c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

09 Oktober 2020

21:00 WIB

Dokter Pengusir Frambusia

Editor: Nofanolo Zagoto

Dokter Pengusir Frambusia
Dokter Pengusir Frambusia
Kodiyat sumber foto: Arsip Nasional Republik Indonesia/dok

JAKARTA – Sebagian kepulauan Nusantara pernah terserang wabah frambusia pada tahun 1930-an. Penyakit yang menyasar kulit, tulang, sendi, dan menyebabkan kelumpuhan itu, dikenal pula dengan nama patek.

Korbannya berlimpah. Sebanyak 15–20% penduduk terjangkit. Meski begitu, pemerintah kolonial bersikap tak acuh. Sebab, penderita terbanyak adalah pribumi, yang rata-rata tertular karena faktor kebersihan. Belanda hanya menyediakan layanan berobat di beberapa klinik dengan menyuntikkan neosalvarsan. Itu pun berbiaya sangat mahal.

Warga miskin hanya mampu membayar satu suntikan obat, walau anjurannya mesti 11 kali. Dampaknya buruk. Mereka tak kunjung sembuh, penyebaran penyakit juga makin sulit dikendalikan.

Penderitaan para jelata itu menggelisahkan Raden Kodiyat, seorang dokter yang bekerja di pemerintahan Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Nurani yang terusik, mendorongnya untuk melakoni gagasan “gila”. Kodiyat memutuskan untuk memberantas penyakit patek sampai akarnya sendirian. Ya, sendirian!

Kodiyat lantas blusukan ke sekitaran Kediri. Dalam perjalanan, ditemukannya begitu banyak orang yang terpapar. Tubuh mereka dilekati tanda-tanda patek, seperti kulit yang bernanah dan bengkak. Kodiyat bertindak. Diberikannya suntikan neosalvarsan secara cuma-cuma ke semua penderita.

Proses pengobatan penyakit tersebut membutuhkan waktu yang lama. Kodiyat harus berulang kali datang ke rumah masing-masing warga terjangkit, untuk memantau perkembangan. Sejak pagi buta dia sudah keliling berjalan kaki. Lain waktu, dia berkuda atau menggunakan sepeda.

Segala kebutuhan pengobatan dibiayai sendiri. Hasil jerih payahnya selama 20 tahun sebagai dokter, terhitung cukup untuk menanggung semua itu.

Enam bulan berlalu. Beberapa pasien berangsur sembuh. Harapan cerah terbentang. Namun keberhasilan itu masih belum bisa menarik perhatian penguasa kolonial. Mereka tetap abai. Sementara Kodiyat, semakin tersohor. Bahkan dia dianggap sebagai dokter yang memelopori bidang kesehatan masyarakat.

Barulah setelah Indonesia merdeka, upaya Kodiyat mendapat dukungan. Pemerintah menjadikan kampanye pemberantasan penyakit rakyat, khususnya frambusia, sebagai program nasional. Kodiyat diberi kesempatan untuk menerapkan programnya ke seluruh Indonesia.

Pentingkan Pencegahan
Pada tahun 1950, Kodiyat diangkat menjadi Kepala Lembaga Penyelidikan dan Pemberantasan Penyakit Rakyat atau LP3R, yang berkedudukan di Yogyakarta. Waktu itu usianya sudah 60 tahun dan namanya telah mendunia.

Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, menyepakati pendapat Kodiyat, bahwa kesehatan masyarakat harus mementingkan pencegahan daripada pengobatan. WHO juga tertarik dengan metode blusukan Kodiyat, yang pada kemudian hari dinamai Treponematoses Control Program (TCP).

Kodiyat memang tidak lagi melakukan pengobatan sendiri, seperti pada masa-masa awal. Dalam TCP, dia membentuk tim yang terdiri dari para jururawat sebagai pelaksana. Kemudian, hasilnya dicatat untuk bahan penyelidikan lebih lanjut.

Selain WHO, ada juga UNICEF yang memberi bantuan kepada pemerintah Indonesia untuk pemberantasan frambusia. Organisasi tersebut menyediakan obat-obatan, alat kedokteran, beserta pengangkutannya. Sementara, WHO mengirimkan tenaga penasihat teknis seperti dokter dan ahli.

Seiring waktu, dunia kedokteran menemukan obat yang lebih mujarab ketimbang neosalvarsan, yaitu penicilin. Jika menggunakan neosalvarsan penderita frambusia baru sembuh usai 11 kali suntikan, maka dengan penicilin cukup sekali saja dengan dosis 4 cc.

Namun, kehadiran penicilin membuat Kodiyat bersitegang dengan WHO. Kodiyat tak menyetujui anjuran WHO agar penyuntikan penicilin dilakukan untuk seluruh warga Indonesia. Selain boros, kadang-kadang penicilin berdampak buruk bagi tubuh. Kodiyat pun mengusulkan, hanya pasien sakit frambusia saja yang disuntik.

Tapi WHO bergeming. Kodiyat akibatnya gagal menerima bantuan, bahkan yang berasal dari UNICEF sekalipun. Karena penyediaan obat dan alat kedokteran dari organisasi itu, juga memerlukan rekomendasi dari WHO.

Apakah Kodiyat putus asa? Tidak. Dia sudah menyiapkan program yang lebih sederhana dan rapi. Tenaga yang diperlukan juga tak banyak. Cukup menggerakkan pegawai Kementerian Kesehatan yang ada di tingkat kabupaten, kecamatan, kelurahan, maupun desa.

Kodiyat sendiri yang turun tangan menggembleng mereka. Materi seputar penanganan frambusia berikan lengkap. Masing-masing disiapkan sesuai penugasan lapangan. Dari juru suntik, pengawas, penyusun statistik, dan lain-lain. Ada pula yang disiapkan manjadi juru patek, yakni seorang yang ahli dalam pengetahuan ragam gejala frambusia. Dia mesti jeli menangkap keluhan penderita, melalui penglihatan, rabaan, serta penciuman.

Pamong praja diajak serta. Merekalah yang mengumpulkan penduduk, termasuk memberi keterangan, sebelum penyuntikan dilakukan.

Kampanye pemberantasan dijalankan serentak dan massal sesuai dengan jumlah tenaga yang tersedia. Tim kesehatan dikelompokkan dalam satuan-satuan kecil di tiap kecamatan. Sewaktu tenaga hasil pelatihan masih sedikit, kampanye dibatasi hanya satu daerah saja, seperti Yogyakarta. Seiring penambahan jumlah tenaga medis, kampanye pun meluas ke seluruh Indonesia.

Walau hasilnya memuaskan, program TCP ternyata menguras biaya dan waktu. Penyederhanaan lantas dilakukan. Sebagai penanda, nama TCP diubah menjadi TPCS. Tambahan “S” di akhir, merupakan kependekan dari Simplified.

Jumlah tim lapangan juga dipangkas. Imbasnya, seorang petugas mesti menguasai lebih dari satu ketrampilan. Misalnya, juru patek merangkap juru tulis, sekaligus melakukan survei. Dengan begitu, jangkauan wilayah bisa semakin jauh, dengan waktu kerja yang  lebih cepat.

Menurut Buku "Dr. R. Kodiyat: Hasil Karya dan Pengabdiannya" karya Wisnu Subagyo, sembari menggerakkan TPCS, Kodiyat juga membentuk tiga tim lain, yakni TCPS Team, TCPS Unit dan TCPS Mobile Team.

TCPS Team bertugas di satu kecamatan yang berpenduduk sekitar 30 ribu orang. Terdiri dari dua orang tenaga. Satu orang kepala poliklinik sebagai pimpinan yang merangkap penyuntik part timer dan seorang juru patek full timer. Masing-masing dibekali kendaraan berupa sepeda.

TCPS Unit memiliki wilayah kerja yang mencakup tiga sampai empat kecamatan. Para petugasnya dilengkapi dengan sepeda motor.

Sedangkan lingkup kerja TCPS Mobil Team adalah kabupaten atau sebagian wilayah kabupaten. Di dalamnya terdapat empat sampai enam orang, yang seluruhnya full timer. Terdiri dari seorang mantri sebagai pimpinan atau penyuntik, lalu dua sampai empat orang juru patek yang sekaligus menjadi supir mobil jeep.

Pengakuan WHO
Kampanye pemberantasan frambusia yang dilakukan Kodiyat terbagi dalam beberapa tahap, yaitu pemeriksaan pertama, pemeriksaan ulangan, dan tingkat konsolidasi.

Pemeriksaan itu dilakukan ke semua penduduk di suatu daerah. Bagi yang ditemukan mengalami gejala sakit patek, langsung disuntik penicilin. Kemudian pemeriksaan diulang untuk mengobati penderita-penderita baru, atau mereka yang belum sembuh. Cara ini terus diterapkan hingga tidak ada lagi yang terpapar penyakit itu.

Lima tahun kampanye dilancarkan, hasilnya memuaskan. Persentase penderita frambusia di Indonesia turun drastis dari 20% ke 1%.

WHO lagi-lagi mengakui keampuhan cara yang digagas dokter Kodiyat. Pada tahun 1956, Penasehat WHO C.J. Hackett menemui langsung Kodiyat di Indonesia. Ia menyampaikan kebenaran sistem yang diterapkan dokter kelahiran Muntilan, 16 September 1890 itu dalam pemberantasan frambusia. Metode itu bahkan dijadikan contoh untuk negara lain.

WHO dan UNICEF kembali memasok obat dan alat kesehatan ke Indonesia. Meski sempat terhenti karena tragedi 30 September 1965, kedua organisasi di bawah PBB itu meneruskan dukungan pada tahun 1967.

Pemberantasan frambusia pun semakin baik. Secara nasional persentase penderitanya menurun ke 0,49% dari jumlah total penduduk. Bahkan, di Bali pada akhir 1970 sudah mencapai 0%. Sementara di Jawa, 0,001%.

Di tahun itu pula, 85% penduduk Indonesia terlindungi dari penyakit frambusia. Kurang lebih 11 juta penderita berhasil disembuhkan.

Sayangnya, dokter Kodiyat, yang lulus dari STOVIA tahun 1914 itu, tidak bisa menyaksikan langsung capaiannya yang gemilang. Dia meninggal pada Minggu dini hari tanggal 29 Juli 1968 di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta dalam usia 78 tahun.

Dokter Kodiyat dikebumikan di pemakaman khusus keluarga sesuai permintaannya semasa hidup. Yaitu di desa Blunyah Kecil, Yogyakarta. Meski bukan di Taman Makam Pahlawan, upacara pelepasan jenazahnya tetap dilakukan secara militer, dengan didahului tembakan kehormatan. (Gisesya Ranggawari)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar