15 April 2021
10:38 WIB
JAKARTA – Warung Tegal (warteg) memang menjadi primadona bagi masyarakat ibu kota. Bagaimana tidak, keberadaannya sudah memenuhi setiap sudut Jakarta.
Baik di jalan besar hingga gang senggol, warteg menjadi alternatif untuk melepas lasa lapar. Hidangannya sederhana, dengan menu masakan rumahan. Dan yang penting, harganya pas untuk kantong anak kos-kosan.
Namun di balik ketenarannya saat ini, ada sejarah panjang di masa lampau. Bahkan, sejak zaman Kerajaan Mataram. Kala itu, pada abad ke-17 atau tahun 1628, ketegangan terjadi antara Kerajaan Mataram dengan VOC yang menduduki Batavia, cikal bakal kota Jakarta.
Karena ingin melakukan invasi, Sultan Agung Hanyokrokusumo mencari daerah Mataram yang dekat dengan Jakarta, dan wilayah itu adalah Tegal. Kemudian, Sultan Agung mengutus Bupati Tegal, Kyai Rangga untuk ke Batavia untuk berdiplomasi.
Sadar situasi memanas dan tidak baik-baik saja, Sultan Agung memerintahkan Kyai Rangga untuk membawa pasukan dan perbekalan.
"Dan kalau sudah Bupati diperintahkan, dia akan membawa rakyat dan itu terjadi mobilisasi besar-besaran," cerita Koordinator Koperasi Warteg Nusantara (Kowantara), Mukroni kepada Validnews, Rabu (14/4).
Menurut Mukroni, saat itu Kyai Rangga meminta masyarakat Tegal untuk menjadi juru masak persiapan logistik. Masyarakat pun mempersiapkan telur asin dan orek tempe sebagai perbekalan. Dua menu tersebut dipilih karena diyakini bisa bertahan cukup lama.
"Telur asin dan orek tempe itu makanan yang dibawa prajurit Mataram ke Batavia agar awet dan tahan lama," ujarnya.
Meskipun pada akhirnya Mataram kalah dari VOC saat menyerbu Batavia, akan tetapi telur asin dan orek tempe kadung menjadi menu yang melekat sepanjang invasi itu dilakukan. Menurut Mukroni, para prajurit yang kalah justru mulai berjualan di Jakarta dengan dua menu tersebut di Batavia.
Pun, menurut Mukroni, warteg sendiri bukanlah berasal dari Tegal. Keberadaan telur asin menandakan bahwa warteg adalah berasal dari Kota Brebes, yang pada tahun tersebut masih bernama Tegal Timur.
"Artinya bahwa itu dari Brebes bukan dari Tegal, cuma yang dikenal di Jakarta itu Tegal, karena Brebes belum ada kala itu. Saya berkesimpulan bahwa sejarah warteg sudah ada sejak Mataram Sultan Agung ke Batavia tahun 1628," ujarnya.
Ciri-ciri peninggalan khas prajurit pun masih kental dalam desain warteg hari ini. Misalnya model warung dua pintu yang menandakan kepemimpinan dan kedisiplinan. Serta catnya yang berwarna hijau sangat kental dengan warna bagi prajurit.
Juga dalam memesan makanan, masyarakat dibiarkan mengambil sendiri atau menunjuk menu yang dikehendaki. Ini juga merupakan gambaran kehidupan prajurit di dalam barak-barak saat perang.
"Itu desainnya sama semua dan tertata. Itu yang memiliki kedisiplinan hanya keprajuritan," jelasnya. (Dwi Herlambang)