c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

21 Agustus 2020

17:00 WIB

Gigih Dengan Konsep Negara Kepulauan

Mochtar Kusumaatmadja, anak seorang apoteker, mempertahankan laut Nusantara melalui lobi-lobi

Gigih Dengan Konsep Negara Kepulauan
Gigih Dengan Konsep Negara Kepulauan
Mochtar Kusumaatmadja. Ist/dok

JAKARTA – Pada bulan Agustus, bukan hanya Hari Kemerdekaan saja yang sejatinya jadi hari penting nasional. Tepat pada tangal 21 Agustus, Indonesia sebenarnya juga memperingatinya sebagai Hari Maritim Nasional.

Dipilihnya tanggal ini sebagai Hari Maritim bukan tanpa sebab. Pada tanggal ini, tepatnya 21 Agustus 1945, Angkatan Laut Indonesia tercatat berhasil mengambil kembali kedaulatan laut Indonesia dari angkatan laut Jepang. Namun, tanggal itu pun hanya permulaan. Konsep negara kepulauan dengan kedaulatan di laut, masih diperjuangkan.

Asal tahu saja, sekalipun sudah merdeka 17 Agustus 1945, wilayah batas laut Indonesia masih mengacu pada peraturan masa Hindia Belanda, yakni Teritoriale Zee en en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam beleid itu ditetapkan, jarak laut teritorial laut bagi tiap pulau di Nusantara adalah 3 mil dari lepas pantai.

Peraturan ini memunculkan kantong-kantong lautan bebas di tengah-tengah wilayah Indonesia yang membuat kapal-kapal asing, dapat berlayar secara bebas termasuk kapal-kapal perang. Maklum, sebagai negara kepulauan, jarak antara pulau satu dan pulau lainnya bisa lebih dari 3 mil.

Dengan hukum tersebut, alhasil, kapal-kapal Belanda baik milik sipil maupun militer, dapat dengan bebas menjelajahi perairan laut di antara pulau-pulau di Indonesia. Laut Jawa, Selat Karimata, Laut Flores, Laut Arafuru, Sulawesi, adalah beberapa contoh laut bebas yang boleh dilintasi kapal asing tanpa meminta izin kepada Indonesia.

Kapal perang Belanda Karel Doorman, misalnya, dengan santainya, seolah meledek, berlayar di Laut Jawa menuju ke Papua. Sementara, Indonesia sebagai pemilik kawasan tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi kekuatan angkatan laut Indonesia saat itu, tidak sekuat armada Belanda.

Keberadaan laut-laut bebas di antara pulau-pulau di Indonesia ini pun terlihat janggal. Bagaimana bisa wilayah suatu negara yang berdaulat dipisahkan oleh laut-laut bebas antara pulau-pulaunya.

Menyadari hal tersebut, para petinggi negara pun tak terima. Pasalnya, pada saat yang bersamaan, Indonesia waktu itu sedang menghadapi pergolakan di berbagai daerah dan juga Belanda dalam sengketa masalah Papua (Irian Barat). Adanya daerah laut bebas di antara kepulauan Nusantara, tentu rawan penyusupan tentara asing.

Oleh karena itu, muncullah ide untuk memperbaharui Ordonantie 1939. Di sinilah, nama Mochtar Kusumaatmadja punya peranan penting dalam usaha memperjuangkan kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan.

Pria yang lahir di Jakarta pada 17 April 1929 itu, berperan banyak dalam perumusan konsep mempersatukan wilayah NKRI. Terutama dalam menetapkan landasan hukum atas batas laut teritorial, batas darat dan batas landas kontinen Indonesia yang kemudian ditetapkan dalam Deklarasi Djoeanda pada 13 Desember 1957.

Kisahnya menjual gagasan dan konsep penyatuan laut nusantara, dimulai pada 1 Agustus 1957. Saat itu, dia diangkat sebagai Ketua Panitia Rancangan Undang-undang Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim bersama Kolonel Pirngadi. Dia diminta oleh Djoeanda, Perdana Menteri Indonesia ke-10, untuk mencari dasar hukum guna mengamankan keutuhan wilayah Indonesia.

Asas Archipelago
Mochtar, pun mengusulkan ide mengenai “asas archipelago” yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional 3 pada 1951. Seperti yang telah dipertimbangkan oleh rancangan undang-undang sebelumnya yang tidak dijalankan dalam hukum laut Indonesia.

Sebagai alternatif terhadap rancangan undang-undang itu, disusunlah “asas negara kepulauan”.  Dengan menggunakan asas ini sebagai dasar hukum laut Indonesia, maka Indonesia akan menjadi negara kepulauan atau archipelagic state. Pemikiran ini tergolong suatu eksperimen radikal dalam sejarah hukum laut dan hukum tata negara di dunia kala itu.

Pada 13 Desember 1957, Mochtar bersama Pirngadi dipanggil Djoeanda ke Pejambon, Jakarta. Dengan saksama, dia bersama Pirngadi menjelaskan peta Indonesia yang sudah menggunakan konsep laut yang baru, sebagai wilayah teritorial Indonesia bukan hanya 3 mil, tapi 12 mil dari garis air rendah.

Hasil rapat kabinet kemudian memutuskan, konsep yang menyatakan bahwa “segala perairan di sekeliling dan di antara pulau-pulau di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada di bawah kedaulatan Indonesia”, diterima sebagai hasil rapat.

Konsep inilah yang tertuang dalam Deklarasi Djoeanda yang dibacakan pada 13 Desember 1957. Begini isinya;

Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri.

Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan.

Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan:

Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat.

Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara Kepulauan.

Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.

Bisa dibilang, konsep Mochtar lah yang menjadi subtansi dalam Deklarasi Djoeanda. Inti dari konsep itu adalah tentang pengaturan yang memberikan ‘wilayah lautan’ Indonesia seluas mungkin yang dapat dipertahankan sesuai dengan hukum internasional.

Kemudian yang tak kalah penting adalah tentang karakter khusus Indonesia sebagai ‘negara kepulauan’. Konsep ini dianggap jadi konsep yang sangat menguntungkan Indonesia. Sebab memberikan ketegasan antara darat, laut, dasar laut, udara, dan juga seluruh kekayaan pada seluruh kesatuan wilayah Indonesia.

Dengan begitu, seluruh kekayaan alam yang terkandung dalam bumi Indonesia bisa dimiliki negeri ini. Jika mengikuti aturan Belanda, hal ini sulit didapat, mengingat aturan hanya menyebut wilayah Indonesia hanya terbatas pada wilayah darat saja.

Nah, lewat Deklarasi Djuanda, wilayah nusantara pun terhubung menjadi satu kesatuan utuh. Tak heran, pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Hal ini dipertegas oleh Presiden Megawati dengan menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001, tentang Hari Nusantara.

Ditentang Internasional
Awalnya, konsep ini memang tak bisa diterima banyak kalangan internasional. Konsep negara kepulauan yang dirancang Mochtar yang pernah menimba ilmu hukum di Amerika Serikat, bahkan sempat menimbulkan kecaman dari dunia Internasional.

Hampir seluruh negara di dunia menentang keras konsep negara kepulauan tersebut. Pasalnya, konsep itu dianggap bertentangan dengan hukum internasional yang menyebutkan, kekuasaan laut suatu wilayah negara, hanya diakui selebar tiga mil yang diukur dari masing-masing pulau.

Namun sang konseptor ini tetap bersikukuh, konsep negara kepulauan merupakan solusi yang terbaik untuk menjaga keutuhan laut Indonesia dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Untuk meluluskan cita-cita penyatuan nusantara, sebagai langkah pertama, konsep ini dibawa ke konferensi hukum laut yang diadakan oleh PBB dalam UNCLOS I (United Nations Conference on the Law of Sea), di Jenewa, Swiss pada Februari tahun 1958. Sebagai konseptor, Mochtar memimpin perjuangan dalam konferensi tersebut agar konsep tersebut mendapat pengakuan dunia.

Sejumlah negara maju bersatu menolak gagasannya. Sebab gagasan dia membatasi kebebasan mereka di laut lepas.

Tak mau menyerah. Dengan penuh keyakinan, Mochtar, kembali memperjuangkan konsep negara kepulauan di UNCLOS II pada 1960. Hasilnya pun sudah bisa ditebak, gagal lagi.

Selanjutnya, dia menyarankan Pemerintah Indonesia untuk meresmikan konsepnya yang tertuang dalam Deklarasi Djoeanda melalui Undang-undang. Lahirlah Undang-Undang/Prp No 4/1960 pada Februari 1960.

Dengan diresmikannya Deklarasi Djoeanda dalam UU No 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia, wilayah RI menjadi 2,5 kali lipat menjadi 5.193.250 km². Dengan pengecualian Irian Jaya yang saat itu belum diakui secara Internasional. Didasarkan perhitungan 1960 garis batas lurus atau straight baselines dari titik pulau terluar, terciptalah garis batas maya yang mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut.

Undang-undang ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 103 tahun 1963 yang menetapkan seluruh perairan Nusantara Indonesia, sebagai satu lingkungan laut yang berada di bawah pengamanan Angkatan laut RI.

Implementasi undang-undang tersebut adalah menetapkan Peraturan Pemerintah No.8/1962 tanggal 25 Juli 1982, untuk mengatur lalu lintas laut damai bagi kendaraan air asing yang melalui perairan Nusantara Indonesia.

Sepuluh tahun setelah konsep negara kepulauan diumumkan, timbul berbagai pemikiran di dunia internasional untuk membahas kembali masalah kelautan. Menurut Djuanda dalam buku Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama (2001), suntingan Awaloedin Djamin disebutkan bahwa hal itu dilandasi beberapa hal:

(1) Makin banyaknya negara-negara di Asia dan Afrika yang baru merdeka, yang merasa tidak pernah ikut membuat Hukum Laut Internasional pada masa lalu. Karena itu ingin lebih berperan dalam menentukan dan membela kepentingannya.

(2) Terjadinya kecelakaan kapal tangki Torrey Canyon pada 1967 di Selat Dover yang menimbulkan polusi laut di pantai Inggris dan Prancis. Hal ini kemudian menimbulkan permasalahan hukum perlindungan lingkungan laut.

(3) Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan yang memungkinkan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di dasar laut dalam, yang terletak jauh dari wilayah nasional. Sehingga menimbulkan masalah kepemilikan atas kekayaan alam tersebut.

(4) Makin maraknya eksploitasi perikanan di laut oleh negara-negara penangkap ikan jarak jauh yang tidak membawa keuntungan apa pun bagi negara-negara pantai yang lebih dekat dengan sumber perikanan tersebut.

(5) Semakin menghebatnya Perang Dingin yang memerlukan mobilisasi angkatan laut masing-masing melalui selat-selat dan laut-laut yang sangat strategis, terutama di Asia Tenggara.

Poin-poin itulah yang mendorong dunia internasional untuk mengadakan Konvensi Hukum Laut Internasional PBB ke-3 yang berlangsung dari 1973 sampai 1982.

Pengakuan Dunia
Kesempatan ini pun tak disia-siakan. Delegasi Indonesia kembali memperjuangkan isi Deklarasi Djuanda agar diakui dunia. Kali ini langkah Mochtar yang pernah menjadi rektor Unpad, semakin kuat dengan didahului serangkaian upaya penggalangan dukungan.

Forum-forum resmi yang bersifat akademis digelar di tingkat internasional. Dukungan juga datang dari sesama negara kepulauan, seperti Filipina, Fiji, Mauritius dam negara-negara Asia-Afrika (khususnya yang tergabung dalam Asian African Legal Consultative Committee).

Selain itu, Indonesia juga mengembangkan kerja sama dengan beberapa negara pantai di Asia-Afrika dan Amerika Latin. Negara-negara maju yang memiliki garis pantai panjang, seperti Kanada, Australia, Selandia baru, Norwegia, dan Islandia, juga didekati.

Pada kesempatan ketiga inilah, Indonesia tidak sendiri memperjuangkan konsep negara kepulauan. Hasilnya, konsep Indonesia sebagai negara kepulauan diakui. Indonesia kemudian meratifikasinya dalam undang-undang Nomor 17 tahun 1985, pada tanggal 31 Desember 1985. Pengakuan luas dunia internasional pun didapat sejak 16 November 1994, setelah 60 negara meratifikasinya. (Restu Fadilah)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar