c

Selamat

Jumat, 7 November 2025

KULTURA

10 September 2018

18:25 WIB

Jack Lesmana, Penafsir Irama Lenso Soekarno

Editor: Nofanolo Zagoto

Jack Lesmana, Penafsir Irama Lenso Soekarno
Jack Lesmana, Penafsir Irama Lenso Soekarno
Jack Lesmana. Ist

JAKARTA – Musik ngak ngik ngok, dengan istilah seperti inilah Soekarno menggambarkan musik rock and roll, cha-cha, tango hingga mambo. Saat kemerdekaan Indonesia masih seumur jagung, pemerintah memang sudah khawatir dengan kuatnya pengaruh budaya pop bagi bangsa. Apalagi Elvis Presley tengah menjadi fenomena dunia.

Soekarno memandang pengaruh budaya pop yang kebarat-baratan dapat meracuni budaya bangsa sehingga keberadaannya bisa tergerus cepat atau lambat. Waktu itu, di tahun 1950-an, musik barat cepat mewabah di antara anak-anak muda lantaran radio-radio begitu intens menyiarkannya.

Denny Sakrie dalam buku berjudul 100 Tahun Musik Indonesia pun menuliskan, di masa itu budaya pop yang cenderung kebarat-baratan itu akhirnya menimbulkan inspirasi bagi anak muda. Mereka yang keranjingan tmembentuk band yang saat itu populer disebut orkes. Kompetisi orkes pun bermunculan di mana-mana, misalnya Festival Irama Populer.

Fenomena ini tak didiamkan begitu saja oleh pemerintah. Bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan di tahun 1959, terbit sebuah manifesto yang diberi nama Manipol USDEK/Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Kemudian, sejak Oktober 1959 siaran Radio Republik Indonesia (RRI) juga tak boleh lagi memutar lagu-lagu rock and roll, cha cha, tango hingga mambo.

Bagusnya Soekarno tak cuman menerbitkan larangan. Dia juga menggagas kemunculan irama lenso yang terinsipirasi dari seni budaya Maluku. Lenso sendiri dalam bahasa Maluku berarti sapu tangan. Irama lenso merupakan tarian pergaulan tradisional di sana. Jadi, ketika melakukan gerakan tari dengan iringan ritme bertempo sedang, setiap orang menggenggam sapu tangan.

Nah, akhirnya ada sosok yang mampu menerjemahkan irama lenso Soekarno ini. Dia bernama Jack Lesmana. Dulu ketika irama lenso digagas, Soekarno memang langsung mengundang Jack Lesmana, bersama Idris Sardi, dan Bing Slamet. Waktu itu, Jack dan Soekarno memiliki hubungan yang dapat dikatakan dekat.

Buktinya, mengutip buku berjudul Musisiku, Soekarno-lah yang mengubah nama belakangnya menjadi Lesmana saat mencuatnya gerakan Indonesiasi pada tahun 1950-an. Pria kelahiran Jember 18 Oktober 1930 itu memang terlahir dengan nama asli Jack Lemmers.

Jack pula yang turut berjasa mematangkan lagu Soekarno yang berjudul “Bersuka Ria” hingga sangat bernuansa Indonesia. Waktu itu lagu “Bersuka Ria” dinyanyikan oleh Rita Zaharah, Nien Lesmana, Bing Slamet dan Titiek Puspa. Lagu itu dimunculkan dalam album kompilasi bertajuk Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso pada label Irama yang dirilis pada 14 April 1965.

Wilton Djaya dalam buku Identitas Kolektif Komunitas Jazz Jogja berpendapat ada dampak besar dari usaha Jack mewujudkan irama lenso dengan beberapa unsur dan ornamen-ornamen musik jazz. Waktu itu, jazz akhirnya masih dapat diterima oleh pihak radio meski adanya pembatasan dari pemerintah atas peredaran musik budaya luar di radio. 

Jazz Lesmana
Pria berdarah campuran Madura dari ayah dan Jawa-Belanda dari ibu ini memang dipandang sebagai tokoh penting dalam musik jazz. Karena pengabdiannya yang besar pada perkembangan jazz di Tanah Air Jack sampai seringkali disebut Jazz Lesmana.

Jack mulai berkontribusi dalam industri musik Indonesia sejak dia bergabung dalam perusahaan Irama Record milik pengusaha Soejoso alias Mas Yos. Di tempat itu, Jack memiliki peranan penting sebagai penata musik sekaligus music supervisor.

Meski getol memainkan musik jazz, namun Jack tidaklah mengkotak-kotakkan jenis musik. Jack dikenal tak anti memainkan jenis musik lainnya. Makanya, karena terampil memainkan sejumlah instrumen musik, seperti gitar, bas, piano, serta trombone, Jack juga kerap mengiringi sederet penyanyi pop, mulai dari Oslan Husein, Nien Lesmana, Ivo Nilakhrisna, dan Bing Slamet.

Tak hanya itu, bersama Orkes Gita Kirana, dia juga tak sungkan mengiringi penyanyi kanak-kanak, seperti Endi dan Adi. Jack terkadang memainkan musik latin bersama Orkes Gema Irama, memainkan lagu-lagu bernuansa Sunda bersama Orkes Nada Kencana.

Di dunia musik jazz sendiri, pada awal dasawarsa 1950-an, Jack membangun karier musiknya dengan membentuk Jack Lesmana Quartet, selanjutnya namanya menjadi Jack Lesmana Quintet. Grup jazz Jack ini antara lain didukung oleh pianis Bubi Chen.

Pada tahun 1959, Jack Lesmana ikut mendukung album bertajuk Instrumentalia oleh Bubi Chen With Strings yang dirilis Lokananta. Kabarnya album tersebut pernah mendapatkan pujian Willis Connover, seorang kritikus jazz asal Amerika Serikat.

Kemudian di pertengahan tahun 1960-an Jack bersama Bubi yang memainkan piano, Benny Mustafa van Diest (drum), Marjono (flute, saxophone), dan Jopie Chen (bas) membentuk Indonesia All Stars. Kelompok jazz ini sempat tampil di Australia, Amerika Serikat dan Jerman.

Dhahana Adi dalam buku Surabaya Punya Cerita: Vol. 1 menyebutkan, kelompok jazz ini sempat berangkat dan tampil di Berlin Jazz Festival pada tahun 1967. Kemudian permainan Indonesia All Stars juga sempat mengundang minat seorang klarinet jazz Amerika Serikat bernama Tony Scott untuk melakukan kolaborasi.

Akhirnya muncullah sebuah album berjudul Djanger Bali yang direkam di MPS Studio Villingen Black Forest, Jerman, selama dua hari, yakni tanggal 27-28 Oktober 1967.   

Album tersebut berisikan empat lagu tradisional Indonesia, yakni Ilir-IlirBurung KakatuaGambang Suling dan Djanger Bali. Selain itu, ada pula lagu berjudul Mahlke karya gitaris Attila Zoller dan Summertime karya George dan Ira Gershwin dari Porgy & Bess.

Jack Lesmana (kedua kanan) bersama sejumlah musisi melakukan rekaman pada tahun 1963. Museum Penerangan - Kominfo

Guru Sejati
Bersama rekan sejawatnya, Jack pun terus menerus berupaya mempertahankan eksistensi musik jazz. Dia dikenal banyak menghimpun pemusik jazz dalam sebuah komunitas yang dibentuknya secara konstruktif. Di era 1970-an, ayah dari pemusik Indra Lesmana dan Sineas Mira Lesmana ini juga menggagas pertunjukan jazz di Taman Ismail Marzuki (TIM).  

Tak sebatas itu, Jack juga dikenang pernah mengelola acara musik bulanan di TVRI yang programnya dinamai Nada dan Improvisasi yang menghadirkan banyak pemusik jazz. Dia juga menyulap kediamannya sendiri, di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, jadi tempat yang pas bagi para pemusik jazz yang ingin mengasah kemampuannya atau sekadar berdiskusi. Jack tak pernah sungkan menularkan ilmunya pada siapapun yang berminat pada jazz.

Di tahun 1979, Jack bahkan sempat membawa serta keluarganya ke Australia agar putranya Indra Lesmana yang memperoleh beasiswa jazz. Indra sendiri sudah sejak usia 10 tahun berani tampil di pertunjukan profesional. Sambil mendampingi anaknya berkembang, Jack pun mengisi waktu luangnya dengan mengajar musik jazz di sana.

Barulah di tahun 1984, Jack kembali ke Tanah Air dan gairahnya untuk menghidupkan komunitas jazz tetap tinggi. Muncullah acara jazz berkala bertajuk Sunday Jazz di salah satu hotel berbintang.

Jack juga menginspirasi banyak kemunculan pemusik di generasi berikutnya, seperti halnya pengakuan gitaris Dewa Budjana dalam buku berjudul Gigi yang disusun Adib Hidayat. Diawali dengan perkenalannya bersama drummer Gilang Ramadhan, Budjana dulu sering nongkrong di rumah Jack yang membuka kursus dengan biaya lima puluh lima ribu rupiah per bulan.

Karena sering datang ke kediaman Jack, Budjana pun ikut mendaftar les. Dia nekat ikut les meski tahu orang tuanya hanya menyanggupi mengirimkan uang les sebulan saja.

Masuk bulan kedua, Budjana memberanikan diri jujur pada Jack. Dia berkata ingin belajar pada Jack tapi tak punya uang. Bagusnya Jack menangkap keseriusan dan bakat Budjana sehingga dia diperbolehkan Jack ikut les gratisan. 

“Saya enggak akan pernah lupa! Menurut saya, inilah pengabdian seorang guru pada muridnya,” kenang Budjana di buku itu.

Sampai akhir hayatnya, konstribusi Jack tetap tak bisa dilepaskan dari perkembangan jazz di Tanah Air. Jazz tetap mengisi keseharian Jack hingga dia menghembuskan napas terakhir akibat diabetes pada tanggal 17 Oktober 1988. (Nofanolo Zagoto) 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar