04 September 2017
11:31 WIB
JAKARTA- Tak banyak literasi sejarah yang mengulik siapa dirinya. Padahal dia hadir di banyak momen-momen perjuangan pergerakan kemerdekaan bangsa ini, baik sebelum maupun sesudah proklamasi kemerdekaan.
Henk Ngantung namanya. Pria berdarah Tionghoa-Manado kelahiran 1 Maret 1921 ini sesungguhnya punya jasa yang sangat besar terhadap negeri dimana ia dilahirkan. Sayang tuduhan tak berdasar rezim Orde Baru terhadap dirinya sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) memaksanya diam hingga akhir ajalnya.
“Soeharto itu orang Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat). Tapi dia lupa logo Kostrad yang buat Pak Henk,” kisah istrinya, Evie Ngantung, menceritakan kejinya rezim Orba terhadap suami yang dikasihinya.
Dalam buku Journalism and Politics in Indonesia: A Critical Biography of Mochtar Lubis karya David T.Hill, jurnalis Mochtar Lubis, disebutkan bahwa Hendrik Hermanus Joel Ngantung, nama lengkapnya, bersama anggota Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) lainnya tak pernah mau didikte oleh ideologi politis, termasuk PKI.
Kedekatan Henk Ngantung dengan Presiden Soekarno-lah yang diduga menjadi penyebab rezim Orba memberangusnya. Tuduhan PKI itu pula yang membuatnya harus dicopot dari kursi gubernur, amanat yang pernah diberikan sang proklamator kepada dirinya sebagai seorang keturunan Tionghoa pertama dan warga non muslim pertama yang pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Jika di masa perang kemerdekaan para pejuang mengangkat senjata mempertaruhkan nyawa di medan pertempuran, Henk punya kontribusi sendiri bagi bangsa dan negerinya. Anugerah Tuhan berupa kemampuan membuat sketsa atas suatu peristiwa kelak menjadikannya sosok penting yang mengabadikan banyak peristiwa bersejarah lewat goresan-goresan sketsa tangannya.
Keahliannya ini pula yang mempetemukannya dengan Soekarno. Sebuah gubahan tulisan Agus Dermawan T, seorang konsultan koleksi benda-benda seni istana-istana presiden yang termuat dalam buku Bukit-bukit Perhatian: Dari Seniman Politik, Lukisan Palsu sampai Kosmologi Seni Bung Karno, mengisahkannya.
Kala itu di tahun 1943 Heng Ngantung menggelar lukisan-lukisannnya di sebuah pameran senirupa di Keimin Bunka Sidosho (Pusat Kebudayaan Jepang), Jakarta. Bung Karno yang saat itu belum menjadi presiden juga hadir di pameran itu karena kecintaanya akan lukisan.
Mata Bung Karno tertegun pada sebuah lukisan yang dipajang di salah satu pojok Gedung Keimin Bunka Sidosho.
“Lukisan bagus!” ujar Bung Karno memuji sebuah lukisan seorang pemuda gagah perkasa yang sedang memanah.
“Ini sebuah simbol bangsa Indonesia yang terus…terus…terus bergerak maju. Paulatim longius Itur!”
Ketertarikan Bung Karno terhadap lukisan itu ternyata begitu kuat. Dikisahkan, usai pameran, Soekarno mencari tahu dan mendatangi studio Henk Ngantung.
“Aku ingin membeli lukisan itu,” tawar Bung Karno menunjuk lukisan triplek yang memang telah mencuri perhatiannya.
Henk tahu siapa sosok yang mendatanginya. Tak bermaksud mengecilkan hati Bung Karno, ia dengan jujur mengakui bahwa sesungguhnya lukisan itu belum sempurna adanya.
“Lukisan itu sebenarnya belum selesai. Bagian lengan si pemanah belum sempurna,” kata Henk.
“Engkau pasti bisa menyelesaikannya sekarang juga,” Bung Karno menimpali penuh hasrat.
“Untuk menyelesaikannya harus ada model,” ucap Henk membalas.
“Aku, Soekarno, akan jadi modelnya…” tukas Bung Karno.
Demikianlah Bung Karno untuk pertama kalinya menjadi model lukisan yang sangat disukainya. Lukisan itu kemudian disempurnakan hanya dalam beberapa puluh menit dan langsung dibawa pulang serta dipajang di beranda rumahnya di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta Pusat.
Di dalam buku "17|71: Goresan Juang Kemerdekaan" yang diterbitkan Kementerian Sekretariat Negara, dikisahkan bahwa Henk Ngantung menggunakan wajah Marius Ramis Dajoh, sastrawan Indonesia ternama era revolusi sebagai model, berpadu dengan model tangan dari tangan Presiden Soekarno (memegang tali busur).
Kelak lukisan Memanah itu pula yang akan menjadi saksi sejarah dan menjadi latar belakang saat konferensi pers proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Uniknya, meski dituduh PKI lukisan Memanah menjadi satu dari sekian mahakarya lukisan yang terpajang di Istana Negara hingga saat ini.
Henk Ngantung
Pelaku Sejarah
Perkenalan Henk dan Bung Karno ternyata tak berhenti sampai di situ saja. Sejarah mencatat perundingan-perundingan yang dihadiri Presiden Soekarno pasca kemerdekaan juga melibatkan Henk.
Sebagai apa? Tentu hal itu menjadi pertanyaan mengingat Henk adalah seorang seniman, bukan orang pergerakan seperti Soekarno dan tokoh-tokoh lain yang hadir dalam perundingan-perindingan itu.
Ternyata Henk diminta menjadi pewarta, melukis sketsa tokoh-tokoh dan situasi yang terjadi pada saat perundingan. Sketsa-sketsa goresan tangan Henk menjadi saksi sejarah perjuangan bangsa.
Sketsa Perundingan Kaliurang (Yogyakarta), Perundingan Linggarjati (1946) dan Perundingan Renville (1948) didokumentasikan Henk lewat karya tangannya.
Sketsa bersejarah lain adalah sketsa Gajahmada. Wajah Mahapatih Kerajaan Majapahit yang tertanam di memori kita lewat buku-buku sejarah sejak duduk di bangku sekolah adalah karya Henk. Sketsa itu pula yang menginspirasi patung Gajah Mada yang berdiri tegak di halaman kompleks Mabes Polri.
Begitu pula tugu Pak Tani dan Tugu Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng tak lain bersumber dari inspirasi dari sketsa yang dibuat Henk Ngantung.
Tugu Selamat Datang yang berada di Bundaran Hotel Indonesia juga buah hasil karya tangannya. Tugu itu dibuat bertepatan pada tahun 1962 Indonesia akan menjadi tuan rumah Asian Games ke empat, Presiden Soekarno mempunyai gagasan untuk membangun sebuah monumen atau tugu di Jakarta untuk menyambut atlet-atlet yang berkunjung ke Indonesia.
Tugu Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta merupakan salah satu karya Henk Ngantung/ ANTARAFOTO
Lokasi itu dipilih karena posisinya yang strategis dan menjadikannya ikon kepada dunia Internasional. Tugu tersebut dikerjakan oleh Henk ketika menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Pembuatan tugu ini memakan waktu satu tahun dan diresmikan Presiden Soekarno pada tahun 1962.
Besarnya kontribusi Henk bagi sejarah perjuangan bangsa ini pula yang mendasari Presiden Soekarno memberikan amanat baginya memimpin Ibukota negara sebagai Gubernur ke tujuh DKI Jakarta. Alasan penunjukan Henk dikarenakan Soekarno ingin membangun kota Jakarta dengan dimensi budaya yang kental lewat karya-karya Henk.
Jabatan itu tak lama diembannya, yakni 27 Agustus 1964 sampai 15 Juli 1965. Perubahan peta poltik tanah air, dimana transformasi kepemimpinan dari tangan Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, juga merubah garis kehidupan Henk.
Di era Soeharto jabatan Henk sebagai gubernur langsung dicopot setelah dituduh sebagai anggota PKI. Tuduhan yang tidak pernah dibuktikan lewat persidangan hingga ajal menjemputnya pada 12 Desember 1921.(Rafael Sebayang)