c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

17 Desember 2020

08:00 WIB

Daluang, Kertas Kulit Pohon Asli Indonesia

Dulu sebagai bahan pakaian para pandita

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Daluang, Kertas Kulit Pohon Asli Indonesia
Daluang, Kertas Kulit Pohon Asli Indonesia
Petugas Museum Sribaduga, memeriksa naskah kuno Islam berusia ratusan tahun yang menggunakan bahan kertas daluang dan memakai aksara Pegon, di Bandung, Senin (22/7/2013). ANTARAFOTO/Agus Bebeng

JAKARTA – Apabila Korea punya hanji, dan Jepang memiliki washi, Indonesia punya kertas tradisional yang dikenal dengan kertas daluang. Lembaran tipis tersebut terbuat dari pohon daluang (Broussonetia papyrifera) atau mulberry.

Zaman dulu, seperti dikutip dari Indonesia.go.id, Daluang dijadikan sebagai media menulis naskah kuno, lukis, hingga wayang beber. Tak hanya itu, masyarakat Nusantara hingga Kepulauan Lautan Teduh (Samudera Pasifik) di zaman kuno telah memiliki keterampilan mengolah daluang menjadi pakaian dan berbagai peralatan lain.

Bukti keberadaan daluang pun dapat ditemukan pada naskah kuno Kakawin Ramayana yang berasal dari abad ke-9. Dalam naskah itu disebutkan daluang digunakan sebagai bahan pakaian pandita, sebutan untuk orang yang bijaksana.

Sementara pada abad ke-18, daluang dipergunakan bukan hanya sebagai pakaian pandita, tetapi juga kertas suci, ketu (mahkota penutup kepala), dan pakaian untuk menjauhkan dari ikatan duniawi.

Berdasarkan temuan Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ), Balitbang-Diklat Kementerian Agama (Kemenag), juga disebutkan banyak mushaf Alquran di Nusantara yang ditulis dengan daluang dan kertas Eropa. Mushaf Alquran tertua temuan LPMQ juga terbuat dari kulit kayu daluang.

"Mushaf Alquran paling tua yang pernah ditemukan LPMQ ada di Bali. Mushaf Alquran tersebut berasal dari tahun 1625 Masehi, terbuat dari daluang yang sangat halus seperti kertas," ujar Peneliti LPMQ, Ali Akbar.

Secara alamiah daluang banyak tumbuh di Sulawesi, terutama di Lembah Bada, Donggala dan di Taman Nasional Lore Lindu.

Demi melindungi keberadaan daluang, sejak tahun 2014, daluang sudah tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTBI) di Kemdikbud yang disahkan pada Oktober 2014 dengan SK Mendikbud Nomor 270/P/2014.

Daluang diproses secara tradisional melalui beberapa tahap. Pertama, Pohon Saeh dikuliti untuk mengambil bagian yang dapat diproses menjadi kertas. Setelahnya, dilakukan pencucian dan dikeringkan, kemudian kembali direndam hingga keesokan harinya.

Usai tahap perendaman, kulit harus dipukul dari kedua sisinya hingga melebar 2-3 kali lipat dari ukuran asalnya. Proses ini disebut kempa dan kulit yang selesai tahap tersebut disebut belibaran.

Belibaran kemudian dilipat dan dibungkus dengan daun pisang selama 5-8 hari hingga keluar lendir. Setelahnya, daluang dijemur di atas batang pisang hingga kering. Batang pisang digunakan sebagai alas agar kertas yang dihasilkan memiliki tekstur licin.

Setelah kering, daluang digosok dengan kerang untuk menghaluskan permukaannya. Proses pembuatan secara tradisional yang panjang ini tanpa melibatkan bahan kimia sintetis sama sekali. Hasilnya, tentu dapat ditebak, deluang akan memiliki ketahanan yang tinggi.

Dari segi pembuatan, daluang memiliki beberapa kelebihan dibanding kertas biasa. Dari segi teknik, daluang yang dibuat dengan cara tradisional diyakini akan dapat bertahan lama karena proses pembuatannya tanpa bahan kimia sintetis. (Muhammad Fadli Rizal)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar