c

Selamat

Kamis, 28 Maret 2024

KULTURA

17 Maret 2021

22:40 WIB

Jalan Terjal Malala

Walau peluru nyaris merunggut nyawa, dia tetap lantang menyuarakan hak anak-anak perempuan untuk boleh bersekolah.

Editor:

Jalan Terjal Malala
Jalan Terjal Malala
Malala Yousafzai. Sumber foto: Indiana Public Media

JAKARTA – Setelah melalui pos pemeriksaan tentara, bus Sekolah Khushal berbelok ke arah kanan meninggalkan jalanan utama di Lembah Swat, Pakistan. Seperti hari-hari lalu, di dalamnya riuh dengan suara anak-anak perempuan. Sebagian bernyanyi, yang lain asyik bertukar cerita. Keceriaan membuncah bak kembang api.

Namun, ada yang aneh dengan suasana jalanan yang mereka lintasi. Jalur menuju bukit kecil yang lazim ramai, hari itu, Selasa, 9 Oktober 2012, tampak lengang. Sepi sekali. Keadaan semakin janggal saat dua lelaki muda mendadak mencegat bus. Gaduh suara anak-anak perempuan sontak memelan.

“Apakah ini bus Sekolah Khushal?” tanya seorang pemuda. Pengemudi bus yang kebingungan, serta-merta menjawab, “Ya”. 

Pemuda berjenggot dan berpakaian warna terang itu lalu mengatakan, ingin mencari informasi mengenai beberapa anak. 

Sementara, kawan si pemuda, lelaki yang mengenakan penutup wajah, mendekat ke bagian belakang truk. Ia bertanya, ”Yang mana Malala?”. Seisi bus diam seribu bahasa. Namun, beberapa anak menoleh ke satu arah, tempat seorang gadis berusia 15 tahun berdiri. Dialah Malala.

Saat itu pula, lelaki tersebut mengangkat pistol Colt 45, seraya membidikkannya. Picu ditarik, tiga tembakan beruntun merobek rongga mata kiri Malala, tembus keluar dari bawah bahu kiri. Dua tembakan berikutnya mengenai dua anak perempuan lain, Shazia, dan Kainat Riaz.

Setelah melancarkan aksi, penembak itu kabur. Sementara sopir bus, segera melajukan kendaraan ke rumah sakit. Beruntung, peluru yang menerjang Malala tidak menembus otak sehingga nyawanya bisa selamat. Meski begitu, kondisi Malala sangat buruk, sampai harus dilarikan ke rumah sakit di Inggris yang memiliki sumber daya lebih mumpuni.

Titik Mula Perjuangan Malala
Insiden 9 Oktober itu mungkin tidak terjadi jika Malala Yousafzai tidak berani menentang kelompok Taliban bagian Lembah Swat, Pakistan. Andai ia tidak menuntut hak pendidikan anak perempuan kala itu, berondongan peluru itu urung mengancam nyawanya.

Bagi anak perempuan di Pakistan, mendapatkan pendidikan yang layak tidaklah mudah. Kultur patriarki negeri itu mengharuskan perempuan tetap berada di dalam rumah, memasak, dan melayani saudara laki-laki serta ayah. Sementara, anak laki-laki bisa menjelajahi kota dengan bebas.

Kesenjangan itu mengusik Malala. Menurutnya, anak perempuan berhak mendapat pendidikan setara laki-laki. Tidak ada alasan untuk menolaknya.

Cara berpikir radikal gadis itu tidak datang dari ruang hampa. Malala lahir dari keluarga yang menaruh pendidikan di urutan atas. Ayahnya, Ziauddin Yousafzai, rajin mendirikan sekolah khusus untuk anak perempuan, antara lain Sekolah Khushal, tempat Malala bersekolah.

Gerakan Ziauddin itu dikecam seorang ulama Pakistan bernama Ghulamullah. Menurutnya, anak-anak perempuan seharusnya berada di rumah saja. Menyekolahkan anak perempuan itu haram. Ghulamullah berupaya menumbangkan Sekolah Khushal. Ia mendekati pemilik tempat agar berhenti menyewakan bangunan ke Ziauddin. Namun, pemilik gedung enggan menuruti.

Tak sampai situ, keberadaan Sekolah Khushal semakin terancam ketika ekstremis Taliban mulai menduduki kawasan Lembah Swat, tempat Malala tinggal. Mereka sering terlihat mondar-mandir, sambil menenteng pisau serta senapan Kalashnikov.

Kelompok tersebut dipimpin Maulana Fazlullah. Pria berusia 28 tahun itu membangun stasiun radio ilegal di Imam Deri, desa kecil beberapa kilometer di luar Mingora. Fazlullah sengaja menyiarkan informasi melalui gelombang udara karena masyarakat hanya menerima informasi dari radio, kebanyakan tidak punya televisi dan buta huruf.

Siaran Fazlullah sering menyasar perempuan. Pria yang meninggal pada Juni 2018 itu kerap menyerukan, perempuan ditakdirkan untuk di rumah saja. Mereka hanya boleh keluar dalam keadaan darurat, itupun wajib mengenakan cadar. Perempuan yang melanggar ketentuan itu termasuk tidak berakhlak. Taliban berhak merampas pakaiannya untuk dipermalukan.  

Seiring waktu, siaran radio itu semakin menyerang sekolah-sekolah yang memberi akses pendidikan pada anak perempuan. Bahkan, menebar ejekan: perempuan yang bersekolah itu seperti kerbau dan domba. Seolah tak cukup dengan propaganda hitam, kelompok Taliban lantas meledakkan sekolah-sekolah saat kosong di malam hari.

Shawar Zangay, SD negeri untuk anak perempuan di Matta, menjadi sekolah pertama yang dihancurkan. Sejak itu, hampir setiap hari pengeboman dilakukan.

Lama kelamaan, media massa mulai menyoroti aksi brutal tersebut. Malala selalu bersedia diwawancara saat para jurnalis meliput di lokasi kejadian. Sikap yang berbanding terbalik dengan anak-anak perempuan lain yang takut atau dilarang berbicara oleh orang tua masing-masing.

Tanpa ragu, Malala menyuarakan pendapatnya tentang Taliban. Bahkan tak sungkan menuturkan situasi di kampung halamannya, serta mengungkapkan keprihatinan pada keadaan pendidikan anak perempuan di sana.

Dia pernah tampil dalam acara talkshow BBC Urdu yang dipandu Wasatullah Khan. Dengan lantang Malala mengatakan, “Berani sekali Taliban merampas hak dasarku untuk mendapat pendidikan!”, agar orang di seluruh Pakistan mendengar. Pernyataan itu menjadi satu kalimat yang paling populer dari Malala.

Namun, wawancara itu tidak memberi dampak signifikan pada Pakistan. Faktanya, penghancuran sekolah masih terus berlanjut. Hingga akhir 2008, terdapat sekitar 400 sekolah yang telah diluluhlantakkan Taliban.

Menulis Blog
Seperti tidak pernah bosan menyuarakan pendapat, Malala menerima tawaran radio BBC untuk menceritakan pengalaman tinggal di bawah tekanan Taliban. Dia mesti menulis kisah itu, kemudian dikirim seminggu sekali, untuk ditayangkan pada situs BBC Urdu.

Demi melindungi diri, Malala menggunakan nama samaran Gul Makai, yang berarti bunga jagung. Pihak media sadar, keselamatan Malala bisa terancam jika identitasnya terungkap.

Tulisan pertama Malala bercerita tentang perasaan takut saat bersekolah. Taliban telah menghantuinya, sehingga kerap menoleh ke belakang saat jalan, karena ngeri dibuntuti.

Setelah berlembar-lembar cerita terbagikan, buku harian Gul Makai semakin populer. Beberapa koran mencetak tulisan itu, bahkan BBC membuat versi audio menggunakan suara anak perempuan lain.

“Aku mulai melihat bahwa pena dan kata-kata yang muncul dari sana, bisa jauh lebih perkasa daripada senapan mesin, tank, atau helikopter,” kata Malala dalam sebuah tulisan.

Kendati demikian, Taliban tidak mundur dari kengototan untuk menutup sekolah anak perempuan. Sampai-sampai, mereka meneror anak-anak sekolah dengan menyuguhkan mayat di jalan menuju sekolah. Semua dilakukan agar anak perempuan berhenti sekolah.

Akhirnya, pada Januari 2009 ayah Malala terpaksa menutup Sekolah Khushal guna menghindari ancaman Taliban. Namun, penghentian kegiatan belajar itu tidak membuat Malala berhenti bersuara. Justru dia makin gencar menghadiri wawancara televisi dan radio bersama ayahnya. Bahkan, menyanggupi kerja sama pembuatan film dokumenter tentang kehidupannya di bawah Taliban.

“Mereka bisa menghentikan kami bersekolah, tetapi mereka tidak bisa menghentikan kami belajar,” katanya berulang kali.

Walau selalu tampak tangguh, Malala mengaku pernah merasa gentar. Bagaimanapun, mempercakapkan ulah Taliban ke khalayak, merupakan tindakan sangat berbahaya. Namun, membiarkan ketidakadilan merajalela pun bukan sikap yang benar. Malala tidak bisa tinggal diam saat Muslim Khan, juru bicara Taliban, mengatakan anak perempuan tidak boleh bersekolah dan mempelajari cara-cara Barat. Menurut Malala, pendidikan adalah pendidikan, tidak ada kaitan dengan Timur atau Barat.

Setelah Sekolah Khushal ditutup, penghancuran gedung-gedung pendidikan lain masih tetap berlangsung. Koresponden BBC, Hai Kakar, diam-diam mewawancarai Fazlullah dan mendesak untuk memikirkan kembali larangan pendidikan untuk anak perempuan.

Media massa lokal dan masyarakat yang semula mendukung Fazlullah mulai berang. Sebab terjepit, Fazlullah kemudian mencabut larangan tersebut. Anak perempuan boleh bersekolah sampai usia 10 tahun. Akibatnya, anak-anak yang lebih tua harus berpura-pura berusia lebih muda demi mengenyam pendidikan.

Tidak ada perubahan berarti sejak pencabutan itu. Taliban malah makin brutal. Mereka semena-mena memberikan hukuman cambuk bagi perempuan yang berjalan tanpa pendamping.

Perlawanan pun mulai merebak. Tentara gabungan turun melancarkan serangan, membuat seluruh penduduk Swat mengungsi ke Mardan.

Malala dan keluarganya tinggal di kamp besar dengan tenda UNHCR bersama hampir 2 juta orang lainnya. Berbulan-bulan mereka menghuni pengungsian, sampai pada Juli 2009, Perdana Menteri Pakistan mengumumkan Taliban telah dibersihkan.

Malala kemudian kembali ke Lembah Swat, dan Sekolah Khushal beroperasi lagi di bulan Agustus. Tak lama setelah itu, dia bergabung dengan District Child Assembly Swat yang dibentuk UNICEF dan Yayasan Khpal Kor untuk anak yatim piatu.

Sebanyak 60 murid terpilih, dan hanya 11 anak perempuan yang turut serta. Pertemuan demi pertemuan yang dijelang, melibatkan politisi serta aktivis. Hasilnya, sembilan resolusi disahkan, menuntut penghapusan buruh anak, meminta bantuan agar anak-anak jalanan dan penyandang cacat bisa bersekolah, dan pembangunan kembali semua sekolah yang dihancurkan Taliban.

Pada Oktober 2011, Malala menjadi satu dari sedikit calon penerima hadiah perdamaian internasional KidsRights. Namanya diajukan oleh Uskup Agung Desmond Tutu dari Afrika Selatan. Meski tidak menang, Kepala Menteri Punjab Shahbaz Sharif memberi hadiah uang ke Malala, atas usahanya memperjuangkan hak-hak anak perempuan.

Kengerian Dimulai
Tahun berikutnya, seorang perempuan bernama Shehla Anjum datang ke keluarga Malala. Dia mengadu, Taliban mengeluarkan ancaman terhadap dua perempuan melalui internet, satu di antaranya adalah Malala.

Kabar itu membuat Malala dan keluarganya ketakutan. Tapi mereka menolak mundur. Apalagi setelah beredar surat kaleng yang menjelek-jelekkan Sekolah Khushal. Di dalamnya disebut, lembaga tersebut adalah sarang perbuatan cabul dan mesum karena membiarkan anak-anak perempuan bersekolah. Taliban mengajak masyarakat Swat menghentikan sekolah agar terhindar dari azab Allah.

Ucapan Shehla Anjum terbukti di hari Selasa, 9 Oktober 2012. Malala ditembak tiga kali berturut-turut hingga nyaris kehilangan nyawa. Taliban mengaku bertanggung jawab atas insiden itu. Namun bukan terkait pendidikan anak perempuan yang dilakukan Malala, melainkan karena Malala mendorong kebudayaan Barat dan sering menentang Taliban.

Juru bicara Taliban mengatakan, aksi dilakukan atas perintah Fazlullah dua bulan sebelumnya. Siapa yang memihak pemerintah dan menentang Taliban akan mati.

Insiden penembakan Malala memberi dampak luar biasa. Seluruh dunia geram, Sekretaris Jenderal PBB saat itu, Ban Ki-moon menyebut tindakan Taliban pengecut dan biadab.

Sayangnya, reaksi di Pakistan tidak begitu positif. Saat beberapa koran menggambarkan Malala sebagai ikon perdamaian, sementara lainnya memuat teori-teori konspirasi yang mempertanyakan kebenaran insiden tersebut.

After Effect
Pascatragedi, Malala pindah ke Inggris untuk mendapat pendidikan yang lebih baik. Di negara tersebut, Malala juga bisa berjuang lebih efektif sambil menjalani pengobatan.

Pada tahun 2015, Mantan PM Inggris Gordon Brown meluncurkan petisi dengan slogan “Aku Malala” dan menuntut menghentikan pelarangan untuk anak bersekolah. PBB juga mencanangkan 10 November sebagai Hari Malala.

Bahkan, pada ulang tahun ke-16, Malala diundang berbicara di PBB. Dalam pidatonya Malala menyerukan, setiap orang bisa menciptakan perbedaan. Ia ingin lebih menjangkau semua orang yang hidup dalam kemiskinan, anak-anak yang dipaksa bekerja, dan mereka yang menderita akibat terorisme dan tidak bisa mengakses pendidikan. 

Pada 2014, Malala menjadi penerima Nobel Peace Prize karena memperjuangkan hak anak perempuan dalam memperoleh pendidikan di Pakistan. Malala merupakan penerima penghargaan Nobel termuda, yakni 17 tahun.

Namun prestasi-prestasi itu tidak menyurutkan ketidaksukaan masyarakat yang pro-Taliban terhadap Malala. Pada 2015, sekolah-sekolah swasta di Pakistan melarang peredaran buku I Am Malala yang diluncurkan tahun 2013. Presiden Mirza Kashif Ali bahkan mengeluarkan buku “I Am Not Malala” yang berisi tuduhan Malala telah menyerang tentara Pakistan dengan dalih pendidikan untuk perempuan.

Kendati begitu, tidak sulit untuk menganggap Malala sebagai pahlawan. Hingga kini namanya masih dielu-elukan, sebab gigih memperjuangkan pendidikan anak perempuan dari Pakistan.

Malala telah menyelesaikan pendidikan di Oxford University di bidang Filosofi, Politik, dan Ekonomi. Cita-citanya ingin menjadi Perdana Menteri Pakistan, dan menginspirasi banyak orang. Seperti sosok idolanya, Benazir Bhutto. (Gemma Fitri Purbaya)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER