23 Agustus 2019
17:36 WIB
JAKARTA – Tanah Papua yang kaya adalah anugerah Tuhan yang tak terkira. Hutan, bukit, dan ngarai yang berliku pun menyimpan banyak cerita.
Sayangnya, meski emas, perak, tembaga, dan kekayaan alam lainnya terserak, tak berbanding lurus dengan kesejahteraan suku-suku di pedalaman Papua. Kehidupan mereka sangat sederhana dan hanya mengandalkan kemurahan alam. Sebagian besar dari mereka hidup dari bercocok tanam, dengan terus mempertahankan budaya leluhur.
Asal tahu saja, ketika peradaban dunia terus bergerak maju, pada 1950-an masih ditemukan adanya suku yang hidup dengan perkakas batu. Hal ini diketahui dari catatan penginjilan yang dilakukan oleh Donald Clyde Gibbons yang datang ke Ilaga di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua.
Penginjil asal Amerika serikat itu mendatangi suku Damal yang ada di lembah Ilaga. Pria yang kini lebih dikenal dengan Don Gibbons itu datang bersama rekan misionarisnya, Gordon Larson. Mereka mendaki berhari-hari dalam kondisi berbahaya untuk mencapai lembah Ilaga.
Dalam catatan disebutkan, Don dan Larson menjadi orang luar pertama yang tinggal di antara warga tak tersentuh peradaban zaman di sana. Bukan perkara mudah bagi Don untuk memperkenalkan kabar keselamatan bagi suku di pedalaman Papua. Kondisi alam yang berbukit dan berlembah menjadi tantangan utama. Belum lagi soal budaya dan bahasa yang harus ia pelajari seiring dengan misi penginjilan tersebut.
Dalam pelayanannya itu, Don Gibbons banyak dibantu oleh sang istri, Alice (Rhoads) Gibbons. Pasangan suami istri ini dikirim oleh lembaga misi dari Amerika pada 1953 dengan kapal angkut lautan ke wilayah Papua. Tujuannya, memperkenalkan Yesus dan kabar baik tentang keselamatan bagi suku-suku di pedalaman Papua.
Catatan yang sama juga menyebutkan, Don dan Alice bekerja untuk misi mereka bagi orang-orang pedalaman Papua selama 40 tahun lebih. Karena penginjilan yang mereka lakukan, ratusan orang mengenal Yesus dan menyebar dari satu suku ke suku yang lain.
Dalam buku Where the Earth Ends, Stone Age People Tell Their Story yang ditulis oleh Alice Gibbons, diceritakan cara mereka menjalani misi kekristenan di tanah Papua. Dalam awal perjalanan mereka, selain harus menghadapi medan yang sulit, mereka juga sempat beberapa kali diburu. Tapi, kesulitan yang dihadapi tak membuat Don dan teman perjalanannya mengurungkan niat. Bagi mereka, Injil keselamatan harus tetap disampaikan.
Don membangun tempat tinggal mereka di Lembah Dani dan memilih daerah Damal. Orang-orang setempat mulai membantu mereka membangun landasan terbang sehingga istri dan anak mereka bisa terbang ke lembah tersebut untuk bergabung dengan mereka.
Bahasa Indonesia
Awalnya, Don bisa lebih dekat kepada suku Damal lantaran seorang remaja Damal menyambut Don dalam bahasa Indonesia. Saat itu, bahasa Indonesia adalah bahasa perdagangan yang digunakan oleh pemerintah.
"Ayahku, Bapa Den, mengajakmu datang ke desanya," ucap remaja tersebut kepada Don, seperti dikutip dari buku.
Saat itu Don terkejut. Dia mengerti bahasa Indonesia, namun tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun bahasa Damal. Namun, Don dan remaja tersebut berangkat untuk menemui Bapa Den, seperti yang disampaikan remaja itu kepadanya. Dalam perjalanan tersebut, Don mengamati remaja tersebut, yang kemudian dinamai Sam.
Ternyata Bapa Den adalah Kepala Suku Damal. Sang kepala suku mengundang Don untuk membangun rumahnya di pinggir desanya. Sebagai pengganti lahan, Don memberi kepala suku itu sebuah kapak baja, sebuah hadiah berharga saat itu, ketika sebagian besar orang masih menggunakan peralatan batu.
Don mempekerjakan Sam sebagai penolong bahasanya serta mulai meniru, menghafal, dan menggunakan kata-kata bahasa Damal yang rumit. Terbilang sangat rumit karena saat itu warga Suku Damal tidak memiliki kata-kata untuk Tuhan. Meski rumit, ternyata lambat laun Don mulai bisa mengajar orang-orang Damal tentang Tuhan.
Tidak hanya Tuhan yang harus diajarkan kepada suku di sana, banyak juga hal tentang kekristenan yang harus disampaikan Don, meski harus bertahap dan perlahan. Menurut buku tersebut, warga suku Damal tidak memiliki konsep waktu seperti minggu, bulan, atau bahkan tahun.
Dengan menggunakan jari-jari untuk menghitung seperti yang dilakukan para warga Damal, Don menjelaskan, setiap hari ketujuh, pekerjaan akan berhenti di lapangan terbang sehingga orang bisa berkumpul di Desa Den untuk mendengarkan cerita tentang Sang Pencipta dan Putra-Nya, Yesus.
Selama seminggu, Don dan Sam bekerja sama menerjemahkan kisah-kisah Alkitab. Pada Minggu, Don mengucapkannya secara garis besar dalam bahasa Indonesia, sedangkan Sam mengulanginya dalam bahasa Damal. Jumlah yang hadir bertambah setiap minggu. Ini menjadi semacam ibadah masyarakat suku Damal mula-mula.
Dalam bukunya, Alice menceritakan hal yang dia ingat, tentang bagaimana pada sebuah Minggu ia bergabung dengan 500 warga suku Damal. Ia melihat dua pria berdiri dan menyanyikan sebuah nyanyian Damal yang memberitakan 20 ayat Injil, sementara orang banyak menyanyikan sebuah respons setelah setiap ayat dilantunkan.

Menerima Yesus
Alice juga bercerita, saat itu ia mengamati sejumlah orang yang duduk di pinggir tidak dapat mendengar suara Sam. Karena itu, ia mendorong Don untuk mulai berkhotbah secara langsung di Damal. Don pun mulai mencoba hal tersebut.
Don bekerja dengan Sam menulis cerita dalam bahasa Damal. Hingga akhirnya, ia bisa menyampaikan khotbahnya tersebut yang pada saat itu dihadiri sang kepala suku.
Sesuai catatan Alice dalam bukunya, disebutkan sang kepala suku, Bapa Den, adalah anak dari kepala Suku Damal sebelumnya. Keduanya adalah penjaga jimat peninggalan leluhur. Benda suci itu diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam khotbahnya, Don menantang Suku Damal yang ada saat itu untuk membuat pilihan. Apakah akan memilih jalan Yesus atau jalan menuju kematian dan neraka.
"Jalan mana yang akan kamu ikuti? Jalan Yesus menuju surga dan hidup yang kekal. Jalan lain, jalan setan yang menyebabkan kematian dan neraka. Anda tidak bisa berjalan di kedua jalur pada saat bersamaan karena mereka berlawanan arah,” ucap Don saat itu.
Tantangan itu bukan main-main. Mengingat saat itu jalan Yesus yang dia sampaikan adalah sebuah paham baru, sedangkan paham yang selama ini dipegang oleh masyarakat di sana sudah diwariskan turun temurun.
Atas tantangannya itu, Bapa Den dan pemimpin lainnya mendatangi Don dengan pertanyaan.
"Jika kami menghancurkan jimat suci kami dan mengikuti jalan baru ini, siapa yang akan melindungi kami dalam perang jika musuh menyerang kami?" tanya mereka.
Don menjawab, semua itu akan dilakukan oleh Tuhan. Don menegaskan, Tuhan lebih kuat dari daya tarik apa pun yang diyakini masyarakat di sana saat itu.
"Siapa yang akan membantu kami dalam penyakit? Siapa yang akan menyebabkan kebun kami tumbuh?" tanya Bapa Den lagi.
Don menjawab dengan memberi tahu mereka kisah-kisah Alkitab untuk memastikan, Tuhan akan memenuhi semua kebutuhan mereka.
Bapa Den akhirnya membuat keputusan. Hari itu dia mengumumkan bahwa pada Minggu berikutnya dia akan membakar jimat leluhurnya, menghancurkan rohnya. Bukan keputusan yang mudah tentunya. Keputusan Bapa Den itu ditentang oleh sejumlah masyarakat Damal.
Meski begitu, keputusan Bapa Den sudah bulat. Pada harinya tiba, Bapa Den meletakkan kayu bakar dengan gaya silang dan membangun struktur di tengah halaman. Api unggun dinyalakan. Saat itu Don kembali mengingatkan bahwa setiap orang harus mengambil keputusan, bahwa siapa pun yang memutuskan berjalan di jalan Yesus harus berdiri dan mendekati tumpukan kayu bakar.
Sebelum ada yang bergerak, Den lari ke gubuknya, mengambil api dan menyalakan api unggun. Orang-orang mulai berlari berteriak saat mereka melemparkan seikat besar jimat ke dalam api yang berkobar. Wanita merobek jimat dari lengan mereka dan dari sekitar leher mereka, melemparkannya ke api.
Bergerak ke Suku Lain
Bapa Den dan warga Damal di Ilaga kemudian menjadi penggerak orang berpaling kepada Tuhan. Warga Suku Dalam Ilaga mempercayai Tuhan dan mulai berbagi iman mereka di lembah lain di utara, selatan, dan barat. Kabar keselamatan pertama dibagikan dengan Suku Damal lainnya, kemudian dengan Suku Nduga dan Monis.
Orang-orang Suku Dani Ilaga menyaksikan berkat Tuhan tercurah kepada Suku Damal, tetangga mereka, selama 18 bulan, sebelum mereka memutuskan untuk berpaling untuk mengikuti Yesus.
Orang-orang beriman dari Suku Dani kemudian memberitakan hal yang mereka terima ke sejumlah suku di wilayah timur. Pesan tersebut diterima oleh orang-orang dari banyak suku dan bahasa, menjangkau daerah-daerah yang jauh di mana kelompok misi lainnya bekerja.
Meskipun para misionaris berada dan bertempat tinggal di Ilaga serta mempelajari bahasa mereka, orang-orang tetap tidak responsif sampai kemudian orang-orang Ilaga itu sendiri memberikan kesaksian mereka. Dalam 10 tahun berikutnya, 100.000 orang menerima Injil.
Alice bercerita, keluarganya terus tinggal bersama para warga Damal dan belajar bahasa mereka. Seorang ahli bahasa terlatih bergabung dengan mereka dan mengembangkan alfabet Damal serta mulai menerjemahkan Perjanjian Baru. Warga Damal pun diajarkan untuk membaca.
“Suami saya dan saya mendirikan sebuah sekolah Alkitab empat tahun untuk melatih pendeta bagi gereja-gereja yang bermunculan di desa-desa,” ucap Alice.
Dalam catatan peringatannya, disebutkan bahwa Don terhubung dengan orang-orang dari budaya yang berbeda. Ia juga cepat belajar bahasa baru serta mampu mengomunikasikan Injil dengan cara yang inovatif dan sesuai dengan budaya setempat.
Selama bertahun-tahun, Don menjelajahi tempat-tempat terpencil. Dengan senang hati, ia menghadapi bahaya dan kesulitan serta secara kreatif memperbaiki dan membangun sesuatu menggunakan beberapa bahan yang ada.
Untuk diketahui, catatan tersebut juga menyatakan bahwa Don mengawasi pembangunan landasan terbang yang memungkinkan pesawat pertama mendarat di pedalaman Papua. Bersama Alice, ia menjalankan klinik medis, mengajar sekolah Alkitab, membuat kurikulum untuk para siswa itu, dan menjadi pendeta bagi banyak orang. Cinta Don kepada orang-orang membantunya berteman di seluruh dunia dan menginspirasi banyak orang untuk mendukung misi internasional.
Setelah kembali ke Amerika Serikat untuk pensiun, Don aktif di gereja-gereja di Paradise, CA dan Ripon, CA. Sang istri kemudian meninggal pada Juli 2017, sedangkan Don sendiri meninggal dunia pada 14 Januari 2018. (Jenda Munthe, dari berbagai sumber)