02 Desember 2020
13:18 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Gaya hidup masyarakat khususnya di perkotaan kian tidak terkendali. Perkembangan zaman, suka tidak suka mengubah lanskap kehidupan. Kini, masyarakat cenderung hidup lebih bebas, hedonisme menjadi panutannya.
Hedonisme sendiri adalah sebuah istilah yang menunjukkan paham kesenangan atau suatu pandangan tentang kenikmatan dunia. Paham itu melahirkan pelbagai sifat seperti matrealistis, pergaulan bebas, boros, egois, dan cenderung berfoya-foya. Pun, paham ini tengah digandrungi lintas kalangan. Dan yang paling rentan dengan gaya hidup itu adalah para remaja.
Khusus pergaulan bebas, hal itu sejatinya menjadi ancaman nyata. Tidaklah mengherankan jika saat ini banyak muncul fenomena prostitusi online. Gaya hidup ini sedikit berbahaya, sembari mencari kesenangan seksual, pundi-pundi rupiah juga didapatnya.
Kini, agaknya banyak dari masyarakat yang sudah lupa akan bahaya pergaulan bebas dan aktivitas seks yang tidak sehat yakni ancaman penularan human immunodeficiency virus (HIV). Di mana salah satu penularannya karena melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan serta tidak mengenakan pengaman.
HIV bisa menyerang seseorang dan merusak sistem kekebalan tubuh dengan cara menginfeksi dan menghancurkan sel SD4. Semakin banyak sel yang dihancurkan, maka akan membuat lemah sistem kekebalan tubuh sehingga rentan terserang penyakit. Infeksi HIV yang tidak segera ditangani bisa berisiko fatal, yaitu memicu kondisi serius yang disebut Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS).
AIDS sendiri merupakan stadium akhir dari infeksi HIV dan menjadi rangkaian terakhir dimana tubuh atau sistem kekebalannya sudah rusak dan tidak bisa melawan infeksi. Dan sialnya, sampai hari ini, obat untuk menangani HIV-AIDS belum juga ditemukan. Mereka yang terpapar akan mati pelan-pelan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam hari Aids tahun 2020 mengangkat tema “Global Solidarity, Ressilient Services”, sebagai bentuk penghormatan kepada seluruh orang yang mendedikasikan dirinya untuk memberikan pelayanan soal HIV-AIDS.
Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan sekaligus pemerhati HIV-AIDS, Ekarini Aryasatiani menjelaskan, sebenarnya stigma bahaya HIV-AIDS di Indonesia masih ada akan tetapi masyarakat kurang melihat bahayanya.
Jadi, kebanyakan dari mereka lebih baik memendam penyakitnya daripada harus memeriksakannya. "Penularannya enggak selesai-selesai," kata dr. Ekarini ketika berbincang dengan Validnews, Rabu (2/12).
Data per tahun 2019, jumlah orang dengan HIV-AIDS (ODHA) di Indonesia sebanyak 349.883 kasus. Rinciannya, terbanyak terinfeksi adalah mereka yang berusia 25–49 tahun sebesar 71,1%, 20–24 tahun 14,4%, dan di atas umur 50 tahun sebanyak 9%.
Menyitat angka Kementerian Kesehatan, sejak tahun 2000–2018, infeksi HIV-AIDS memang mengalami penurunan sebesar 37%. Kematian juga turun hingga 45% dan sebanyak 13,6 juta jiwa masyarakat Indonesia selamat karena mengkonsumsi Antiretroviral (ARV).
Menurutnya, penurunan jumlah ODHA karena kini orang yang terpapar sudah mulai diobati. Sebab jika orang tersebut sudah diobati, viral load-nya menjadi undetectable atau tidak terdeteksi lagi virusnya dan menjadi untransmittable atau mengalami risiko penularan ke orang lain.
"Harus lewat produk darah masuk ke darah. Jadi darah diambil dari orang positif ditusukan ke orang lain baru bisa ketularan. Kalau biasa saja, biasanya lebih kurang, termasuk di hubungan seksual. Oleh karena itu sekarang menganut (paham) ketemu orang yang positif langsung diobati berapapun CD4-nya," jelas Ekarini.

Meski menurun, namun jangan sampai kemudian gaya hidup masyarakat seakan lepas kontrol. Mengingat virus ini berisiko kematian. Akan tetapi, ia melihat gaya hidup masyarakat Indonesia memang cenderung sedikit meremehkan virus berbahaya. Ia mencontohkan, jangankan HIV-AIDS yang membuat mati perlahan, covid-19 yang menyebabkan kematian mendadak saja masyarakat cenderung tidak peduli.
"Emang masyarakat kita kaya begitu entah enggak ngerti atau enggak peduli. Apalagi kalau matinya pelan-pelan. Sama Hepatitis yang endemi lebih besar dari HIV aja orang enggak pada takut," urainya.
Kini ia memastikan tenaga kesehatan di Indonesia sudah lebih banyak yang memahami bagaimana penanganan pasien HIV-AIDS. Pun, program pemerintah yang melakukan pendeteksian dini juga kian masif dilakukan. Jadi penanganan bisa lebih cepat dilakukan dan mengurangi risiko kematian.
"Karena pasiennya semakin banyak dan tenaga kesehatannya semakin mengerti banyak yang diobati, orang itu sudah makin biasa sama HIV," ujarnya.
Akan tetapi, meski segala pengobatan sudah dilakukan bukan berarti masyarakat bisa menyepelekan. Karena secanggih apapun pengobatannya tentu lebih baik tidak sama sekali terpapar HIV-AIDS. "Sangat dibutuhkan kesadaran dari masyarakat." (Dwi Herlambang)