugaskan untuk memajukan, menggalakkan serta memodernisasi Tamansiswa. Modernisasi ini dilakukan berdasarkan pada rasa cinta tanah air serta berjiwa nasional.

Mengemban tugas itu, Ki Sarmidi, memiliki berbagai pemikiran demi untuk menyukseskan cita-cita pendidikan Tamansiswa. Pemikiran itu, dituangkannya dengan berbagai cara.  

Di antaranya, pada 1931, Ki Sarmidi menyusun Rencana Pelajaran Baru atau kurikulum baru untuk Tamansiswa. Kemudian, pada 1932, rencana Pelajaran Baru itu disebut dengan nama Daftar Pelajaran Mangunsarkoro.  

Rencana pelajaran baru Tamansiswa itu memuat nilai nasionalisme. Tujuannya adalah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, sekaligus bahasa sehari-hari di seluruh sekolah Tamansiswa.

Pada tahun yang sama, dia menulis buku Pengantar Guru Nasional, Daftar Pelajaran Mangunsarkoro, dan Pengantar Guru Nasional. Buku ini mengalami cetak ulang pada tahun 1935.

Buku itu, mencerminkan pemikirannya mewakili salah satu aspek dari kebangkitan nasionalisme, yakni aspek kebudayaan. Kemudian, aspek sosial ekonomis dan aspek politis.

Pada hakikatnya, buku itu ditulisnya untuk menguji hukum kesusilaan dan mengajarkan berbagai pembaharuan yang disesuaikan dengan alam dan zaman. Hal ini ditunjukkan dalam dua aspek yakni aspek sosial ekonomi, yakni usaha meningkatkan derajat rakyat dengan menumbangkan cengkeraman ekonomi bangsa Eropa Barat.

Sementara, dalam aspek politik, menunjukkan perjuangan merebut kekuasaan politik dari tangan Pemerintah Kolonialisme Belanda.  

Pada 1947, Ki Hadjar Dewantara meminta KI Sarmidi untuk memimpin penelitian guna merumuskan dasar perjuangan Tamansiswa. Salah satunya dengan perjuangan Asas Tamansiswa 1922.

Di mana, ada tujuh pasal dalam Asas Tamansiswa 1992 ini. Di antaranya, hidup merdeka, hidup tertib damai, metode among, menggunakan peradaban bangsa sendiri, memeratakan pendidikan, hidup mandiri dan mengabdi kepada Sang Anak.  

Permintaan itu dipenuhi oleh Ki Sarmidi. Pada 1948 dia membentuk Panitia Mangunsarkoro. Kemudian, Ki Sarmidi, menyampaikan hasil kerja Panitia Mangunsarkoro dalam Rapat Besar Umum Tamansiswa pada tahun yang sama.

Hasil itu dikenal dengan pancadarma. Kelak pancadarma itu dikenal dengan Dasar Tamansiswa. Yakni, Kodrat Alam, Kemerdekaan, Kebudayaan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan.

 

 

 

Menteri Pendidikan
Sekitar 1932–1940, Ki Sarmidi menjabat sebagai ketua Departemen Pendidikan dan Pengajaran Majelis Luhur Mahasiswa merangkap Pemimpin Umum Tamansiswa Jawa Barat. Pada 1933, Ki Sarmidi memegang Kepemimpinan Taman Dewasa Raya di Jakarta. Di sini, Ki Sarmidi membidangi pendidikan dan pengajaran.

Selain fokus di bidang pendidikan, Ki Sarmidi juga aktif sebagai Anggota Pengurus Besar Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dan penganjur gerakan Kepanduan Nasional yang bebas dari pengaruh kolonialisme Belanda pada 1930-1938.

Dalam bidang politik, Sarmidi muda bergabung dengan Partai Nasional (PNI). Kiprahnya di bidang politik pun cemerlang. Baru bergabung saja, Ki Sarmidi terpilih sebagai Ketua PNI Pertama. Dia dipilih dalam Kongres Serikat Rakyat Indonesia (SERINDO) di Kediri. 

Kongres itu menyepakati beberapa hal. Di antaranya, menentang politik kompromi dengan Belanda yakni Perjanjian Linggarjati dan Renville. Makanya, saat Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta, Ki Sarmidi pernah ditahan di IVG dan dipenjara di Wirogunan.  

Hasil kerja kerasnya untuk memajukan pendidikan bangsa Indonesia pun berbuah hasil. Pada Masa Kabinet Hatta II, pada Agustus 1949 hingga Januari 1950, Ki Mangunsarkoro diangkat menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) RI.  

Saat menjabat sebagai Menteri, Ki Sarmidi mendirikan dan meresmikan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta. Lalu mendirikan Konservatori Karawitan di Surakarta dan ikut membidani lahirnya Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.  

Saat Kabinet Halim terbentuk menggantikan Kabinet Hatta II, Ki Sarmidi pun kembali dipercaya sebagai Menteri PP dan K RI. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Ki Sarmidi Mangunsarkoro pada saat menjadi menteri, membuat dirinya menjadi salah satu menteri yang pertama kali membuat Undang-undang Pendidikan Nasional.

Dia berhasil menyusun dan memperjuangkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia. Beleid itu, disahkan menjadi Undang-undang Pendidikan Nasional Pertama.  

Selama menjabat menjadi menteri, Kebijakan yang dikeluarkan Ki Sarmidi Mangunsarkoro lebih berpihak kepada rakyat miskin. Setidaknya, hal tersebut tergambar dari kebijakannya menggratiskan biaya sekolah dasar agar semuanya dapat bersekolah. Tujuan utamanya, agar semua warga negara Indonesia bebas dari buta huruf.

Pada sepanjang hidupnya, Ki Sarmidi Mangunsarkoro menulis beberapa buku mengenai pendidikan nasional, kebudayaan dan juga politik. Hal ini seiring dengan perhatian beliau yang begitu besar pada ketiga bidang tersebut.

Ki Sarmidi wafat pada 8 Juni 1957 di Jakarta. Tokoh pendidikan ini dimakamkan di makam Keluarga Besar Tamansiswa, Taman Wijaya Barata, Celeban, Yogyakarta. Pada 7 November 2011, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 113/TK/2011, pemerintah menobatkan Ki Sarmidi Mangunsarkoro sebagai pahlawan. (James Manullang, berbagai sumber)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar